IDRIS APANDI
Sangat
menarik dan inspiratif acara Mata Nazwa yang disiarkan di Metro TV
tanggal 26 Nopember 2015. Acara yang bertajuk “Belajar dari Ki Hajar
Dewantara” tersebut menghadirkan sejumlah tokoh sebagai narasumber
antara lain pakar pendidikan Ki Supriyoko, Litasari dan Ganawati, dua
cucu Ki Hajar Dewantara yang pernah merasakan dididik langsung oleh
Bapak Pendidikan Indonesia tersebut, Mendikbud Anies Baswedan, penulis
dan aktivis pendidikan Bukik Setiawan, dan sejumlah guru berprestasi
seperti Badriah, Guru Bahasa Inggris di SMAN 2 Cianjur Jawa Barat, Tomi
Zapino, guru IPA di SMAN 2 Seruay Aceh, dan Istiqomah Al Maki, Guru
Bahasa Indonesia dari SMAN 1 Batu Jawa Timur, serta sejumlah narasumber
lainnya.
Pada acara tersebut, dengan
gaya khasnya, Nazwa Shihab, sang pembawa acara menyampaikan berbagai
pertanyaan yang kritis kepada tiap-tiap narasumber. Dari uraian dialog
pada acara tersebut, Saya melihat ada empat catatan yang bisa diambil. Pertama, Mendikbud
Anies Baswedan mengatakan bahwa secara filosofis dan operasional
pendidikan Indonesia harus mengacu kepada ajaran dan pikiran Bapak
Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara yang menekankan bahwa sekolah
harus menjadi sebuah taman belajar bagi setiap peserta didik.
Sekolah
sebagai sebuah taman belajar akan mewujudkan sebuah pembelajaran yang
menyenangkan sekaligus menantang pada setiap anak didik. Anak didik
tidak sabar ketika menunggu waktu belajar, nyaman dan betah selama
mengikuti kegiatan belajar, dan merasa berat hati jika waktu belajar
berakhir. Litasari dan Ganawati, dua cucu Ki Hajar Dewantara mengaku
bahwa mereka sangat senang diajar oleh kakeknya tersebut karena
mengajari mereka matematika sambil bermain di taman sekolah sehingga
pembelajaran tidak membosankan.
Kedua, pendidikan
harus melibatkan tiga institusi yang dikenal sebagai “Tri Pusat
Pendidikan”, yaitu, keluarga, sekolah dan masyarakat. Ketiga institusi
pendidikan tersebut harus bersinergi, seiring sejalan dalam mewujudkan
tujuan pendidikan nasional yaitu berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dalam konteks pendidikan, mengutip ucapan Ki Hajar Dewantara, sang host Nazwa Shihab mengatakan bahwa “tiap-tiap orang menjadi guru dan tiap rumah menjadi perguruan.” Selanjutnya Ki Supriyoko menambahkan bahwa Ki Hajar Dewantara mengajarkan bahwa “keluarga adalah sekolah yang pertama dan ibu adalah guru adalah pendidik yang utama.”
Ki Hajar Dewantara adalah pemikir pendidikan modern. Bukik Setiawan mengatakan bahwa pemikiran Ki Hajar Dewantara sangat update
pada zamannya bahkan melampaui zamannya. Pemikir pendidikan barat
seperti Montessory pada tahun 1940-an pernah berkunjung ke Perguruan
Taman Siswa untuk belajar kepada Ki Hajar Dewantara. Gagasan dan
pemikiran Ki Hajar Dewantara justru banyak digunakan di negara eropa
seperti Finlandia yang saat ini dikenal sebagai negara dengan sistem
pendidikan paling baik di dunia.
Bukik
Setiawan menyampaikan bahwa anak jangan diposisikan sebagai kertas
kosong, tetapi sebagai seorang manusia yang aktif mencari pengetahuan
dan belajar secara mandiri, filsafat pendidikan yang mendasarinya adalah
konstruktivisme. Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa ganjaran dan
hukuman (reward and punishment) tidak tepat digunakan untuk mengajarkan tanggung jawab dan menegakkan disiplin kepada anak didik. Ki Hajar mengatakan bahwa “ganjaran dan hukuman jangan diberikan agar anak tidak berperilaku karena sekedar mendapatkan hadiah atau menghindari hukuman.” Selanjutnya Ki Hajar berpendapat bahwa “yang menghancurkan budi pekerti adalah paksaan dan hukuman.”
Dengan kata lain, setiap anak didik harus didik secara humanis,
mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan karena pada dasarnya pendidikan
adalah sebuah proses untuk “memanusiakan manusia.”
Ketiga, untuk
meningkatkan mutu pendidikan Indonesia, diperlukan guru yang kreatif
dan inovatif, guru yang mau menjadi pembelajar sepanjang hayat, guru
yang mau melakukan refleksi diri terhadap kegiatan pembelajaran yang
telah dilakukannya, dan guru yang mau meningkatkan profesionalismenya
secara berkelanjutan. Guru-guru yang kreatif dan inovatif adalah guru
yang tidak kehabisan ide untuk meningkatkan kualitas pembelajaran,
mengatasi permasalahan yang dihadapi dalam pembelajaran, berani tampil
beda, mau berpikir terbuka, mau menerima perubahan, berpikir out of the box,
berani keluar dari pakem-pakem administrasi dan prosedur pembelajaran
yang kadang mengekang, dan mau mencari serta mencoba pendekatan, model,
metode, strategi, dan teknik pembejajaran yang baru dalam rangka
membantu siswa mencapai tujuan pembelajaran.
