Oleh:
Deny Rochman
Merdeka Belajar menjadi kebijakan strategis pada bidang pendidikan. Kebijakan ini lahir pada era kepemimpinan Presiden Joko Widodo bersama KH Ma'ruf Amin. Kebijakan pada era Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim. Konsep Merdeka Belajar ini menjadi landasan grand desain lahirnya kebijakan-kebijakan berikutnya, seperti Kampus Merdeka, Kamus Mengajar, Asesmen Nasional, PPDB Zonasi dan lainnya. Targetnya menata dan meniti pendidikan berkualitas menuju Indonesia Maju, sejajar dengan negara-negara maju di dunia.
Sejak dilantik sebagai Mendikbud, ada sejumlah pekerjaan rumah bidang pendidikan yang harus dibenahi Nadiem. Presiden Jokowi dalam periode keduanya mengingatkan Nadiem terkait kondisi pemerataan akses pendidikan Indonesia, standardisasi kualitas pendidikan, kurikulum, dan harapan penerapan teknologi dalam sistem pendidikan. Merdeka Belajar diharapkan menjadi jawaban dalam menyelesaikan PR pendidikan nasional.
Esensi Merdeka Belajar adalah dalam arti sekolah, guru-guru, dan muridnya, mempunyai kebebasan dalam berinovasi dan bertindak dalam proses belajar mengajar. Konsekuensinya, guru sangat dianjurkan untuk tidak bersikap monoton dan berorientasi pada guru saja. Guru harus menjadi manusia pembelajar (Long Life Education), yang terus berinovasi dan berkreatifitas. Demikian juga dalam konsep Kampus Merdeka. Kemudian lahir program Kampus Mengajar. Upaya mendorong pencapaian itu lahir program Dosen Penggerak, Guru Penggerak, Sekolah Penggerak dan sebagainya. Sebagai bagian dari ekosistem pendidikan yang terintegrasi.
Dari beberapa PR dunia pendidikan, masalah guru menjadi persoalan krusial yang belum kunjung usai. Persoalan dari sisi kualitas guru yang belum semua sarjana, cerdas berkarakter. Maupun dari sisi kuantitas guru, terlebih jumlah guru PNS yang makin terbatas di banyak tempat. Artinya, berbicara kualitas SDM Indonesia ke depan, harus dimulai dari pendidikan berkualitas. Pendidikan berkualitas harus berangkat dari kompetensi guru yang profesional. Nah, dari masa ke masa, tantangan guru dihadapkan pada tantangan dan hambatan yang tidak kecil. Terlebih di era digital sekarang, ketika sumber belajar tak lagi hanya guru.
TANTANGAN JAMAN
Beragam formulasi kebijakan pendidikan era Jokowi jilid 2, esensinya untuk menjawab tantangan jaman. Pada satu sisi, bangsa ini akan mendapatkan bonus demografi Indonesia Emas 2045, namun pada sisi lain banyak tantangan yang harus dihadapi. Tantangan kualitas dan kuantitas pendidik masih jauh dari harapan. Eksesnya kepada kualitas peserta didik yang belum sejajar dengan negara maju lainnya. Apalagi jika melihat kemampuan sains, literasi dan numerasi siswa versi survai PISA
(The Programme for International Student Assessment).
Ada tuntutan dan tantangan yang harus dihadapi bangsa ini dalam pendidikan pada abad 21. Kemendikbud Ristek melihat pendidikan pada Abad 21 merupakan pendidikan yang mengintegrasikan antara kecakapan pengetahuan, keterampilan, dan sikap, serta penguasaan terhadap Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Karena kita sudah masuk era revolusi industri 4.0. Kecakapan yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan era ini adalah keterampilan berpikir lebih tinggi (Higher Order Thinking Skills (HOTS)) yang sangat diperlukan dalam mempersiapkan peserta didik dalam menghadapi tantangan global.
