Oleh :
Diding Webe
“Apa sih gunanya baca
buku? Bukankah lebih baik menonton film di TV atau di bioskop? Toh
ceritanya dengan yang di buku sama saja.”
Sering
kalimat serupa terlontar dari mulut kebanyakan orang awam. Tentu masih
ada orang yang senang membaca buku. Tetapi seringnya kita menjumpai
orang yang tak suka membaca buku. Padahal jika dilihat lebih lanjut,
cerita di buku dengan cerita pada tontonan film akan lebih mendetail
cerita di buku. Namun, sungguhlah tidak bijaksana mengukur kualitas
sebuah buku hanya dari melihat dan membaca judul di sampulanya. Sebab
inti sebuah buku terletak pada susunan huruf demi huruf yang tercantum
pada lembar demi lembar halamannya. Dan, sebuah karya tulis yang hebat
dan bermutu hanya bisa lahir dari penulis yang rajin mebaca buku.
Mungkin sekedar referensi, atau bisa jadi sumber inspirasi. Dan
selamanya esensi sebuah buku akan tetap menjadi misteri manakala lembar
demi lembar halamannya tidak dibaca.
Dengan
membaca buku, kita sadari atau tidak sadari, kita pasti mendapat
beragam pengetahuan. Pengetahuan tersebut dapat berupa perbendaharaan
kata, fakta unik yang jarang diketahui orang awam dan beberapa ciri para
penulis menuliskan cerita bukunya. Sewaktu-waktu, pasti ada dari
wawasan ini yang kita perlukan, entah dalam dunia kerja atau dalam
pembuatan karya sendiri.
Berbeda
dengan buku wajah, yang kemudian menjadi habitat dari hampir satu miliar
manusia di dunia. Buku wajah menjadi panggung sandiwara raksasa dimana
setiap orang bebas mengambil peran untuk berpura pura ataupun bersungguh
sungguh menampilkan jatidirinya. Kepalsuan dan ketulusan dibatasi hanya
oleh garis tipis yang mengaburkan warna antara dua abu abu; dunia
bayang bayang dan alam wujud. Itulah sebabnya, sampul sampul dari buku
wajah seluruhnya berisi suatu pertontonan dan keluhan. Kedua duanya
memiliki makna magnetik pada simpati, dan simpati dapat ditunjukkan
tanpa harus merasa bersimpati. Cukup icon gambar jempol.
Buku
juga dapat diasosiasikan sebagai pesiar di kala waktu senggang saat
membutuhkan sesuatu untuk dikerjakan. Pesiar itu dapat diwujudkan ketika
kita mengimajinasikan sesuatu yang belum pernah kita lihat sebelumnya
dari apa yang kita baca. Imajinasi itu dapat berupa pemandangan,
suasana, ataupun rupa seseorang. Dari sebuah bacaan, kita dibebaskan
untuk mengimajinasikan segala sesuatu yang tergambar di sana. Dari
imajinasi itulah, biasanya lahir sebuah inspirasi untuk membuat suatu
karya. Sebuah buku dapat menggambarkan jalan pikiran penulis pada saat
dia menulis buku tersebut. Dan dapat juga menggambarkan cita-cita
penulis tersebut. Jika kita lihat, kebanyakan pengarang fiksi selalu
berandai-andai tentang karakter tokoh dan nasib tokoh tersebut sebagai
dirinya yang sangat diinginkannya. Ada juga beberapa penulis yang
menaruh fakta kehidupan sehari-harinya ke dalam buku yang ditulis.
Selebihnya
dari dua macam model sampul buku tadi adalah tuntunan moral. Tuntunan
moral yang lahir dari jiwa yang (bisa jadi) brengsek di dunia wujud,
dengan serta merta menjadi filsuf maha bijak melebihi pertapa yang
selama puluhan tahun hanya menghambakan diri kepada kemuliaan laku.
Jelas bahwa sampul sampul dalam buku wajah tidak semuanya mewakili
esensi atau isi yang terkandung didalam lembar demi lembar kisah
sejarah, pengalaman bahkan tautan moralitas pemilik atau penulisnya.
Seorang brengsek bisa tampil palsu menjadi ksatria alim, seperti halnya
predator yang mengenakan jubah dan topeng pahlawan si buku wajah.
Semua
orang bebas menipu dirinya sendiri sebab aturan peradaban yang
dipergunakan hanya tertulis di dinding dinding awan tempat segala
sesuatu berkelebat cepat hilang. Dinding awan itu mengambang dalam
sanubari setiap orang, yang tidak memiliki sanksi memaksa kecuali rasa
malu yang pada akhir akhir ini orang semakin kebal. Sungguh tidak ada
penipu yang lebih hebat dari orang yang sanggup menipu dirinya sendiri. Kita layak untuk bersimpati kepada orang orang seperti ini, yang hidup
jauh dari sejuk tanah, hanya kakinya menjuntai tinggi di tepi kabut
kenyataan. Kita patut bersimpati atas mereka karena mereka sebenarnya
terbutakan oleh kebanggan menjadi bukan dirinya sendiri sementara mesin
waktu terus mengurai usia. Pasa saatnya nanti mereka tersadar, mereka
telah terjebak dalam kubangan kesemuan itu yang mengantarkan mereka pada
ketertinggalan yang tak termaafkan.
Maka
akan lebih bijaksana lagi jika kita menilai sebuah buku dari tulisan
yang terkandung didalamnya, syukur syukur tulisan tulisan yang lahir
dari perenungan tanpa tendensi, yang memiliki bobot pemikiran realistik
layaknya manusia hidup di lama kasunyatan. Hampir satu miliar sampul
buku wajah memainkan magnet simpati. Hanya kebijaksanaan yang didapat
dari pemahaman tentang nilai hidup yang bisa dengan bijaksana menentukan
buku mana yang layak dijadikan elemen pengait pengetahuan tentang cara
menjalani hidup agar tercipta harmoni. Sebab tidak semua sampul buku
wajah berisi maklumat palsu.
Akhir
kata, di dunia ini memang masih ada ejekan hantu perpustakaan atau kutu
buku. Tetapi, cobalah ubah ejekan itu menjadi sebuah kata yang keren
dengan memaksimalkan manfaat membaca buku. Bagi saya sendiri, kutu buku
adalah julukan yang keren, terlepas dari hal saya adalah penggemar buku
atau tidak. Jadi, setelah anda membaca artikel ini, saya berharap anda
menjadi lebih suka membaca buku untuk lebih berkarya.(*)
Sumber : https://www.facebook.com/notes/dinding-webe/buku-wajah/194973867509977