Mei 29, 2021

NAPAK TILAS 28 TAHUN ABU-ABU

Tak terasa 28 tahun silam kita pernah bersama. Bersama berjuang, berproses membangun asa, menggapai cita-cita. Ada suka, ada duka. Ada tawa, ada air mata. Ada keceriaan, ada juga kebencian. Kini 28 tahun kemudian, semua sudah berubah. Perjumpaan kita terselip rasa haru.

Perjumpaan kita, kawan abu-abu akhirnya terwujud. Walau reunian dalam jumlah yang sangat sedikit. Dari tiga kelas satu liting, hanya 11 orang yang hadir. Yah, ini reunian tanpa terencana. Hanya ada kerinduan menengok kawan yang terkena musibah. Sejak 4 tahun lalu, kaki kanannya harus diamputasi karena sakit. 
Ujian kawan abu-abu ini baru terdengar menjelang lebaran tahun ini.  Baru sempat kemarin kita bersebelas meluncur ke Desa Bojongsari Kec. Losari Kab. Brebes Jawa Tengah. Sekitar 21 km dari arah sekolah kami, di Sindanglaut Cirebon. Mereka yang sempat hadir adalah saya, Eli, Supriyadi, Kholiq, Asep John, Amanah, Sumiyati, Ida, Apit, dan Koriyah. Kami meluncur dengan mobil Xenia dan Camry pukul 12 siang.
Titik kumpul di kediaman Eli, di Desa Lemahabang Kulon. Kami menelusuri jalan Sindanglaut, Karangsembung, Kubangdeleg, Pabuaran dan Ciledug. Mampir sejenak di sebuah rumah makan. Perjalanan penuh canda dan tawa. Bercerita masa lalu masa-masa sekolah. Tak terasa kendaraan sudah masuk daerah perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Sekitar jam 1 kami tiba di Desa Bojongsari Kec. Losari. 
Di rumah tujuan sudah ada Cahrodi dan Sri Mulyati. Dua teman kelas sosial. Melihat keduanya, melihat kondisi jalan dan lokasi rumah, kami mengingat masa lalu sekolah. Sangat wajar jika keduanya sering terlambat masuk sekolah. Untuk berangkat sekolah, setiap hari harus menempuh perjalanan 42 km (PP). Tak ada kendaraan umum ke terminal bis yang jaraknya sekitar 5 km. Hanya sepeda otel yang bisa digunakan.

Alhamdulillah, walau reunian terbatas kami sedikit memberikan bantuan untuk meringankan beban hidup kawan kita. Paling tidak dalam beberapa hari ke depan. Semoga Allah Swt melapangkan rejeki Cahrodi dan juga teman2 yg sudah berbagi. Aamiin....
Usai berkunjung ke rumah Cahrodi, temen-temen menyempatkan mampir ke rumah Harsono. Kawan yang akrab disapa Eyeng ini berada di Desa Ciuyah Kec. Waled Kab. Cirebon. Hujan besar menyambut kedatangan kami. Setelah 28 tahun, semua berubah. Namun nasib Cahrodi, kurang beruntung. Ia harus sabar menjalani hidupnya dengan kaki satu. Tanpa isteri dan anaknya. Namun Cahrodi masih punya saudara, tetangga, masih punya teman yang peduli. Semoga bantuan kaki palsunya akan segera datang. (*)

AJA KEDERENG-DERENG PTM !


Aja kedereng-dereng PTM. Yah, kata-kata itu terucap dari seorang ibu, pensiunan guru Kota Cirebon. Dalam sesi tanya jawab sebuah acara Dialog Pagi RRI Cirebon, 25 Mei 2021. Hadir sebagai narsum via telepon Kadisdik Kota Cirebon DR Irawan Wahyono, M.Pd dan guru berprestasi, pegiat dan kapten literasi dari SMPN 2 Kota Cirebon Kartino Ali, M.Pd.
Sebuah pernyataan bernada protes terhadap mereka yang kebelet ingin melaksanakan pembelajaran tatap muka di sekolah. Di tengah penyebaran virus corona yang belum surut. Terlebih selepas lebaran,  Kota Cirebon satu-satunya daerah di Jawa Barat kembali berstatus zona merah covid-19. Bagi ibu guru senior ini, kesehatan dan keselamatan siswa dan guru itu yang utama.

Ini berdasarkan data 17-23 Mei 2021. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menduga, kondisi kota pantura perbatasan ini karena posisi geografis sebagai kota perlintasan mudik. Sebagai kota kunjungan wisata. 
Pendapat Kang Emil itu sempat menjadi trending topic para warga penikmat kopi. Sambil menyeruput, mereka berasumsi. Aja-aja warga yang tercatat positif covid adalah mereka pendatang. Yang melintas mudik lewat Kota Cirebon. Yang tengah berburu wisata kuliner dan belanja menjelang dan selama masa liburan lebaran. Entahlah....