Kecakapan Abad 21 yang terintegrasi dalam Kecakapan Pengetahuan, Keterampilan dan sikap serta penguasaan TIK dapat dikembangkan melalui: (1) Kecakapan Berpikir Kritis dan Pemecahan Masalah (Critical Thinking and Problem Solving Skill; (2) Kecakapan Berkomunikasi (Communication Skills); (3) Kecakapan Kreatifitas dan Inovasi (Creativity and Innovation); dan (4) Kecakapan Kolaborasi (Collaboration). Keempat kecakapan tersebut telah dikemas dalam proses pembelajaran kurikulum 2013. Lahirnya Kurikulum 2013 memiliki tujuan untuk mengembangkan bakat, minat, dan potensi peserta didik agar berkarakter, kompeten dan literat.
Upaya membekali diri dengan skill Abad 21 ternyata tak mudah. Perkembangan dunia teknologi internet, tak diimbagi dengan pendidikan karakter manusia sehingga teknologi membawa dampak buruk bagi kehidupan. Ironinya, guru-guru sebagai garda terdepan pendidikan belum mampu mengadopsi dan beradaptasi terhadap perubahan jaman. Menjadi problem, guru produk Abad 20 harus mengajarkan siswa produk Abad 21. Guru kolonial harus mengajar generasi milenial. Kesenjangan budaya ini membuat teknologi menjadi monster bagi kehidupan. Lahir banyak masalah sosial di sekitar kita.
Belum selesai hambatan budaya yang menghadang, kini pendidikan nasional harus tersandera oleh covid-19. Selama hampir 2 tahun berbagai kebijakan dan program pendidikan terhenti atau berjalan lambat. Kegiatan belajar mengajar di sekolah dihentikan. Diganti dengan Belajar Dari Rumah (BDR) atau Pembelajaran Jarak Jauh. Pola pembelajaran yang kemudian melahirkan beragam masalah. Baik masalah akses internet, ketiadaan gadget, minimnya skill teknologi hingga masalah sosial yang timbul akibat PJJ.
ELEMEN PENGGERAK
Sejak awal Presiden Jokowi melalui Mendikbud, berharap kegiatan pendidikan masyarakat tidak terhenti lantaran covid-19. Grand design Merdeka Belajar tetap terus berjalan agar target melahirkan elemen penggerak tetap tercapai. Elemen penggerak ini, seperti guru, kepala sekolah, dosen, rektor dan lainnya, bagian penting ekosistem pendidikan. Berangkat dari elemen penggerak ini masalah pendidikan di Indonesia akan bisa teratasi. Ketika masa pandemi, kurikulum adaptif pun dipersiapkan.
Kini pemerintah terus menyiapkan elemen-elemen penggerak. Tahap demi setahap seleksi dilakukan. Seleksi untuk kebijakan Merdeka Belajar. Konsep belajar kemandirian dan kemerdekaan yang terinspirasi dari falsafah pendidikan KH Dewantoro. Di era keterbukaan dan kebebasan ini anak tidak lagi belajar secara kaku dengan kurikulum yang ada. Untuk mencapai target tersebut, guru dan dosen dibekali keilmuan pendidikan yang terintegrasi dengan teknologi, leadership dan lainnya. Pola rekruitmen yang panjang dan bertahap. Tidak saja dibekali dari sisi kognitif, tetapi juga diasah kecerdasan emosional dan sosial calon Guru Penggerak.
Untuk program Guru Penggerak misalnya, Mendikbud Ristek Nadiem Anwar Makarim menjelaskan, program tersebut dirancang sebagai upaya untuk mewujudkan Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian melalui terciptanya Pelajar Pancasila yang beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, mandiri, bernalar kritis, kreatif, bergotong royong, dan berkebinekaan global.
Kebijakan Merdeka Belajar masih terus berjalan. Belum banyak memang dirasakan karena rekruitmennya bertahap. Namun ribuan guru penggerak dan sekolah penggerak akan akan dicapai, benar-benar akan membawa perubahan mendasar bagi dunia pendidikan Indonesia. Tidak saja dirasakan oleh sekolah-sekolah dan guru-guru negeri. Tetapi juga sekolah swasta dan guru honor ikut merasakan kemaslahatan Merdeka Belajar. Termasuk perasaan guru yang merdeka dari kebijakan kurang baik dari pimpinan. Mari kita kawal ! (*)
*) Penulis adalah pegiat literasi Gelemaca Kota Cirebon
Sumber: koran Radar Cirebon, Jumat 12 Nov 2021.