Mengapa PPDB di Kota Cirebon selalu diwarnai permasalahan? Jawabnya hasrat besar sebagian orangtua memaksakan anaknya untuk sekolah di negeri favorit. Hasrat ini kemudian berkembang biak dibudidaya oleh orang-orang yang menawarkan jasa penyaluran siswa baru ke sekolah impian orangtua dan anak.
"Biro jasa" PPDB ini ada yang bekerja individu, ada juga atas nama lembaga. Ada yang mengaku dari unsur LSM, wartawan, politisi, aparat, pengamat, atau pemerhati pendidikan. Mereka semua adalah para oknum yang kerap bermain-main dalam bursa siswa baru. Jika tak dituruti kemauannya urusan akan jadi panjang. Bisa bermusuhan sepanjang tahun.
Peta konflik interest ini sebenarnya sudah banyak orang yang tahu. Bahkan para pejuang PPDB liar itu pun sadar akan peran dan fungsinya. Namun tak ada pihak yang mampu membendung aksi koboy mereka. Sekalipun sudah terang-terangan melakukan perlawanan melawan aturan. Ujung-ujungnya praktek transaksional yang ditempuh.
Potret konflik interest tersebut pernah diakui oleh mantan petinggi kota ini. Dalam sebuah perjalanan luar kota, pejabat ini berseloroh jika kota Cirebon ini kecil tetapi ruwet permasalahan. Hal senada diungkapkan seorang aparat, bahwa kasus PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) di Kota Cirebon ini unik. Bahkan tidak ditemukan di kota-kota di Indonesia. Semua orang ikut bermain. Ada ratusan bahkan miliar perputaran uang dalam PPDB.
Tentu saja ini bukan hal baru di kota udang ini. Hal yang belum baru adalah belum ada pihak yang mampu mengendalikan PPDB liar tersebut. Kasus tahun lalu misalnya, proses PPDB dari awal sampai akhir pendaftaran sudah berjalan normal sesuai ketentuan Perwali. Namun di injury time gelombang tsunami calon siswa baru merangsek ke sekolah-sekolah yang dianggap favorit.
Para petualang PPDB ini gigih memperjuangkan nasib anak-anaknya (entahlah anak siapa) ke semua penjuru mata angin. Satu pintu tidak berhasil, pindah ke pintu lain. Susah masuk dari pintu depan, mereka bertamu dari pintu belakang. Jika perlu lompat dari jendela. Yang penting goal. Kendati kini berbagai upaya itu belum membuahkan hasil.
Sejumlah pihak selalu berharap agar PPDB berjalan sesuai aturan. Demikian juga pihak kepolisian agar panitia berpegang teguh terhadap peraturan yang ada. Jika terjadi pemaksaan, laporkan! Karena itu berpotensi kepada tindak pidana. Namun realitasnya itu sangat sulit dilakukan karena banyak faktor. Terlebih banyak pihak yang berkepentingan membuat PPDB kacau.
Hajat PPDB kendati sudah berulang kali digelar setiap tahun. Baik di era sentralisasi Pemerintahan Orde Baru, maupun di era desentralisasi Pemerintahan Orde Reformasi. Namun carut marut PPDB mulai terasa sejak menguatnya gerakan civil society. Sejak era reformasi semua warga negara merasa memiliki hak kebebasan berpendapat tanpa batas.
Para orangtua tak pernah berfikir bahaya yang menimpa anaknya jika memaksakan sekolah yang tak sesuai dengan potensi dan bakatnya. Seringkali tak menyadari upaya pemaksaan kehendak melawan aturan akan menjadi preseden buruk bagi perkembangan karakter anak-anaknya ketika dewasa nanti.
Lebih makro, persoalan PPDB mestinya memang bukan hanya urusan Dinas Pendidikan, sekolah dan orangtua. Persoalan pendidikan adalah persoalan semua orang. Baik buruk kualitas pendidikan akan menentukan kualitas masyarakat, bangsa dan negara. PPDB adalah awal menanam benih untuk masa depan yang lebih baik. (PaDE)