*Catatan Akhir Perjalanan Hidup Ibunda Sumioh (part-4/habis)
Kepergian ibunda diusia 76 tahun meninggalkan bekas kenangan mendalam bagi anak-anaknya. Bagaimana tidak? Ia satu-satunya jimat yang tersisa selepas kepergian ayahanda lebih awal pada 2003 silam. Konon ada obrolan kecil keduanya, jika boleh memilih kelak yang wafat ayah dulu daripada ibu.
Komitmen kecil itu ternyata dikabulkan gusti pangeran. Tentu selalu ada hikmah dibalik semua itu. Boleh jadi sosok ibu Sumiah lebih tahan dan tabah dalam menjalani masa tuanya bersama 9 anaknya. Kendati ibunda hanya ibu rumah tangga. Ayah pensiunan Pabrik Gula Karangsuwung dengan golongan kecil.
Kendati ibu bukan wanita karir, namun ia boleh dibilang wanita tangguh. Sepeninggal ayah, ibu menerima gaji bulanan sebagai janda pensiunan pabrik gula sebesar Rp250 ribu. Setiap bulan anak-anaknya yang mengantar ibu mengambil uang pensiunan di pabrik. Tentu jumlah yang jauh dari kata cukup masa hidup era tahun 2000-an sekarang.
Pada masa ayah hidup, ibu ikut menopang keuangan keluarga. Kegiatan seperti arisan warga berupa uang atau barang, layanan kredit barang (sepatu) hingga jualan nasi rames di rumah, keliling pasar, hingga di tempat senam kantor Kecamatan Lemahabang. Kendati hasilnya tak mampu membeli sebongkah batu berlian tapi hanya cukup untuk dapur ngebul.
Semua dilakukan seorang diri. Mulai belanja, menjajakan hingga menagih arisan atau cicilan. Sementara ayah sibuk dengan rutinitas sebagai karyawan PTP XV PG Karangsuwung. Berangkat pagi pulang sore dengan gaji pegawai rendahan (bukan staf). Tambahan cuan lainnya dari jasa servis elektronik, seperti tivi, radio yang dilakukan diluar jam kerja. Dilakoni hingga dini hari dan hari libur.
Selama bertahun-tahun kehidupan rumah tangga kami dilalui secara alamiah. Tanpa asisten rumah tangga, ibu mengurus suami dan sembilan anak-anaknya. Delapan laki-laki, satu perempuan, si bungsu. Di rumah yang sederhana, ibu mengurus dengan penuh sabar dengan karakter anak yang berbeda. Banyaknya anak laki-laki membuat suasana rumah sering gaduh, rame dan ribut.
Mengapa anaknya hingga sembilan? Karena ayah mendampakan anak perempuan. Setelah dapat yang kesembilan, petualangan pun dihentikan. Beruntungnya, setiap ada even tanding sepak bola, satu tim diisi dari saudara sendiri. Sepak bola menjadi hobi keluarga besar karena ayah adalah pemain sepak bola pabrik gula.
Kesibukan ibunda tak hanya ngurus keluarga dan usaha kecil-kecilan. Disela itu pada masa anaknya masih sekolah, ibunda aktif menjadi kader desa. Kader posyandu, kader organisasi Aisyiyah bahkan pernah ikut kegiatan Kosgoro (Golkar) pada tahun itu.
Masih kuat dalam ingatan aku. Masa itu setiap bulannya rumah kami selalu ramai kegiatan pemeriksaan kesehatan dan penimbangan balita. Malam sehari sebelumnya ibu lembur membuat makanan tambahan berupa bubur kacang hijau. Alat peraga anak usia dini pun berupa buku dan permainan tersedia di rumahku.
Kegiatan olahraga senam sudah menjadi agenda rutin mingguan. Biasanya di hari Jumat. Sambil senam di kantor Kecamatan Lemahabang, ibu sambil bawa dagangan, nasi rames. Pagi jualan di rumah untuk sarapan warga sekitar. Siang dibawa ke pasar atau ke kantor kecamatan. Jika tidak habis disantap untuk anak-anak di rumah.
Yah kegiatan ibu memang sedikit berbeda dengan mamang (panggilan akrab anak-anak buat ayah). Waktu mamang lebih banyak dihabiskan bekerja di pabrik, yang jaraknya sekitar 2 km dari rumah. Hobi lamanya bermain bola, sesekali melatih anak-anak muda di kampungnya.
Mamang dan Mimi terlahir dari keluarga berbeda. Mamang dari keluarga taat agama, ayahnya bekerja di pabrik rokok BAT kala itu. Sementara ibunya mengurus anak, tradisi orang Jawa banget. Sementara Mimi lahir dari keluarga tentara (AD). Keduanya satu desa namun beda blok cukup jauh. Buah cintanya melahirkan sembilan anak, delapan laki-laki dan satu perempuan.
Mhn dilengkapi data diri dibawah ini utk keperluan data base keluarga:
Ayah : Iing Sanusin (21.06.42)
Ibu Sumiah (13.05.47)
1. Dedi Rohayadi
2. Dadang Mulyana (20.09.70.)
3. Diding Syarifudin (29.07.73)
4. Dodi Setiawan (20.05.74)
5. Deny Rochman (21.01.76)
6. Didi Mulyadi (06.03.77)
7. Dede Rosidin (18.4.79)
8. Dudi Darmanto (19.11.83)
9. Dewi Oktaviani (31.10.86)
Sembilan bersaudara tersebut sebagian menyebar di sejumlah kota. Ada yang di Bogor, Cikarang, Bandung, Sumedang. Sisanya tinggal di Kota Cirebon, dan Kab Cirebon. Kini rumah leluhur di Desa Lemahabang Kulon ditempat dua adik laki-laki, adik ke-7 dan adik ke-8.
Sepeninggal ayahanda, ibu lebih banyak tinggal di rumah aku di Kota Cirebon. Sekitar 16 Km ke arah timur Kab. Cirebon. Pada awal saat masih sehat, dalam sepekan sering bolak balik Cirebon - Sindanglaut. Isteri yang mengajar di sekolah swasta di Sindanglaut sering antarjemput ibu naik motor. Sesekali naik angkutan umum (elf). Wara wiri ibu beralasan karena masih ada urusan arisan, kondangan atau sekadar tilik rumah.
Seiring kerepotan ibu sering bolak Cirebon - Sindang, aku dan isteri memutuskan beli kendaraan mobil tua. Alasan pembelian armada si biru ini karena anak-anak sudah makin dewasa. Kemudian secara kesehatan, mata aku tak boleh terpapar panas dan debu. Sejak dilakukan tindakan operasi mata. Alasan lain, isteri diamanahi sebagai kepala sekolah swasta di Sindanglaut.
Seiring dengan waktu semua berubah. Kondisi kesehatan ibu perlahan namun pasti menurun. Beberapa kali sakit, beberapa kali unfall, namun kembali sehat. Nah, pada 16 Desember 2023 ibu terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Karena luka terbukanya efek diabet. Karena tidak ada asupan makanan.
Pada Rabu 13 Desember sebelumnya, ibu ngeluh kepada asisten rumah tanggaku bahwa ia sakit. Ia merindukan anak-anaknya pada kumpul semua. Ini curhat kerinduan yang tidak biasanya. Ibu sudah biasa anak-anaknya tak pernah hadir lengkap, sekalipun pada saat lebaran. Di tanggal 22 Desember 2023, akhirnya semua anak almahrum Mang Iing dan Mimi Mioh bisa kumpul semua. Kumpul untuk mengantarkan jenazah ibunda di tempat peristirahatan terakhirnya. (*)