SELAMAT DATANG DI WEBLOG DENY ROCHMAN. MARI KITA BANGUN PERADABAN INI DENGAN CINTA DAMAI UNTUK MASA DEPAN LEBIH BAIK

Maret 01, 2022

GSM Menggairahkan Spirit Pendidikan

Catatan:
Deny Rochman*)

Mengenal nama Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) itu tanpa sengaja. Mengenal dari tulisan Ibu Noor Aeni, M.Pd yang beberapa kali mengirim naskah tulisan untuk halaman literasi Gelemaca di koran Radar Cirebon. Mengenal GSM saat  tawaran event mendadak mengadakan workshop GSM dengan persiapan 2 hari di SMPN 6. Puncaknya diajak study visit ke Yogyakarta bersama kepala sekolah dan guru-guru pegiat GSM Kota Cirebon, 11-12 Januari 2022. 

Di Kota Cirebon Bu Noor lebih awal mengenal GSM. Namun dalam prosesnya saya sering diajak sharing terkait pelaksanaan GSM. Walau belum tahu apa dan bagaimana GSM itu. Semula dikira kegiatan workshop atau pendampingan dari produk komersil sejenis susu atau suplemen vitamin. Hal serupa lazim biasa masuk ke sekolah-sekolah.

Sejak Program Guru, Sekolah dan Organisasi Penggerak ramai. Maka sejak itu baru ngeh (paham) jika GSM adalah sejenis organisasi, komunitas atau yayasan. Sebagai POP, GSM diketahui memiliki sekolah binaan (pilot) pada sejumlah SD di Kota Cirebon. Walau belakangan tahu saat bertolak study visit, salah satu sekolah pilot adalah sekolah di wilayah Kec. Pekalipan dimana saya bertugas.

Poin menariknya, GSM mengembangkan pembelajaran menyenangkan berbasis keragaman potensi siswa. Memberi kebebasan guru dan siswa dalam berproses kegiatan belajar. Tanpa tersekat ruang dan waktu. Tidak terbelenggu dokrin paradigma dan administrasi pendidikan. Pokoknya belajar santai tapi serius. Membuka ruang setiap guru dan anak berekspresi. Menciptakan ekosistem well being school.

Memang tidak baru-baru amat yang ditawarkan GSM. Program belajar aktif dan menyenangkan sering diluncurkan oleh pemerintah dari masa ke masa, silih berganti rezim dan berganti istilah/program. Namun realisasinya hanya bagus di ruang-ruang seminar, pelatihan atau workshop. Ketika guru-guru kembali ke ruang-ruang kelas. Larut dalam rutinitasnya, seiring dengan waktu guru-guru kembali terjebak dalam metode klasik dan klise: ceramah!

Gerakan yang disampaikan founder GSM, Muhammad Nur Rizal, Ph.D mengklaim bahwa sasaran programnya adalah sekolah-sekolah marginal di akar rumput. Gerakan dengan spirit baru untuk pendidikan lebih maju berkemanusiaan. Dari, oleh dan untuk guru-guru sehingga akan lebih konsisten, ada dan tanpa anggaran pemerintah. Gerakan yang mengubah mindset dan mental guru. Apapun kurikulumnya GSM membantu menyukseskan pembelajaran berbasis prinsip dasar pendidikan. Memperhatikan tiga kodrat manusia.

Kehadiran GSM bagi guru-guru bagai oasis di padang pendidikan yang mulai kehilangan spirit dan arah. Ada ruang kosong pada guru-guru yang bisa diisi oleh gerakan yang diinisiasi dua doktor suami isteri M. Nur Rizal dan Novi Candra. Guru-guru yang selama ini mulai kendur kompetensi sosial kepribadiannya untuk mengajar dengan hati. Lebih sibuk terjebak pada rutinitas administrasi dan target birokrasi. Hasil menjadi tujuan tanpa menikmati kualitas proses. 

Kehadiran GSM diharapkan mengikat mimpi guru-guru hebat dalam mendidik anak bangsa cerdas berkarakter. Spirit guru akan terjaga melalui kolaborasi dan berbagi tentang ilmu dan pengalaman belajar mengajar yang baik dan menyenangkan.