Menyikapi data zona merah, Pemerintah Kota Cirebon akhirnya kembali menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hingga 31 Mei 2021. Ini pun akhirnya berdampak pada kegiatan pembelajaran siswa yang tetap dijalankan secara daring (online). 

Padahal sesuai schedule, pada tahun ajaran baru 2021/2022 kegiatan pembelajaran siswa akan diuji coba tatap muka di sekolah. Uji coba  ini masih berbatas dan mentaati prokes yang sudah digariskan oleh Kemdikbud dan Disdik Kota Cirebon.

Tentu saja, perpanjangan masa daring belajar memupuskan harapan sebagian orang tua. Harapan akan kembalinya pembelajaran anak secara new normal di sekolah. Pembelajaran dengan hati yang terencana, terarah, terpantau dan terukur. 

Secara resmi perpanjangan belajar daring disampaikan pihak dinas dalam brifing dengan korwil, para kepala sekolah dan lembaga pendidikan non formal. Brifing awal di Disdikkotacirebon pada Selasa 25 Mei, kemudian akan dibahas dalam rapat dinas pada Kamis 27 Mei bertempat di SMPN 4 Kota Cirebon. 

Apakah tahun ajaran baru akan tetap daring, belajar dari rumah atau ada keberanian untuk pembelajaran tatap muka? Nantikan hasil rapat pada Kamis ini. Aja mendi-mendi. Tetap panteng medsos pade Deny Rochman. 😀

#IkhtiarTiadaHenti.

Mei 28, 2021

LUPAKAN COVID-19

Lupakan virus corona (Covid-19). 
Lupakan kalau virus ini diduga asal dari Wuhan China. 
Lupakan kalau kita pernah divaksinasi proteksi covid.
Lupakan tentang mengisolasi, memproteksi diri dan pembatasan sosial berlebihan.

Walau banyak pihak menuding Wuhan sebagai sumber penyebaran virus, toh tak ada penindakan serius. Jangankan kita. Jangankan Indonesia. Negara-negara di dunia pun akhirnya lebih sibuk memerangi virusnya daripada negara pandemi tersebut. Apalagi kita sebagai buih di tengah lautan, sulit melawan ombak tsunami covid. 
Walau banyak info berseliweran jika covid adalah senjata biologis. Bak tentara perang yang dikirim untuk melumpuhkan pertahanan negara-negara di dunia. Alhasil, negara-negara berteknologi perang canggih dan modern pun ampun-ampunan menghadapi tentara micro tersebut. Prajurit perkasa pun dibuat mati kutu.

Walau jumlah penduduk makin berlipat yang sudah divaksin, toh tak menghentikan kegenitan corona mendekati manusia. Jumlah korban pun terus berjatuhan. Mereka jatuh dalam pelukan covid. Ironinya, mereka yang terpapar pun sudah tuntas menjalani vaksinasi. Bahkan menyerang paramedis: dokter dan perawat. Diantara mereka ada yang berguguran. Syahid. Insha Allah....
Vaksin seolah kehilangan keperkasaan. Tak seperti cita-cita yang diharapkan sejak awal. Berharap vaksin menjadi solusi dari pandemi. No! Lihatlah. Masa mudik lebaran, misalnya, surat telah vaksinasi tak masuk dokumen penting sebagai prasyarat dispensasi mudik. Masyarakat harus punya surat sakti: SIKM, surat tugas, dan menjalani lagi tes covid (swab antigen). 

Vaksin terasa menjadi tak urgen. Divaksin tetap potensi terpapar. Divaksin tetapi virus-virus varian baru telah lahir. Berita media, mencapai 54 varian. Bahkan konon lebih mematikan. Kondisi ini ada yang berpandangan sinis: jika varian virus dampak dari vaksinasi. Merebaknya varian baru seorang profesor Indonesia mendorong program vaksin yang sedang berjalan dihentikan. Katanya virusnya sudah berubah. Vaksin lama ga cucok. Duh, ngeri yah.
Pergerakan virus bermutasi ria membuat negara-negara klimpungan. Panik. Uang kas yang ada sudah terkuras habis, dan malah tekor. Selain berhemat, utang pun menjadi pilihan. Ketersediaan untuk membeli vaksin, membeli peralatan medis pendukung. Termasuk borong masker. Masker di pasaran banyak diproduksi oleh China. Murmer lagi.

Pemerintah mengalami dilema tingkat dewa. Bagai makan buah simalakama.   Disiplin ketat terhadap pembatasan sosial, apalagi memilih dilockdown akan berujung pada lumpuhnya ekonomi masyarakat. Pendapatan negara pun terjun bebas. Nyungsep. Sebaliknya membebaskan warga beraktifitas, hanya akan memberi umpan si coro.
Sektor pendidikan pun dibuat serba salah. Kejenuhan PJJ lebih dari satu tahun, tak membuat cukup keberanian sekolah-sekolah membuka pembelajaran tatap muka. Semua masih anteng dengan pembelajaran pakai gadget. Pakai sarana multimedia. Semua dipaksa melek teknologi berbasis internet. Kuota data kini masuk dalam daftar menu belanja bulanan. 

