SELAMAT DATANG DI WEBLOG DENY ROCHMAN. MARI KITA BANGUN PERADABAN INI DENGAN CINTA DAMAI UNTUK MASA DEPAN LEBIH BAIK

Maret 25, 2009

EKSPLORASI NALAR DALAM MENEMUKAN KEBENARAN ILMIAH

Oleh : Deny Rochman

PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk Allah yang paling mulia dibandingkan dengan makhluk lain, bahkan malaikat sekalipun. Sedangkan Iblis adalah makhluk Allah yang paling hina, karena orientasi hidupnya terfokus pada kerusakan dan penyesatan manusia dari jalan yang lurus. Kemuliaan malaikat adalah karena tidak putus-putusnya bertasbih dan memuji kebesaran Tuhan Pencipta. Bahkan setiap saat siap menjalankan perintah dan aturan-Nya. Lain lagi dengan hewan. Hewan adalah makhluk yang tidak punya akal dan perasaan seperti manusia.

Desain dan struktur tubuhnya sangat jauh berbeda dibandingkan dengan tubuh manusia. Akan tetapi memiliki nafsu atau syahwat makan dan biologis seperti manusia. Karena syahwat hewaninya yang mendominasi dan menggerakkan kehidupan, maka setiap saat hidup hewan hanya untuk memenuhi syahwat makan dan syahwat biologis. Sebab itu, hewan tidak Allah pilih menjadi Khalifah-Nya di atas bumi.

Adapun kemuliaan manusia bermula ketika Allah berkehendak menjadikan Adam sebagai Khalifah-Nya di atas muka bumi dengan misi ibadah kepada-Nya. Kehendak Allah menjadikan manusia sebagai Khalifah-Nya di bumi itu berdasarkan ilmu dan perencanaan yang sangat matang. Sebab itu, ketika para malaikat mempertanyakan rencana Allah tersebut, Allah menjawabnya: “Sungguh Aku mengetahui apa yang kalian tidak ketahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 30)

Rencana Tuhan untuk menciptakan manusia pertama bernama Adam di muka bumi tersebut dibuat secara matang. Sebelum akhirnya Adam menempati dunia fana, segala isi dan fasilitas di dalamnya sudah dipersiapkan. Kendati dalam banyak sisi berbeda dengan fasilitas yang ada di surga yang sudah siap pakai secara instan. Sementara di bumi, Adam bersama Hawa harus berjuang keras untuk bertahan hidup pada masa-masa awal merintis peradaban manusia.

Menurut Hamid Ahmad Ath-Thahir[1], masa awal Adam dan Hawa hidup di bumi merupakan periode adaptasi yang cukup menyengsarakan. Betapa sulitnya ketika Adam dan Hawa untuk memenuhi kebutuhan perutnya karena terasa lapar harus berproses, mulai menanam gandum, menyiraminya, menuai dan memasaknya hingga di makan. Satu hal yang tidak pernah dilakukannya ketika masih berada di dalam surga. Namun dengan kekuatan akal dan petunjuk Tuhannya Adam dan Hawa bisa keluar dari masa-masa sulit tersebut.

Kisah Adam merupakan sisi lain dari kelebihan manusia dengan makhluk lainnya, karena manusia memiliki kemampuan untuk melakukan penalaran. Hal yang sama ketika Nabi Ibrahim melakukan perjalanan spiritual mencari Tuhan. Dengan kemampuan akalnya manusia tidak hanya bisa mempertahankan eksistensinya tetapi juga bisa menjaga kelangsungan hidupnya. Penalaran yang dilakukan dengan kegiatan berfikir dan bukan dengan kegiatan perasaan yang juga berlaku hanya bagi manusia (Jujun S. dalam Cecep Sumarna, 2006).

Pada periode berikutnya, kekuatan nalar manusia semakin teruji sepanjang jaman. Banyak produk teknologi yang dilahirkan berkat kekuatan nalar manusia. Dengan nalarnya manusia mampu merubah dunia bahkan hingga melawan “takdir” Tuhan. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa akal manusia memiliki kelebihan daripada makhluk lainnya? Bagaimana pola kerja nalar manusia dalam menemukan kebenaran yang diyakininya? Mengapa kemudian eksplorasi logika yang mendalam kini terkadang bertabrakan dengan “tradisi” agama, yang sebelumnya diyakini sebagai produk wahyu?

