Pesawat televisi boleh dibilang sudah menjadi kebutuhan pokok. Tanpanya seolah hidup ini belum lengkap. Buktinya hampir masyarakat, baik kaya maupun miskin memiliki media teknologi informasi dan komunikasi jenis ini. Tentu yang membedakan jenis dan merk pesawatnya, termasuk menu program yang ditonton.
Kecanduan masyarakat terhadap televisi memang bukan tanpa sebab. Beragam menu acara yang dikemas menawan membuat penonton tersihir. Mereka ingin lagi lagi dan lagi menikmati tayangan. Pandangannya tak bergeser dari layar kaca. Apalagi jika programnya menarik, seperti film, sinetron, komedi, musik atau reality show.
Pentingnya media tivi membuat fungsinya bergeser atau bertambah. Ia kini diperlakukan bagai senjata perang. Senjata untuk menyerang dan melumpuhkan pihak lain. Senjata untuk menjaga posisinya agar tetap aman. Sebagai alat propaganda dalam membujuk dan mempengaruhi opini massa. Melawan atau tunduk!
Perannya yang berubah membuat televisi jaman now tak bebas nilai. Tak lagi independen memihak kepada masyarakat. Lebih membela kepentingan kepada kaum kapital. Maka menu acara atau program pun semakin berganti bulan makin tidak jelas arah edukasinya. Semua suguhan mengusung kekerasan, hedonisme, konsumerisme, kebencian atau romantisme.
Celakanya spirit merusak itu tak hanya nyusup di acara-acara hiburan. Acara lain segmentasi usia dewasa seperti berita, talkshow, reality show dan lainnya tak luput bermuatan negatif. Akibatnya menonton tayangan model apapun justeru membuat suasana kebatinan penonton itu cemas, tertekan, takut bahkan emosi dan marah.
Sebaliknya, tak menikmati tayangan televisi terasa agak berbeda. Di satu sisi kurang up date informasi, namun di sisi lain kehidupan dijalani lebih damai, tenang. Termasuk sedikit tenang tak membayar tagihan listrik yang terus menggila. Seiring negara mulai dicabutnya subsidi. Paling tidak rasa ini dialami saya sejak awal tahun 2018 hingga April ini.
Yah, sudah empat bulan pesawat televisi di rumah tak pernah nyala. Tak pernah menemani kita saat makan, mengisi kekosongan waktu atau sekadar melepas lelah dan menemani pekerjaan di rumah. Warga rumah lebih menghabiskan waktu dengan cara lain, seperti buka laptop, lihat ponsel, baca buku atau sekadar bercengkrama dengan sanak saudara dan tetangga.
Bandingkan empat bulan sebelumnya. Hidup kita tak pernah putus dari pandangan tivi setiap hari. Malah bisa menghabiskan waktu berjam-jam memplototi tanyangan layar kaca jika waktu libur tiba. Pekerjaan apapun dipaksa harus didepan pesawat agar sambil menonton. Akhirnya otak kita dijejelali beragam tayangan. Akhirnya tagihan listrik di rumah meroket. (PaDE)