Belajar tatap muka memang beresiko. Namun Belajar Dari Rumah pun bukan berarti tanpa resiko. Resiko yang sering tak diperhitungkan adalah dampak psiko-sosial. Yang ikut mempengaruhi daya tahan tubuh. Keakraban kita bercumbu dengan gadget tanpa sadar sisi humanisme kita terganggu. Bisa berpotensi asosial. Teralienasi. Terisolir. Menyendiri.

Kecanduan gadget benar-benar bikin merusak mata. Baik mengganggu mata pencaharian, maupun kesehatan mata. Berapa uang yang harus rogoh untuk membeli smartphone. Berapa duit yang keluar membeli kuota data. Berapa anak yang mengalami gangguan kesehatan mata, bahkan otaknya. 

Tentu saja PJJ bukan biang kerok anak-anak candu gadget. Namun lepas kendali orang tua terhadap penggunaan gadget anak-anak akan berdampak buruk. Belajar PJJnya sebentar, namun bermain game dan sosmednya berjam-jam. WHO pernah memasukan kecanduan game online sebagai kategori gangguan kesehatan mental. Anak hanya boleh konsumsi game online tak lebih dari dua jam. 

Yang bikin miris, jika akses media anak-anak sampai masuk ke zona terlarang. Membuka situs-situs dewasa. Dan ini tidak mustahil di tengah deras dan mudahnya arus informasi media. Efek ditemukan, ada anak-anak usia sekolah bebas bergaul. Malah ada juga yang dinikahkan karena alasan darurat. 

Belum lagi efek kesehatan mata yang dialami anak. Data pada toko kacamata optik menyebutkan, penggunaan kaca mata pada anak-anak meningkat. Seiring efek radiasi media hp, tivi dan komputer. Atau meningkatkan kasus kekerasan terhadap anak di dalam keluarga. Anaknya belajar daring, bikin sebagian orang tuanya dating. Darah tinggi.

Lalu gimana dooong? Memproteksi, mengisolasi dan melakukan pembatasan sosial berlebihan tak membuat situasinya berubah baik. Kini bagaimana kita bisa tetap eksis di tengah ancaman covid. Dipastikan dalam jangka pendek kita akan sulit hidup bebas virus. Virus akan bergerak seiring pergerakan manusia. Jika manusianya sehat, maka menjadi masyarakat yang sehat. Jika manusia sakit, maka perlahan akan membuat sakit masyarakat. 

Terpenting, bagaimana membentuk manusia-manusia sehat. Apapun info awal tentang covid, lupakan. Ikhtiar kita adalah jalani protokol kesehatan secara disiplin diri. Gak perlu dipaksa. Selalu pakai masker dan menjaga jarak saat berinteraksi sosial. Jangan lupa menjaga kebersihan diri: rajin cuci tangan sebelum dan sesudah bersentuhan dengan manusia dan benda. Membatasi berpergian di tempat keramaian. 

Tak cukup sampai 5M. Masyarakat harus kembali membiasakan pola hidup sehat. Sehat secara fisik, maupun secara mental spiritual. Secara fisik harus makan minum bergizi dan halal. Perbanyak sayur dan buah. Kurangi karbohidrat dan gula. Istirahat (tidur) dan olahraga teratur (terjadwal). Beribadah tumaninah, berdoa dan berfikir positif. Jangan lupa untuk selalu bahagia. Terapi ini dijalani oleh mereka yang tengah menjalani proses penyembuhan dari covid. 

Bagi sekolah, persiapan PTM tak melulu persiapan sarana prasaran pencegahan covid-19 dan protokol kesehatan. Tetapi juga harus menciptakan sistem dan budaya sekolah yang anti covid.  Kurikulum dan metode pembelajaran pun harus adaptif sesuai masa pandemi. Pastikan tak ada lagi guru yang "killer" menghadapi siswa. Karena hal itu bisa melemahkan imunitas mereka yang berpotensi virus mendekat. Bagi guru, inilah ujian profesionalisme Anda. Bagaimana di tengah keterbatasan, tujuan pembelajaran tetap tercapai.

Pandemi covid-19 menjadi ujian bagi banyak pihak. Tanpa disadari ada pergeseran tata sosial, budaya dan ekonomi. Masyarakat  dipaksa untuk mengenal teknologi informasi dan komunikasi berbasis internet. Masyarakat dipaksa untuk hidup sehat, bersih, disiplin. Bahkan dipaksa untuk mengingat kematian. Dipaksa mendekatkan kepada Sang Pencipta untuk kembali ke fitrahnya. Menjalani hidup sesuai tugas dan fungsinya. Mengingatkan kembali tujuan hidupnya di dunia. Wallahu'alam bishowab. (*)

Pronggol, 29 Mei 2021 I 03:39

*Foto: senam rutin jumat sehat bersama kepala sekolah dan guru-guru se- Kec. Pekalipan Kota Cirebon