Seorang ibu dari Sunyaragi, yang biasanya hanya membayar Rp 50 ribu, tagihan bulan Nopember membengkak hingga Rp 130 ribu. Ada lagi warga lainnya, yang biasa membayar Rp 48.000, namun harus membayar Rp 165.000. Fantasis !! Lucunya lagi, ada rumah yang sudah tiga bulan tidak ditempati juga harus membayar tinggi.
Kesal dengan tagihan itu, para pelanggan protes kepada bagian pengaduan. Menurut petugas, kenaikan biaya tagihan air karena ada peralihan kelas/golongan pelanggan per Oktober 2014. Pada ketentuan baru yang diumumkan di Koran lokal 27 Oktober 2014 tersebut, dasar kenaikan kelas pelanggan air mengacu kepada kepemilikan luas bangunan tempat tinggal.
Dalam Surat Keputusan Direksi PDAM Kota Cirebon Nomor 690/KEP.36-PDAM/2014 disebutkan klasifikasi pelanggan dalam empat kelompok. Kelompok I terdiri dari social khusus bagi tempat ibadah dan social umum seperti panti asuhan, jompo, pesantren, madrasah dan sejenisnya. Sementara kelompok II meliputi rumah semi permanan hingga industry kecil. Kelompok III terdiri instansi pemerintah hingga industry besar. Sedangkan kelompok IV meliputi PDAM Kab. Cirebon hingga keperluan bisnis.
Pelanggan rumahan pada umumnya masuk dalam kategori kelas III, mulai dari kelompok rumah permanen B atau dengan kode C2. Kategori ini pelanggan yg punya rumah permanen dg daya listrik 900 watt, luas bangunan 45m2 dg nilai NJOP Rp.150.juta. Petugas mengatakan, ketetapan klasifikasi kelas tersebut sebenarnya sudah dibuat sejak tahun 2008 namun baru disetujui untuk diterapkan tahun 2014 ini.
MENGHERANKAN
Para pelanggan air PDAM mempertanyakan kebijakan Pemerintah Kota Cirebon tersebut.
Pertama, DASAR KENAIKAN BERDASARKAN LUAS BANGUNAN.
Dasar kebijakan klasifikasi kelas pelanggan dinilai tidak masuk akal. Karena pelanggan menempati rumah besar belum tentu ia termasuk pelanggan yang mampu. Boleh jadi rumah itu sifatnya berb/kontrak, atau rumah warisan, bisa juga yang bersangkutan korban PHK. Mestinya kebijakan itu didasarkan kepada status ekonomi pelanggan, seperti pendapatan, penghasilan dan pekerjaannya karena terkait dengan kemampuan financial pelanggan.
Selama ini tagihan air didasarkan kepada jumlah kubik air yang digunakan oleh pelanggan. Kebijakan yang satu ini terasa rasional, karena mereka yang memakai jumlah banyak maka membayarnya akan lebih besar. Kini dasar tagihan rekening air pelanggan ada dua: penggunaan kubik air dan luas bangunan.
Sayangnya, saat ditanya mengapa dasar kebijakannya karena kepemilikan luas bangunan, petugas PDAM tidak mau menjelaskan. Ia mengatakan pihaknya hanya menjalankan tugas, masalah alas an dasar kebijakan silahkan Tanya kepada pihak direksi.
Kedua, MEKANISME PENGADUAN BERBELIT.
Jika ada pelanggan yang mengajukan protes keberatan, pihak PDAM memiliki mekanisme kebijakan, yang dinilai berbelit. Tertulis dalam potongan kertas kecil tertulis mekanisme pengaduan, agar pelanggan yang keberatan untuk mengajukan kepada pihak PDM dengan menunjukkan foto copy pajak PBB dan struk pembayaran tagihan bulan sebelumnya (pribadi).
Tidak hanya itu, pelanggan juga harus melampirkan dua pelanggan tetanganya dengan bukti serupa. Bukti dokumen tersebut tidak semua orang bisa mendapatkannya, terlebih bagi mereka yang tinggal dalam komplek perumahan yang tingkat individualismenya tinggi. Apakah tidak cukup dengan menunjukkan bukti miliki pelanggan pribadi. Jika belum yakin, petugas bisa melakukan survai ke lokasi.
Ketiga, SOSIALISASI KEBIJAKAN TIDAK MAKSIMAL
Protesnya para pelanggan PDAM atas kebijakan baru biaya air minum karena mereka belum tahu informasi kebijakan tersebut. Kendati pihak PDAM mengaku sudah melakukan sosialisasi di Koran local pada 27 Oktober 2014. Padahal tidak semua pelanggan berlangganan atau membaca Koran local. Mestinya PDAM bisa menggunakan juga media lain, seperti brosur, spanduk/baliho, surat atau SMS massif ke setiap pelanggan sehingga hak pelanggan terasa dihormati.
Keempat, PEMBERLAKUKAN KELAS BELUM SEMUA
Pemberlakukan kebijakan klasifikasi kelas pelanggan sekalipun sudah ditetapkan per Oktober 2014, namun ternyata tidak semua pelanggan diperlakukan sama. Ada juga pelanggan yang membayar tagihan air PDAM sama jumlahnya bahkan ada yang tagihannya turun dari bulan sebelumnya. Mengapa terjadi? Lagi-lagi petugas PDAM berdalih, pemberlakukan kebijakan kelas secara bertahap sehingga tidak semua pelanggan mengalami kenaikan biaya tagihan.
Nah loh? Jika benar penjelasan petugas tersebut, ini berarti pihak PDAM telah melakukan diskriminasi terhadap pelanggannya. Di satu pihak ada pelanggan yang harus membayar lebih tagihannya, tetapi di pihak lain ada pelanggan yang masih tenang karena tagihannya tidak berbeda dengan tagihan bulan-bulan sebelumnya.
Meskinya pemberlakuan itu harus diterapkan kepada semua pelanggan. Jika pun system internal PDAM yang belum siap, jangan dipaksakan kebijakan ini diterapkan sehingga membuat resah pelanggan. Sekarang yang terjadi terkesan kebijakan tergesa-gesa, yang penting jalan, urusan belakangan. Jika ada konsumen yang complain, tinggal ajukan. Jika ada konsumen yang protes keras, ya tinggal diancam putus hubungan pelanggan.
Kelima, BEBAN HIDUP MAKIN BERAT
Penyesuain kelas pelanggan yang berujung pada kenaikan jumlah tagihan tentu saja menambah beban biaya hidup tinggi di Kota Cirebon. Terlebih dalam waktu berdekatan, Pemerintah Pusat sudah menetapkan kenaikan harga BBM. Pasti saja itu akan memicu kenaikan harga-harga kebutuhan hidup lainnya.
Kondisi ini seolah pemerintah dianggap tidak berpihak kepada rakyat, tidak memiliki SENSE OF CRISIS. Apalagi pada tahun 2013 lalu, harga tarif dasar air PDAM sudah mengalami kenaikan dari tahun-tahun sebelumnya. Sekarang kenaikan itu kembali terjadi dengan penyesuaikan kelas rumah/tempat pelanggan.
Semoga tulisan ini bisa menjadi bahan evaluasi pihak terkait. Terima kasih.