A. Akal Sumber Pengetahuan
Kelangsungan hidup Adam dan Hawa dari awal peradaban sampai beranak pinak hingga sekarang merupakan bukti atas kekuatan nalar yang diciptakan oleh Allah Swt. Melalui nalar tersebut manusia telah memperoleh pengetahuan. Karena memang manusia adalah satu-satunya makhluk yang mengembangkan pengetahuan secara sungguh-sungguh. Melalui pengetahuan manusia bisa berkembang karena memiliki bahasa, mengembangkan pengetahuannya dengan cepat dan mantap, kemampuan berfikir menurut suatu alur kerangka berfikir tertentu.

Berfikir, menurut Rahmat, dilakukan orang dengan tujuan untuk memahami realita dalam rangka mengambil keputusan (making decision), memecahkan masalah (problem solving) dan menghasilkan sesuatu yang baru (creativity)[2]. Hanya dalam konteks filsafat ilmu, untuk mencapai tujuan berfikir itu harus melalui mekanisme dan metode yang tepat, sehingga proses berfikir bisa bermanfaat bagi kehidupan manusia.

Sebagai manusia, Adam mengembangkan pengetahuannya mengatasi kebutuhan kelangsungan hidupnya. Dia memikirkan hal-hal baru, menjelajah, menciptakan kebudayaan, semuanya tidak hanya untuk kelangsungan hidupnya tetapi mempunyai tujuan yang lebih tinggi. Inilah yang menurut Jujun S. Suriasumantri (1998: 40) menyebabkan manusia mengembangkan pengetahuannya. Dengan kemampuan bahasa, manusia mengembangkan pengetahuan melalui komunikasi dan informasi kepada sesamanya.

Dalam perspektif psikolinguistik, bahasa adalah satu bentuk komunikasi terarah yang paling canggih bentuknya. Masyarakat manusia dalam budayanya masing-masing telah mengembangkan bahasanya sendiri-sendiri seiring perkembangan pengetahuan manusia. Hal yang tidak pernah dijumpai dalam dunia hewan, dimana tidak satupun yang dapat mengembangkan bahasa.

Martin Moynihan (dalam Abdul Rahman dan Muhbib, 2005: 251) menemukan hasil penelitiannya bahwa hewan tidak dapat mengembangkan sistem komunikasi yang lebih baik. Hewan hanya mampu memberikan isyarat komunikasi tidak lebih dari 10 sampai 37 pola. Mereka tidak mampu mengungkapkan isi pikirannya secara lebih lengkap. Dengan kata lain kemampuan berfikir (nalar) sangat berkaitan dengan kemampuan berbahasa. Kualitas dan kuantitas bahasa sangat menentukan kualitas dan kuantitas berfikir.

Namun demikian tidak semua pengetahuan diperoleh dari proses penalaran, yaitu hasil proses berfikir logika ilmiah dan analitik. Ada pengetahuan yang diperoleh dari hasil penalaran, ada juga dari intuisi (perasaan) dan pengetahuan diperoleh bukan hasil dari usaha manusia yaiktu wahyu. Tetapi para filosof sekuler memahami bahwa berfikir dalam pengertian penalaran logika merupakan bentuk suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar.

Artinya, untuk melakukan kegiatan analisis maka penalaran harus diisi dengan materi pengetahuan dari suatu sumber kebenaran, yang dimaksud adalah nalar. Pengetahuan yang dipergunakan dalam penalaran pada dasarnya bersumber dari rasio (rasionalisme) atau fakta (empirisme). Jadi, penalaran ilmiah merupakan gabungan penalaran rasionalisme (deduktif) dan empirisme (induktif). Menurut Hasbullah M. Bakry (dalam Cecep Sumarna, 2006: 126), penalaran dibentuk oleh tiga pemikiran yaitu pengertian/konsep, proporsi/dan pernyataan. “Tidak ada proporsi tanpa pengertian, dan tidak ada penalaran tanpa proporsi. Penalaran berlangsung dalam tiga tahap dan bersifat sistematis.”

