Lupakan virus corona (Covid-19).
Lupakan kalau virus ini diduga asal dari Wuhan China.
Lupakan kalau kita pernah divaksinasi proteksi covid.
Lupakan tentang mengisolasi, memproteksi diri dan pembatasan sosial berlebihan.
Walau banyak pihak menuding Wuhan sebagai sumber penyebaran virus, toh tak ada penindakan serius. Jangankan kita. Jangankan Indonesia. Negara-negara di dunia pun akhirnya lebih sibuk memerangi virusnya daripada negara pandemi tersebut. Apalagi kita sebagai buih di tengah lautan, sulit melawan ombak tsunami covid.
Walau banyak info berseliweran jika covid adalah senjata biologis. Bak tentara perang yang dikirim untuk melumpuhkan pertahanan negara-negara di dunia. Alhasil, negara-negara berteknologi perang canggih dan modern pun ampun-ampunan menghadapi tentara micro tersebut. Prajurit perkasa pun dibuat mati kutu.
Walau jumlah penduduk makin berlipat yang sudah divaksin, toh tak menghentikan kegenitan corona mendekati manusia. Jumlah korban pun terus berjatuhan. Mereka jatuh dalam pelukan covid. Ironinya, mereka yang terpapar pun sudah tuntas menjalani vaksinasi. Bahkan menyerang paramedis: dokter dan perawat. Diantara mereka ada yang berguguran. Syahid. Insha Allah....
Vaksin seolah kehilangan keperkasaan. Tak seperti cita-cita yang diharapkan sejak awal. Berharap vaksin menjadi solusi dari pandemi. No! Lihatlah. Masa mudik lebaran, misalnya, surat telah vaksinasi tak masuk dokumen penting sebagai prasyarat dispensasi mudik. Masyarakat harus punya surat sakti: SIKM, surat tugas, dan menjalani lagi tes covid (swab antigen).
Vaksin terasa menjadi tak urgen. Divaksin tetap potensi terpapar. Divaksin tetapi virus-virus varian baru telah lahir. Berita media, mencapai 54 varian. Bahkan konon lebih mematikan. Kondisi ini ada yang berpandangan sinis: jika varian virus dampak dari vaksinasi. Merebaknya varian baru seorang profesor Indonesia mendorong program vaksin yang sedang berjalan dihentikan. Katanya virusnya sudah berubah. Vaksin lama ga cucok. Duh, ngeri yah.
Pergerakan virus bermutasi ria membuat negara-negara klimpungan. Panik. Uang kas yang ada sudah terkuras habis, dan malah tekor. Selain berhemat, utang pun menjadi pilihan. Ketersediaan untuk membeli vaksin, membeli peralatan medis pendukung. Termasuk borong masker. Masker di pasaran banyak diproduksi oleh China. Murmer lagi.
Pemerintah mengalami dilema tingkat dewa. Bagai makan buah simalakama. Disiplin ketat terhadap pembatasan sosial, apalagi memilih dilockdown akan berujung pada lumpuhnya ekonomi masyarakat. Pendapatan negara pun terjun bebas. Nyungsep. Sebaliknya membebaskan warga beraktifitas, hanya akan memberi umpan si coro.
Sektor pendidikan pun dibuat serba salah. Kejenuhan PJJ lebih dari satu tahun, tak membuat cukup keberanian sekolah-sekolah membuka pembelajaran tatap muka. Semua masih anteng dengan pembelajaran pakai gadget. Pakai sarana multimedia. Semua dipaksa melek teknologi berbasis internet. Kuota data kini masuk dalam daftar menu belanja bulanan.
Belajar tatap muka memang beresiko. Namun Belajar Dari Rumah pun bukan berarti tanpa resiko. Resiko yang sering tak diperhitungkan adalah dampak psiko-sosial. Yang ikut mempengaruhi daya tahan tubuh. Keakraban kita bercumbu dengan gadget tanpa sadar sisi humanisme kita terganggu. Bisa berpotensi asosial. Teralienasi. Terisolir. Menyendiri.
Kecanduan gadget benar-benar bikin merusak mata. Baik mengganggu mata pencaharian, maupun kesehatan mata. Berapa uang yang harus rogoh untuk membeli smartphone. Berapa duit yang keluar membeli kuota data. Berapa anak yang mengalami gangguan kesehatan mata, bahkan otaknya.
