Jaman sudah berubah. Guru tak lagi sibuk mengurusi siswanya. Tetapi ia harus siap untuk melawan perubahan. Perubahan yang membawa dampak buruk bagi peserta didiknya. Kuantitasnya yang banyak menjadi kekuatan dalam menentukan arah perubahan.
Hidupnya di jaman digital menuntut mereka harus melek teknologi. Khususnya teknologi komunikasi dan informasi. Perkembangan TIK membuat akses informasi membanjir dari segala penjuru. Apapun jenis dan bentuk beritanya, mulai yang valid hingga hanya hoax.
Fakta menunjukkan jumlah pengguna internet di Indonesia terus meningkat. Dilaporkan para pengguna internet 95 persen adalah pengguna media sosial. Data pada tahun 2016 pengguna aktif media sosial sebanyak 88 juta. Sehari para pengguna android itu mengecek media sosial sebanyak 80 kali, 14 kali diantaranya mengecek facebook.
Angka statistik di atas dipastikan jumlahnya terus meningkat pada tahun-tahun mendatang. Pertama, perkembangan teknologi adroid yang terus tumbuh. Kedua, tak ada kebijakan negara terkait pembatasan teknologi ini secara masif. Ketiga, kepemilikan andoid oleh masyarakat kian tak terkendali.
Meningkatnya penjualan android menunjukkan semakin mudahnya masyarakat mengirim dan mengakses informasi secara bebas di dunia maya. Artinya, media sosial memiliki kekuatan informasi yang bisa mengalahkan kekuatan media massa konvensional. Efeknya peredaran informasi makin tak terkendali.
Sebelumnya kekuatan demokrasi itu hanya dikuasai empat kekuatan. Kekuata itu eksekutif, legislatif, yudikatif dan pers. Kini ada kekuatan baru yaitu media sosial online sebagai kekuatan kelima. Kekuatan yang ikut mempengaruhi dan membawa perubahan.
Kondisi di atas tentu menjadi tantangan bagi guru-guru di Indonesia. Pilihannya berkembang atau tumbang. Guru-guru bisa berkembang di era gedget apabila mampu bermain peran dalam mempengaruhi perubahan. Sebaliknya jika tak mampu memanfaatkan teknologi yang ada guru-guru akan tergilas.
Guru-guru yang gaptek dan ketek akan kalah jauh kemampuannya dengan siswa didiknya. Gaptek adalah gagap teknologi dan ketek adalah ketinggalan teknologi. Kemampuan minus guru ini menjadi penghambat kemajuan pendidikan nasional.
Tantangan kemampuan siswa hidup di abad 20 harus dididik oleh guru-guru dengan kemampuan abad 19. Apalagi diperburuk dengan kondisi sarana belajar dengan suasana abad 18. Sungguh berat tantangan guru di abad 20 ke depan.
Lahirnya era digital akan semakin banyak media online, apakah berbasis website atau pun media sosial. Jika guru tak memiliki kemampuan menulis berita maka ia hanya menjadi pembaca berita, dan obyek pemberitaan. Bahkan akan jadi korban berita hoax.
Dunia pendidikan bisa jadi bulan-bulanan media massa. Berbagai pemberitaan media akan lebih mudah merugikan citra pendidikan. Bad news, good news. Begitulah alasan banyaknya berita pendidikan cenderung miring karena sektor ini menyedot perhatian luas publik.
Pada sisi lain, banyaknya media online belum dimanfaatkan dengan baik dan benar oleh guru-guru. Mereka tak sedikit penggunaan hape untuk kesenangan semu. Wall medsos dipenuhi status dan gambar narsis, curhat, lebay dan alay. Sehingga medsos belum bisa menjadi power full membangun citra positif pendidikan.
Upaya Dinas Pendidika Kota Cirebon mengadakan Workshop Guru Menulis Berita dianggap sebuah langkah cerdas. Kegiatan bekerjasama dengan Komunitas Literasi Gelemaca itu akan menyiapkan guru-guru sebagai penulis berita untuk media internal pendidikannya. Baik media sekolah, dinas maupun media sosial pribadi guru.
Saatnya guru-guru harus belajar menulis untuk publikasi online. Memberitakan kegiatan sekolah, kegiatan ilmiah bahkan kegiatan pribadi. Jika pun harus membuat status atau posting foto dan video, lebih pada bermuatan informatif, jika tak mampu inspiratif dan motivasi.
Jika guru-guru banyak memposting kabar positif di media sosial apalagi sampai memviralkan maka suasana dunia pendidikan terasa sejuk dan damai. Lebih dari itu budaya literasi guru semakin baik, tak terjebak berita-berita hoax menyesatkan. (*)
*) Penulis adalah jurnalis pensiun jadi guru.