Terlupakan, dilupakan atau pura-pura lupa? Setiap kali datang hari ulang tahun, disikapinya biasa-biasa saja. Tak ada yang istimewa, apalagi berlebihan. Boleh jadi ini karena sejak kecil, tak ada perlakuan khusus dalam keluarga. Setiap kali tanggal dan bulan kelahiran itu berulang.
Pembiasaan keluarga sejak kecil itu menjadi kebiasaan hingga dewasa mungkin sampai menua. Saat duduk di bangku SD, masa SMP, SMA bahkan selama kuliah. Tanggal kelahiran dilewati begitu saja, bahkan sering kali lupa seiring kesibukan aktifitas. Pernah sekali dikasih kado ultah, sama kaka senior di organisasi mahasiswa extra kampus. Kini ia dosen FE Unsoed. Thanks mba Dr. Dwita Darmawati, S.E, M.Si.
Sisanya yang ngasih kado adalah pacar sendiri, yang kini jadi isteri. Sejak menikah isteri yang sering sibuk mempersipakan perayaan ultah. Padahal yang empunya cuek-cuek aja. Apalagi sejak kepergian ayahanda (Iing Sanusin), perayaan kelahiran tiap tahunnya menyisakan memori duka. Pasalnya bersamaan momen ultah tahun 2003, ayahanda berpulang ke rahmatullah. Setelah pensiun dari PTP VIX PG Karangsuwung berjuang melawan kanker paru yang menggerogotinya.
Malam itu, saya tidur di rumah orang tua. Hari kerja biasa tidur di kamar kontrakan, 15 km dari kampung halaman. Selasa jadwal off kerja sebagai jurnalis. Maka menginap di rumah ortu Senin sore. Isteri sehari sebelumnya pesan bolu ultah. Malam itu ayahanda terlihat gelisah. Saya tetap stay disampingnya. Selepas tahajud di rumah, lalu sholat shubuh di Masjid Al Huda saya kembali ke rumah. Pagi sekitar jam 6 beliau menghembuskan nafas terkahir. Innalillahi wainnaillaihi rojiuun.
Seiring dengan waktu, perayaan ultah menjadi debatable (khilafiyah). Ada yang menganggap itu meniru kaum Barat (tasabuh), yang kurang diperbolehkan oleh agama Islam. Pada pihak lain, perayaan ultah merasa boleh-boleh saja. Asalkan dirayakan sederhana, tidak berlebihan. Asalkan diniatkan sebagai wujud rasa syukur atas nikmat Sang Kuasa. Akan lebih bagus jika dirayakan dalam bentuk tasyakuran, doa bersama atau pemberian santunan dan sedekah kepada yang membutuhkan.
Ada pandangan kritis terhadap perayaan ultah. Dari sisi bahasa, tidak ada hari dan tahun yang mengulang. Saat kita lahir 6 Agustus 1990 pada hari Senin Legi bertepatan dengan 14 Muharram 1411 Hijriyah, maka kita tak akan menemukan hari, tahun yang sama pada tahun-tahun berikutnya. Sama halnya saat kita lahir pada tahun 1976 pada Rabu Kliwon, 21 Januari bertempatan 19 Muharram 1396 H. Maka pada tahun 2022, ketemu harinya Jumat Paing, 21 Januari atau 19 Jumadil Akhir 1443 H.
Pandangan minor juga dialamatkan kepada umat Islam yang merayakan ultah dengan pesta-pesta berlebihan, apalagi sampai memabukan. Ultah pada hakekatnya umur kita berkurang. Jatah waktu hidup kita di muka bumi kian menipis. Namun batas kematian kita makin mendekat. Kondisi itu segyogianya manusia harus melakukan muhasabah. Refleksi diri, bertambahnya usia, berkurangnya waktu tinggal di bumi menjadi bahan evaluasi. Berapa banyak dosa atau pahala yang sudah terhimpun sebelum ajal menjemputnya.
Mereka yang bertambah usia mulai 40 tahun, Islam mengajarkan agar perbanyak rasa syukur dan bertaubat. Lebih banyak mempersiapkan bekal untuk kehidupan babak baru di akherat. Umur 40-an adalah usia kematangan. Matang secara berfikir, mental, emosional. Atau matang dalam kemapanan karir. Mulai usia ini juga karakter seseorang sudah sulit berubah. Pada usia ini kondisi kesehatan tubuh perlahan menurun. Makin bertambah usia, makin banyak dikeluhkan. Satu persatu organ tubuh kita daya fungsinya mengurangi.
Sudah saatnya menyikapi tanggal lahir kita dengan penuh makna. Boleh dirayakan untuk tujuan muhasabah. Sebagai momen untuk menambah amalan sholeh. Untuk memperbaiki kualitas hidup yang tersisa. Untuk meningkatkan iman dan taqwa. Agar kelak, ketika ada tamu tak diundang. Datang menjemput kita, menuju kehidupan abadi maka kita sudah cukup bekal untuk membeli tiket masuk ke surga. Aamiin...(*)