Terkait logika induktif dan deduktif, Cecep Sumarna (2006: 140) menjelaskan bahwa logika induktif adalah cara penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Sedangkan logika deduktif dalah sebaliknya dalam penarikan konklusi dari hal-hal yang bersifat umum menjadi kasus-kasus yang bersifat khusus. Mereka yang kerap menggunakan logika induktif biasa dikenal sebagai kaum empirisme. Sementara mereka yang biasa memakai pola pikir umum ke khusus disebut kaum rasionalisme.

Dalam fram ini dikatakan bahwa kebenaran ilmiah adalah kebenaran yang disandarkan pada logika akal manusia. Cecep menambahkan, seseorang disebut telah melakukan penalaran dengan benar, ketika pemikirannya logic dan analitik. Namun tepat tidaknya penalaran (rasional) seseorang terhadap hasil observasinya tergantung dari pengalaman indrawinya (empiris) dan pemanfaatan pengalamannya tersebut. Maka kemudian, cara kerja logika terpola menjadi dua: logika matematika dan statistik.

Logika matematika adalah metode berfikir untuk mencari kebenaran ilmiah melalui pengukuran kuantitatif atau matematika. Matematika biasanya menggunakan bahasa numerik yang nemafikan unsur emosi, kabur dan majemuk. Sementara logika statistik, kendati sedikit sama dengan logika matematika, namun statistik lebih bersandar pada logika empirik. Artinya untuk premis-premis tertentu dapat ditarik kesimpulan, yang bisa benar dan juga bisa salah. Seperti langkah logikanya yaitu 1) observasi dan eksperimen 2) hipotesis ilmiah 3) verifikasi dan pengukuran, dan 4) munculnya teori dan hukum ilmiah.

B. Akal dan Problem Spiritual
Sumber pengetahuan paling tidak ada tiga yaitu nalar (akal), pengalaman, intuisi (perasaan) dan wahyu. Namun pengetahuan yang digunakan dalam penalaran bersumber pada rasio dan fakta. Sementara pengalaman, intuisi apalagi wahyu bukan termasuk wilayah ilmiah. Sehingga agar pengetahuan mempunyai dasar kebenaran maka proses berfikir harus dilakukan dengan cara tertentu. Dimana suatu penarikan kesimpulan itu disebut logika.

Mengedepankan kemampuan nalar kita akan terjebak dalam dunia materialistik, bahkan tidak sedikit kekuatan nalar telah menyeret manusia mengingkari Tuhannya. Charles Darwin, misalnya, ilmuwan Biologi abad XIX yang dikenal teori evolusinya ini semula orang yang percaya adanya keberadaan Tuhan. Namun ketika dia semakin matang sebagai ilmuwannya, secara perlahan telah kehilangan kepercayaan kepada Tuhan. Dia pernah mengatakan :
“Ketidakpercayaanku pada Kristen sebagai agama wahyu, merayap secara perlahan tetapi akhirnya sempurna. Dulu orang boleh percaya dengan adanya Tuhan sebagai pencipta alam dan makhluk-makhluknya, tetapi kini kita perlu lagi mengatakan bahwa engsel kerang yang indah mesti merupakan ciptaan Tuhan. “[3]

Problem spiritual tersebut banyak dialami oleh para ilmuwan yang sudah mengagungkan akal sebagai sumber kebenaran ilmiah, seperti Pierre de Lapace, astronom Prancis, Sigmund Freud (ahli psikologi), Emile Durkheim sosiolog dan banyak lagi. Kebebasan akal mengawali puncaknya ketika abad pertengahan masa pencerahan (renaisans) di belahan bumi Eropa. Tuhan telah mati, demikian ucapan untuk menggambarkan runtuhnya dogma gereja, yang selama ini menjadi sumber kebenaran tunggal di dalam masyarakat.

Metode logika dalam mencari sumber kebenaran pengetahuan sudah merambah pada ranah transendental. Akibatnya semuanya ditimbang antara logis dan tidak logis, rasional dan tidak rasional. Logiskah peristiwa Isra Mir’aj Nabi Muhammad Saw dalam konteks teknologi sekarang? Berbagai pertanyaan dan pernyataan itu menjadi paradigma tidak saja dalam memahami ilmu tetapi juga agama. Fenomena tersebut mulai merambah ke dalam pemikiran intelektual muslim Indonesia.

