SELAMAT DATANG DI WEBLOG DENY ROCHMAN. MARI KITA BANGUN PERADABAN INI DENGAN CINTA DAMAI UNTUK MASA DEPAN LEBIH BAIK

Desember 21, 2015

AGAMA KOMODITAS POLITIK CAPRES

Oleh : Deny Rochman.

Menjelang pemilihan calon Presiden RI pada 9 Juli mendatang, situasi politik nasional semakin mendidih dari hari berganti minggu. Tidak hanya kedua calon presiden Prabowo-Hatta versus Jokowi-JK dan tim suksesnya masing-masing yang bertengkar, tetapi juga para pendukung non struktural yang saling menyudutkan kedua kubu rivalitas. Kampanye hitam (black campign) tersebut begitu deras memadati ruang-ruang media massa baik cetak, elektronik mapunpun media online.

Identitas agama Islam menjadi salah satu isu sensitif yang sering diletupkan oleh salah satu kubu untuk menyerang kubu capres lainnya. Pihak lain yang tersudutkan balik serang dengan berbagai pencitraan simbolisme yang menegaskan bahwa dirinya adalah seorang muslim. Mulai dari cara berpakaian, beribadah sholat, berbicara hingga memilih pendamping cawapres dari kalangan yang dekat dengan kekuatan Islam, Jusuf Kalla.

Pada episode awal pasca pemilihan legislatif, mulai terlihat penjajagan awal koalisi identitas agama menjadi salah satu variabel dalam melakukan kawin politik dari berbagai kekuatan partai. Menyusul semakin menguatkan Partai PDI Perjuangan yang mendukung capres Jokowi. Gagasan membentuk kekuatan poros tengah pun sempat mencuat. Namun hal itu ditepis oleh tokoh reformasi Amien Rais karena mustahil melihat peta politiknya berbeda.

Potret politik pemilu 2014 ini seolah menggambarkan bahwa ada kebangkitan politik Islam dalam pusaran kekuasaan politik nasional. Padahal selama ini isu agama dalam politik kekuasaan dianggap sudah tidak relevan lagi, khususnya bagi para pemikir Islam modernis. Jargon yang berkembang pada masa itu: Islam Yes, Partai Islam No. Fenomena berikutnya banyak partai-partai yang dimotori tokoh Islam modernis tidak mengusung azas Islam.

Surutnya isu agama sebagai ideologi partai bukan berarti hilang dari pemikiran umat Islam. Tokoh-tokoh Islam yang pernah bersentuhan dengan gerakan Islam masa lalu tetap merindukan partai yang berideologi Islam sebagai wadah aspirasi umat. Terlihat pada Pemilu 1999 tetap banyak bermunculan partai-partai berasaskan Islam sekalipun hanya seumur jagung. Pada pemilu berikutnya secara perlahan partai Islam rontok pelan-pelan.

TAK PERNAH MATI
Gencarnya sentimen agama Islam dalam aksi propaganda para capres merupakan isu potensial yang biasa dikembangkan dalam masyarakat multi etnik, kultural dan multi agama. Karena penduduk Indonesia secara statistik mayoritas penduduknya beragama Islam. Islam sebagai agama menuntut umatnya menjalankan secara totalitas (kaffah), termasuk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Artinya sebagai sebuah ideologi politik, agama Islam tidak akan dan tidak pernah mati dalam diri umat Islam. Paling tidak dalam titik rendah keimanan seorang beragama Islam masih tersimpan emosional ideologis jika kepentingan agama dianggap dalam ancaman. Sehingga sentimen agama dalam politik kekuasaan dari pemilu ke pemilu sejak Orde Lama, Orde Baru dan Era Reformasi tetap menjadi magnet dalam membujuk pemilih Islam.

Namun isu agama dalam pemilu mengalami pasang surut seiring peta politik yang berubah. Seperti pada pemilu 2014 ini menguatnya sentimen agama seiring dengan terpolarisasi kekuatan politik dalam dua arus besar, PDI Perjuangan dan Partai Gerindera. Capres Jokowi-JK  diposisikan sebagai gerbong nasionalis. Sementara Capres Prabowo-Hatta representatif kekuatan politik Islam karena banyaknya tokoh Islam berada dibarisan ini.

Kehadiran Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) berada dalam koalisi Jokowi tidak begitu mengejutkan. Dalam sejarah politik nasional partai berbasis kaum nadhliyin ini kerap memiliki sikap politik yang berbeda dengan sikap politik umat Islam pada umumnya. Sementara Prabowo sekalipun karirnya dari militer namun dinilai dekat dengan tokoh Islam sehingga sering disebut ABRI hijau kala itu.

KOMODITAS POLITIK
Upaya serangan isu agama sebagai negative campign ataupun black campign sesama tim sukses kedua capres sebenarnya hanya sebatas komoditas politik. Sentimen ini berkembang karena mayoritas partai berbasis massa Islam banyak merapat ke kubu Prabowo. Tentu peta politiknya akan berbeda jika kekuatan politik Islam terdistribusi merata kepada kedua kubu, seperti pada pemilu sebelumnya dengan banyak capres.

Terbelahnya dua arus besar capres membuat pertarungan semakin sengit. Sampai tokoh reformasi Amien Rais menyerukan semangat perang badar terhadap para tim sukses dan relawan capres Prabowo-Hatta dalam pertarungan pemilu presiden 2014. Sensitif agama juga menjadi bahan black campaign di banyak media massa, lebih-lebih media sosial internet.

Keberhasilan isu agama dalam kampanye bisa jadi akan mengalami kegagalan. Bahkan akan berbalik arah umat akan membenci kelompok yang menyebarkan isu sara jika belakangan tidak bisa dibuktikan. Jika saling serang dua kubu dalam aksi black campaign semakin deras justeru akan membuat kedua pendukung semakin memilih golput dalam pemilu 2014.

Yang pasti isu sentimen agama secara faktual sudah tidak laku dijual kepada rakyat Indonesia. Dari pemilu ke pemilu perolehan suara partai Islam kurang menggembirakan, termasuk dalam pemilu legislatif 2014 ini. Bahkan Partai Bulan Bintang (PBB) harus puas dibarisan buncit. Perilaku pemilih sekarang lebih banyak pragmatis berpihak kepada pemberian bantuan dari para capres. Wani piro...?

Paling tidak ada dua faktor memudarnya isu agama dalam politik kekuasaan. Pertama, gencarnya program sekulerisasi politik yang melepaskan agama dari ranah politik kekuasaan. Program mendunia ini sebenarnya untuk membendung kekuatan politik Islam yang dianggap menjadi ancaman perdamaian dunia. Kedua, menurunnya rasa percaya umat kepada partai politik Islam karena terlibat kasus korupsi.

Nah, sekarang bagaimana kedua kubu capres mengemas visi misi dan program kerjanya untuk membujuk rakyat agar mau memilih mereka. Sementara peran dan fungsi Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus bekerja keras dalam melaksanakan pemilu hingga berjalan luber jurdil dan aman.  Karena dipastikan suhu politik Indonesia akan semakin memanas bahkan berpotensi konflik terbuka yang bisa mengancam NKRI. (*)

Penulis adalah Alumni Fisipol Unsoed, tinggal di Kota Cirebon.
Dimuat di HU Radar Cirebon (Jawa Pos Group) 2 Juni 2014  Halaman Opini.