April 14, 2018

HIDUP TANPA TELEVISI, BISAKAH?

Pesawat televisi boleh dibilang sudah menjadi kebutuhan pokok. Tanpanya seolah hidup ini belum lengkap. Buktinya hampir masyarakat, baik kaya maupun miskin memiliki media teknologi informasi dan komunikasi jenis ini. Tentu yang membedakan jenis dan merk pesawatnya, termasuk menu program yang ditonton.

Kecanduan masyarakat terhadap televisi memang bukan tanpa sebab. Beragam menu acara yang dikemas menawan membuat penonton tersihir. Mereka ingin lagi lagi dan lagi menikmati tayangan. Pandangannya tak bergeser dari layar kaca. Apalagi jika programnya menarik, seperti film, sinetron, komedi, musik atau reality show.

Pentingnya media tivi membuat fungsinya bergeser atau bertambah. Ia kini diperlakukan bagai senjata perang. Senjata untuk menyerang dan melumpuhkan pihak lain. Senjata untuk menjaga posisinya agar tetap aman. Sebagai alat propaganda dalam membujuk dan mempengaruhi opini massa. Melawan atau tunduk!

Perannya yang berubah membuat televisi jaman now tak bebas nilai. Tak lagi independen memihak kepada masyarakat. Lebih membela kepentingan kepada kaum kapital. Maka menu acara atau program pun semakin berganti bulan makin tidak jelas arah edukasinya. Semua suguhan mengusung kekerasan, hedonisme, konsumerisme, kebencian atau romantisme.

Celakanya spirit merusak itu tak hanya nyusup di acara-acara hiburan. Acara lain segmentasi usia dewasa seperti berita, talkshow, reality show dan lainnya tak luput bermuatan negatif. Akibatnya menonton tayangan model apapun justeru membuat suasana kebatinan penonton itu cemas, tertekan, takut bahkan emosi dan marah.

Sebaliknya, tak menikmati tayangan televisi terasa agak berbeda. Di satu sisi kurang up date informasi, namun di sisi lain kehidupan dijalani lebih damai, tenang. Termasuk sedikit tenang tak membayar tagihan listrik yang terus menggila. Seiring negara mulai dicabutnya subsidi. Paling tidak rasa ini dialami saya sejak awal tahun 2018 hingga April ini.

Yah, sudah empat bulan pesawat televisi di rumah tak pernah nyala. Tak pernah menemani kita saat makan, mengisi kekosongan waktu atau sekadar melepas lelah dan menemani pekerjaan di rumah. Warga rumah lebih menghabiskan waktu dengan cara lain, seperti buka laptop, lihat ponsel, baca buku atau sekadar bercengkrama dengan sanak saudara dan tetangga.

Bandingkan empat bulan sebelumnya. Hidup kita tak pernah putus dari pandangan tivi setiap hari. Malah bisa menghabiskan waktu berjam-jam memplototi tanyangan layar kaca jika waktu libur tiba. Pekerjaan apapun dipaksa harus didepan pesawat agar sambil menonton. Akhirnya otak kita dijejelali beragam tayangan. Akhirnya tagihan listrik di rumah meroket. (PaDE)

MENANTI ANAK KEMBAR YANG TERTUNDA

Kamar 225 menjadi "misteri" bagi saya dan isteri. Kamar di ruang Kamelia RS Putera Bahagia Cirebon ini sudah kenal sejak 2011 silam. Tahun ketika kami berdua harus merelakan anak yang sudah lima tahun dinanti. Anak kedua itu layu sebelum berkembang di usia kandungan 4 bulan. Kepergian jabang bayi itu memecahkan tangis di pagi yang sunyi.

2016, di kamar yang sama isteri berbaring lemas. Menanti proses persalinan yang dipaksa. Dipaksa caesar karena alasan kondisi kesehatan isteri. Tensinya terus menanjak di usia kandungan yang tinggal injury time. Caesar dianggap menjadi pilihan terbaik untuk menyelamatkan ibu dan bayi. Lahirlah anak laki-laki dengan bobot 3 kg. Kini si gagah diberi nama Nabil Faiz Fadilah.

Caesar anak kedua menjadi babak baru sejarah keluarga kami. Tindakan operasi model persalinan ini memang mulai akrab di jaman kekinian. Kendati istilah kedokteran itu sudah lama dikenal, namun bagi orang-orang ndeso seperti saya, lahir lewat proses caesar sesuatu yang menakutkan. Takut karena jalani proses pembelekan perut. Takut karena ongkos persalinanya besar.

Rasa takut itu membuat kami berusaha mati-matian bagaimana saat proses kehamilan anak pertama. Anak yang juga lama lima tahun dinanti itu jangan sampai harus melalui pembedahan. Hasilnya lumayan. Kendati air ketuban sempat bocor bahkan nyaris habis. Kendati bobot bayi 3 kg lebih. Kendati nafas isteri tersengal-sengal namun kami menghindari caesar. Bayi di vacum.

Itu dulu. Jaman sekarang, persalinan cara caesar menjadi rekomendasi dunia medis obstetri dan ginekologi (SpOG). Alasan yang sering didengar adalah untuk menghindari ibu dan anak lahir. Menurut informasi, kematian ibu dan bayi saat jalani proses persalinan terus meningkat. Ini akan mengancam kelangsungan hidup manusia di muka bumi.

Urusan caesar tak lagi pilihan bagi orang berduit. Mereka dari kaum dhuafa pun bisa menjajal persalinan pembedahan itu. Tinggal siapkan mental dengan resiko yang dihadapi. Khususnya resiko jangka panjang pasca caesar. Untuk kesiapan fulus, negara sudah menanggungnya melalui program BPJS, asuransi kesehatan. Sejak itu dunia bedah membedah lahiran makin akrab dikalangan wong cilik.

Jumat malam 13 April 2018, isteri kembali lagi ke kamar 225. Setelah jalani pemeriksaan marathon dengan dr. Anwan Sandi, S.pOG di klinik Ummi, dr. Amel Suganda. S.pOG di RS Sumber Kasih dan dr. Hermawan. S.pOG di klinik Famina. Dokter kandungan terakhir memaksa isteri harus segera dirawat di rumah sakit. Hasil cek tensi darah mencapai 170.

Padahal cek tensi sebelumnya, baik oleh dua dokter selain Hermawan maupun dua bidan Bd Nino dan Bd Nuning tensi isteri dinyatakan normal. Termasuk saat dokter Eka Prasetyo, SpOG.

Sesuai diagnosis medis, kandungan isteri baru 35 minggu. Kurang sekitar 2 pekan lagi debay dinyatakan siap melahirkan. Jika terpaksa dilakukan persalinan caesar karena alasan kesehatan maka kemungkinan bayi lahir prematur. Itu artinya debay harus masuk ruang NICU. Di ruang pemulihan ini paling tidak butuh waktu dua minggu. Kendati dokter lain berpendapat, jika bobot bayi di atas 2,5 bayi bisa dikatakan normal.

Anak pertama kami kini sudah kelas 6 SD di usia yang masih belia. Kami kasih nama Nabil Zulfah Salsabila. Tafsir bebasnya anak perempuan cerdas dekat dengan mata air di surga. Sementara anak ketiga Nabil Faiz Fadilah harapannya anak laki-laki yang cerdas menuju kemenangan yang utama. Kini usianya belum 2 tahun, namun akan memiliki adik. Sering kami sebut, anak kembar yang tertunda. (PaDE)