Sosok-sosok
seperti Badriah, Tomi Zapino, dan Istiqomah Al Maky adalah tiga dari
sekian banyak guru yang kreatif dan inovatif. Kreativitas dan inovasi
yang mereka lakukan dalam pembelajaran mengantarkan mereka menjadi guru
berprestasi dan berkesempatan untuk tampil pada acara Mata Nazwa untuk sharing pengalaman terbaiknya (best practice)
dalam melaksanakan proses pembelajaran sehingga mampu meningkatkan
minat, motivasi, kepercayaan diri, dan prestasi belajar anak-anak
didiknya.
Badriah, Juara I Guru
Berprestasi Jawa Barat, yang sehari-hari mengajar bahasa Inggris di SMAN
2 Cianjur menggunakan metode dialog jurnal. Metode tersebut digunakan
dengan tujuan untuk meningkatkan keberanian, kepercayaan diri, dan
kemampuan siswa dalam menulis menggunakan bahasa Inggris, karena banyak
siswanya yang tidak berani menulis menggunakan bahasa Inggris dengan
alasan bingung atau takut salah.
Di
setiap akhir pelajaran, bu Badriah memberikan kesempatan selama sepuluh
menit kepada setiap siswanya untuk menuliskan pengalaman atau
unek-uneknya dalam sebuah jurnal menggunakan bahasa Inggris. Bu Badriah
menekankan kepada siswa untuk menulis dengan menggunakan bahasa Inggris ala Cianjur, tanpa memperhatikan grammar. Yang penting siswa memiliki kemauan untuk menulis, dan yang penting dapat dipahami maksudnya.
Untuk
mendorong para siswa untuk mau menulis, bu Badriah membolehkan siswa
untuk menggakan 10 kata kata selain selain bahasa Inggris, seperti
bahasa Indonesia atau bahasa Sunda. Dan seiring dengan perkembangan
zaman, maka tulisan-tulisan yang pada awalnya ditulisan pada jurnal,
maka tulisan tersebut ditulis pada ditulis melalui media sosial seperti
WA, BBM, atau FB messenger karena dinilai lebih praktis.
Penggunaan metode tersebut terbukti mampu meningkatkan keberanian,
kepercayaan diri, dan kemampuan siswa menulis bahasa Inggris secara
bertahap selama delapan bulan.
Tomi Zapino, guru berprestasi dari Seruay Aceh menggunakan metode simulasi “dot to dot”
untuk meningkatkan minat dan kemampuan siswa pada pelajaran IPA. Metode
tersebut juga merupakan sebuah inovasi dalam pelaksanaan tes hasil
belajar dimana selama ini siswa terlihat bosan dalam mengerjakan
soal-soal yang dengan model yang konvensional dimana Tomi menyusun soal
dalam bentuk titik-titik (dot) yang
menghubungkan antara soal yang satu dengan soal lainnya hingga membentuk
sebuah pola. Dengan demikian, para siswa dapat mengerjakan soal-soal
test dengan lebih menyenangkan sekaligus menantang.
Istiqomah
Al Maky, guru berprestasi asal SMAN 1 Batu Jawa Timur dikenal sebagai
guru yang “anti” mengajar dengan menggunakan buku paket dari pemerintah
karena setelah dianalisis strukturnya isinya dinilai kurang relevan
dengan minat dan kebutuhan siswa. Beliau lebih memilih untuk menyusun
bahan sendiri dan melakukan strategi agar para siswanya bisa dengan
mudah menganalisis isi cerpen, antara lain mengajak siswa ke
perpustakaan dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk memilih
cerpen yang disenanginya lalu menganalisisnya.
Istiqomah
mengaku lebih banyak mengajarkan materi pelajaran secara praktek
daripada secara teoritik, mendorong setiap siswa untuk aktif berdiskusi
sehingga prestasi siswa-siswanya lebih baik. Beliau tidak suka melakukan
ulangan berupa test soal dengan format pilihan ganda karena menurutnya,
hidup itu tidak ada pilihan a, b, c, d, e, serta meminimalisasi
penggunaan kertas ketika ulangan. Dia bisa mengoreksi ulangan siswa
dimana saja dan kapan saja.
Di
akhir sesi dialog, Istiqomah membacakan sebuah puisi yang ditulis oleh
salah seorang siswanya yang membuat seluruh orang yang hadir di studio
tertegun mendengarkan bait demi bait puisi yang dibacanya dengan sangat
penuh penghayatan dan mata yang berkaca-kaca menahan tangis. Hadirin pun
bertepuk tangan ketika Bu Istiqomah selesai membaca puisi.
Berkaca
kepada cara ketiga guru tersebut diatas, Mendikbud Anies Baswedan
mengatakan bahwa mereka masing-masing memiliki cara tersendiri dan yang
paling penting adalah mereka mengajar dengan sepenuh hati. Jika guru
mengajar dengan sepenuh hati, maka siswa pun akan belajar dengan sepenuh
hati.
Keempat, Mendikbud
Anies Baswedan mengajak kepada seluruh guru di Indonesia untuk menjadi
guru yang sepenuh hati, guru yang mengispirasi, dan guru yang memberikan
ruang yang seluas-luasnya kepada setiap anak didik untuk berkreasi.
Guru-guru pun harus terus belajar dan belajar kapan pun, dimanapun, dan
dari manapun dalam rangka memberikan layanan pendidikan terbaik kepada
anak-didiknya. Maju terus guru Indonesia untuk pendidikan Indonesia yang
main baik.
Penulis, Widyaiswara Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Barat.
Sumber : https://www.facebook.com/notes/idris-apandi-trainer-menulis/guru-out-of-the-box-sebuah-pelajaran-dari-ki-hajar-dewantara/962244193814096