Desember 21, 2015

ADAKAH MANFAAT BACA BUKU ?

Oleh :
Diding Webe
 
“Apa sih gunanya baca buku? Bukankah lebih baik menonton film di TV atau di bioskop? Toh ceritanya dengan yang di buku sama saja.”
 
Sering kalimat serupa terlontar dari mulut kebanyakan orang awam. Tentu masih ada orang yang senang membaca buku. Tetapi seringnya kita menjumpai orang yang tak suka membaca buku. Padahal jika dilihat lebih lanjut, cerita di buku dengan cerita pada tontonan film akan lebih mendetail cerita di buku. Namun, sungguhlah tidak bijaksana mengukur kualitas sebuah buku hanya dari melihat dan membaca judul di sampulanya. Sebab inti sebuah buku terletak pada susunan huruf demi huruf yang tercantum pada lembar demi lembar halamannya. Dan, sebuah karya tulis yang hebat dan bermutu hanya bisa lahir dari penulis yang rajin mebaca buku. Mungkin sekedar referensi, atau bisa jadi sumber inspirasi. Dan selamanya esensi sebuah buku akan tetap menjadi misteri manakala lembar demi lembar halamannya tidak dibaca.
Dengan membaca buku, kita sadari atau tidak sadari, kita pasti mendapat beragam pengetahuan. Pengetahuan tersebut dapat berupa perbendaharaan kata, fakta unik yang jarang diketahui orang awam dan beberapa ciri para penulis menuliskan cerita bukunya. Sewaktu-waktu, pasti ada dari wawasan ini yang kita perlukan, entah dalam dunia kerja atau dalam pembuatan karya sendiri. 
 
Berbeda dengan buku wajah, yang kemudian menjadi habitat dari hampir satu miliar manusia di dunia. Buku wajah menjadi panggung sandiwara raksasa dimana setiap orang bebas mengambil peran untuk berpura pura ataupun bersungguh sungguh menampilkan jatidirinya. Kepalsuan dan ketulusan dibatasi hanya oleh garis tipis yang mengaburkan warna antara dua abu abu; dunia bayang bayang dan alam wujud. Itulah sebabnya, sampul sampul dari buku wajah seluruhnya berisi suatu pertontonan dan keluhan. Kedua duanya memiliki makna magnetik pada simpati, dan simpati dapat ditunjukkan tanpa harus merasa bersimpati. Cukup icon gambar jempol.
 
Buku juga dapat diasosiasikan sebagai pesiar di kala waktu senggang saat membutuhkan sesuatu untuk dikerjakan. Pesiar itu dapat diwujudkan ketika kita mengimajinasikan sesuatu yang belum pernah kita lihat sebelumnya dari apa yang kita baca. Imajinasi itu dapat berupa pemandangan, suasana, ataupun rupa seseorang. Dari sebuah bacaan, kita dibebaskan untuk mengimajinasikan segala sesuatu yang tergambar di sana. Dari imajinasi itulah, biasanya lahir sebuah inspirasi untuk membuat suatu karya. Sebuah buku dapat menggambarkan jalan pikiran penulis pada saat dia menulis buku tersebut. Dan dapat juga menggambarkan cita-cita penulis tersebut. Jika kita lihat, kebanyakan pengarang fiksi selalu berandai-andai tentang karakter tokoh dan nasib tokoh tersebut sebagai dirinya yang sangat diinginkannya. Ada juga beberapa penulis yang menaruh fakta kehidupan sehari-harinya ke dalam buku yang ditulis.
 
Selebihnya dari dua macam model sampul buku tadi adalah tuntunan moral. Tuntunan moral yang lahir dari jiwa yang (bisa jadi) brengsek di dunia wujud, dengan serta merta menjadi filsuf maha bijak melebihi pertapa yang selama puluhan tahun hanya menghambakan diri kepada kemuliaan laku. Jelas bahwa sampul sampul dalam buku wajah tidak semuanya mewakili esensi atau isi yang terkandung didalam lembar demi lembar kisah sejarah, pengalaman bahkan tautan moralitas pemilik atau penulisnya. Seorang brengsek bisa tampil palsu menjadi ksatria alim, seperti halnya predator yang mengenakan jubah dan topeng pahlawan si buku wajah.
 
Semua orang bebas menipu dirinya sendiri sebab aturan peradaban yang dipergunakan hanya tertulis di dinding dinding awan tempat segala sesuatu berkelebat cepat hilang. Dinding awan itu mengambang dalam sanubari setiap orang, yang tidak memiliki sanksi memaksa kecuali rasa malu yang pada akhir akhir ini orang semakin kebal. Sungguh tidak ada penipu yang lebih hebat dari orang yang sanggup menipu dirinya sendiri. Kita layak untuk bersimpati kepada orang orang seperti ini, yang hidup jauh dari sejuk tanah, hanya kakinya menjuntai tinggi di tepi kabut kenyataan. Kita patut bersimpati atas mereka karena mereka sebenarnya terbutakan oleh kebanggan menjadi bukan dirinya sendiri sementara mesin waktu terus mengurai usia. Pasa saatnya nanti mereka tersadar, mereka telah terjebak dalam kubangan kesemuan itu yang mengantarkan mereka pada ketertinggalan yang tak termaafkan.
 
Maka akan lebih bijaksana lagi jika kita menilai sebuah buku dari tulisan yang terkandung didalamnya, syukur syukur tulisan tulisan yang lahir dari perenungan tanpa tendensi, yang memiliki bobot pemikiran realistik layaknya manusia hidup di lama kasunyatan. Hampir satu miliar sampul buku wajah memainkan magnet simpati. Hanya kebijaksanaan yang didapat dari pemahaman tentang nilai hidup yang bisa dengan bijaksana menentukan buku mana yang layak dijadikan elemen pengait pengetahuan tentang cara menjalani hidup agar tercipta harmoni. Sebab tidak semua sampul buku wajah berisi maklumat palsu.
 
Akhir kata, di dunia ini memang masih ada ejekan hantu perpustakaan atau kutu buku. Tetapi, cobalah ubah ejekan itu menjadi sebuah kata yang keren dengan memaksimalkan manfaat membaca buku. Bagi saya sendiri, kutu buku adalah julukan yang keren, terlepas dari hal saya adalah penggemar buku atau tidak. Jadi, setelah anda membaca artikel ini, saya berharap anda menjadi lebih suka membaca buku untuk lebih berkarya.(*)
 
Sumber : https://www.facebook.com/notes/dinding-webe/buku-wajah/194973867509977