Tentu saja PJJ bukan biang kerok anak-anak candu gadget. Namun lepas kendali orang tua terhadap penggunaan gadget anak-anak akan berdampak buruk. Belajar PJJnya sebentar, namun bermain game dan sosmednya berjam-jam. WHO pernah memasukan kecanduan game online sebagai kategori gangguan kesehatan mental. Anak hanya boleh konsumsi game online tak lebih dari dua jam.
Yang bikin miris, jika akses media anak-anak sampai masuk ke zona terlarang. Membuka situs-situs dewasa. Dan ini tidak mustahil di tengah deras dan mudahnya arus informasi media. Efek ditemukan, ada anak-anak usia sekolah bebas bergaul. Malah ada juga yang dinikahkan karena alasan darurat.
Belum lagi efek kesehatan mata yang dialami anak. Data pada toko kacamata optik menyebutkan, penggunaan kaca mata pada anak-anak meningkat. Seiring efek radiasi media hp, tivi dan komputer. Atau meningkatkan kasus kekerasan terhadap anak di dalam keluarga. Anaknya belajar daring, bikin sebagian orang tuanya dating. Darah tinggi.
Lalu gimana dooong? Memproteksi, mengisolasi dan melakukan pembatasan sosial berlebihan tak membuat situasinya berubah baik. Kini bagaimana kita bisa tetap eksis di tengah ancaman covid. Dipastikan dalam jangka pendek kita akan sulit hidup bebas virus. Virus akan bergerak seiring pergerakan manusia. Jika manusianya sehat, maka menjadi masyarakat yang sehat. Jika manusia sakit, maka perlahan akan membuat sakit masyarakat.
Terpenting, bagaimana membentuk manusia-manusia sehat. Apapun info awal tentang covid, lupakan. Ikhtiar kita adalah jalani protokol kesehatan secara disiplin diri. Gak perlu dipaksa. Selalu pakai masker dan menjaga jarak saat berinteraksi sosial. Jangan lupa menjaga kebersihan diri: rajin cuci tangan sebelum dan sesudah bersentuhan dengan manusia dan benda. Membatasi berpergian di tempat keramaian.
Tak cukup sampai 5M. Masyarakat harus kembali membiasakan pola hidup sehat. Sehat secara fisik, maupun secara mental spiritual. Secara fisik harus makan minum bergizi dan halal. Perbanyak sayur dan buah. Kurangi karbohidrat dan gula. Istirahat (tidur) dan olahraga teratur (terjadwal). Beribadah tumaninah, berdoa dan berfikir positif. Jangan lupa untuk selalu bahagia. Terapi ini dijalani oleh mereka yang tengah menjalani proses penyembuhan dari covid.
Bagi sekolah, persiapan PTM tak melulu persiapan sarana prasaran pencegahan covid-19 dan protokol kesehatan. Tetapi juga harus menciptakan sistem dan budaya sekolah yang anti covid. Kurikulum dan metode pembelajaran pun harus adaptif sesuai masa pandemi. Pastikan tak ada lagi guru yang "killer" menghadapi siswa. Karena hal itu bisa melemahkan imunitas mereka yang berpotensi virus mendekat. Bagi guru, inilah ujian profesionalisme Anda. Bagaimana di tengah keterbatasan, tujuan pembelajaran tetap tercapai.
Pandemi covid-19 menjadi ujian bagi banyak pihak. Tanpa disadari ada pergeseran tata sosial, budaya dan ekonomi. Masyarakat dipaksa untuk mengenal teknologi informasi dan komunikasi berbasis internet. Masyarakat dipaksa untuk hidup sehat, bersih, disiplin. Bahkan dipaksa untuk mengingat kematian. Dipaksa mendekatkan kepada Sang Pencipta untuk kembali ke fitrahnya. Menjalani hidup sesuai tugas dan fungsinya. Mengingatkan kembali tujuan hidupnya di dunia. Wallahu'alam bishowab. (*)
Pronggol, 29 Mei 2021 I 03:39
*Foto: senam rutin jumat sehat bersama kepala sekolah dan guru-guru se- Kec. Pekalipan Kota Cirebon