Padahal menurut para ilmuwan muslim, manusia memiliki tiga macam sumber atau alat untuk menangkap keseluruhan realitas yaitu panca indra, akal dan intuisi (termasuk wahyu). Akal dalam bentuk proses penalaran memang digunakan, tetapi hanya untuk memilih, memutuskan dan melakukan penalaran, bukan sebagai sumber lain untuk menangkap realitas (Mulyadhi Kartanegara, 2007:7).

Menurut Herber A. Simon, nalar itu ibarat senjata sewaan, yang bisa kita gunakan untuk mencapai tujuan apa saja, baik atau buruk. Nalar lebih merupakan fasilitator daripada inisiator, kita memakai nalar untuk mendapatkan yang kita mau, bukan untuk menentukan yang kita mau.[4]

Nabi Adam As, misalnya, pengetahuan yang diperolehnya tidak melulu hasil penalaran yang dilakukannya. Namun juga atas bimbingan ilahiyah melalui malaikat Jibril. Ketika “dibuang” ke bumi, Adam belum memiliki pengetahuan dalam bertahan dan menjaga kelangsungan hidupnya. Bagaimana ketika dia dan Hawa mulai merasa lapar, bagaimana ketika anak-anaknya di nikahkan, ketika Qobil melihat Habil terbunuh olehnya. Jika mengedepankan akal, maka seperti sikap Qabil yang menolak menikah dengan adik Habil karena justeru adiknya sendiri memiliki kelebihan fisik daripada adik Habil.

PENUTUP
Manusia diciptakan Tuhan dalam dua unsur jasmani dan rohani. Dua unsur tersebut membuat manusia memiliki kecenderungan kepada materialistik dan spriritual. Untuk kecenderungan pertama dalam memenuhi kepentingan hidupnya manusia lebih menggunakan akalnya (nalar). Sementara untuk masalah spiritual, ketenangan dan orientasi hidup manusia menggunakan ranah rohaninya. Kedua-duanya memiliki wilayah kerja yang berbeda tetapi saling melengkapi.

Pemberdayaan nalar manusia dalam menggali kebenaran ilmu pengetahuan dalam batas logika ilmiah merupakan bentuk kewajaran. Justeru akallah yang menjadi kekuatan manusia sebagai senjata dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Dengan akal tersebut manusia bisa menikmati hidup dengan mudah dan murah, bisa merubah hambatan menjadi tantangan dan peluang.

Namun mencapai kebahagiaan dan ketenagan batin manusia tetap memerlukan campur tangan Tuhan. Karena tidak semua persoalan yang dihadapi oleh manusia bisa diatasi dengan akal. Termasuk dalam mencari sumber pengetahuan dan kebenaran nash-nash wahyu menjadi sumber otentik sebagai pedoman hidup manusia. Disinilah manusia harus bisa menyeimbangkan ranah jasmani dan rohani dalam mencari kebenaran tersebut. Jika lepas kendali maka akan terseret pada pengingkaran terhadap Sang Pencipta, dan menjadi sekutunya Syetan.

Dengan kata lain, bahwa sumber pengetahuan tidak melulu hanya pada akal, tetapi juga pengalaman dan intuisi. Ketiganya bisa bekerja dalam waktu yang terpisah dan juga bisa dalam waktu bersamaan.

DAFTAR PUSTAKA
Cecep Sumarna, Filsafat Ilmu: Dari Hakikat Menuju Nilai, Pustaka Bani Qurasy, Bandung, 2006. Cecep Sumarna, Revolusi Peradaban: Mencari Tuhan dalam Batang Tubuh Ilmu, Mulia Press, Bandung, 2008.
Mulyadi Kertanegara, Mengislamkan Nalar: Sebuah Respon terhadap Modernitas, Erlangga, Jakarta, 2007.
Hamid Ahmad Ath-Thahir, Kisah Para Nabi untuk Anak, (terjemahan Qishash Al-Anbiya lil Athfal), Irsyad Baitus Salam, Bandung, 2006.
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, Cet. Ke-11 Muliasari, Jakarta, 1998.
Abdul Rahman Saleh – Muhbib Abdul Wahab, Psikologi Suatu Pengantar dalam Perspektif Islam, cet.ke-2, Kencana, Jakata, 2005,
Ahmad Zamhari Hasan, Peran Nalar bagi Manusia, http://www.cybermq.com/. <\span>