Pada fase ini, semangat guru-guru dan kepala sekolah pro GSM sedang menggelora. Gaung gerakan ini sudah menyusup di ruang-ruang, di forum-forum resmi di Dinas Pendidikan Kota Cirebon. Bahkan kepala dinasnya penasaran ingin bertemu langsung dengan foundernya.  Penasaran pada tokoh dan organisasi yang bikin guru-guru sakaw Gerakan Sekolah Menyenangkan. Sayang, si covid masih menghalangi kerinduan itu. (*)

Work From Home Pronggol 
Kota Cirebon, 2 Maret 2022 

*) Peserta Study Visit GSM Kota Cirebon ke Yogyakarta, 11-12 Januari 2022.

Pendidikan Tanpa Kurikulum, Mungkinkah?

Oleh:
Deny Rochman

Mungkinkah pendidikan tanpa kurikulum ? Kurikulum sejatinya sebagai guide dalam melaksanakan proses pembelajaran di lembaga pendidikan. Sebagai pedoman dalam mencapai tujuan pendidikan. Faktanya, kurikulum formal tak melulu menjadi faktor penentu perubahan pendidikan pada para siswanya. Termasuk menentukan nasib anak didik pasca lulus. Terkesan ada distorsi pelaksanaan kurikulum dalam tataran teknis. Maka, wajar saja jika ada pertanyaan nakal: mungkinkah pendidikan tanpa kurikulum?

Istilah kurikulum berasal dari bahasa Latin “curir” yang berarti palri dan “curere” yang berarti tempat berpacu. Sehingga kurikulum dapat diartikan sebagai trek atau lajur yang harus diikuti seseorang untuk mencapai tujuannya. 

Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 butir 19 dijelaskan, kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.

Tujuan pendidikan nasional adalah  untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Intisari tujuan pendidikan nasional ini kemudian lahir profil Pelajar Pancasila.

MERUBAH MINDSET
Pada hakekatnya keberhasilan sebuah pendidikan terletak pada perubahan pola pikir (mindset) dan mental seseorang. Jika kesuksesan sekolah hanya diukur dari tingkat pendidikan, dari nilai atau selembar ijazah. Jika tingkat pendidikan berbanding lurus dengan status ekonomi (pekerjaan, jabatan dan harta) seseorang, maka akan banyak sekolah-sekolah atau kampus dianggap gagal memainkan peran dan fungsinya. 

Berapa banyak orang bekerja di negeri ini yang tak sesuai kompetensinya, tak linier dengan basic pendidikannya. Tak sedikit orang sukses bukan berpendidikan tinggi. Bahkan putus sekolah atau malah tidak mengeyam bangku sekolah. Mereka masa sekolah atau kuliah dianggap nakal, bodoh, malas. Namun masa bekerja atau malah masa tuanya hidup dalam kebahagiaan materi. 

Kisah hidup Somad dan Komara menarik disimak. Dua pekerja wiraswasta ini mampu eksis menghidupi diri dan keluarganya masing-masing dengan layak. Somad pekerja servis elektronik freelance putus sekolah kelas tiga SD swasta di Kota Cirebon karena alasan ekonomi. Komara, pedagang martabak yang sempat menjadi gelandangan selepas lulus STM swasta di Kab. Cirebon kini berkembang menjadi juragan. Masa sekolah Komara sempat tersandung kasus hukum karena terlibat tawuran pelajar. 

Keduanya pernah sekolah. Pernah merasakan kurikulum pendidikan formal yang terstruktur dan terukur. Namun mindset dan mentalnya justeru mengalami titik balik kehidupannya dibentuk oleh kerasnya kehidupan. Beruntung keduanya mampu melawati ujian hidup. Entah berapa anak manusia diluar sana yang nasibnya kurang seberuntung Somad dan Komara. Terhempas dari kebahagiaan karena tak mampu melawan badai kehidupan. 

Seperti pengalaman Rudi (bukan nama sebenarnya), seorang siswa di Kota Cirebon. Selepas lulus di SMP negeri favorit, ia melanjutkan ke SMA negeri favorit di kota yang sama. Namun kedua orang tuanya yang bekerja di perbankan bonafid terpaksa memindahkan Rudi ke pondok pesantren. Alasannya selama SMA kegiatannya sering main dan bergadang bahkan ke diskotik.  Tiap hari sudah bawa mobil pribadi. Tak betah di pondok, Rudi pindah ke SMA swasta di kota sama. Terakhir ia mencoba daftar kejar paket C. Dan kasus Rudi bak fenomena gunung es.

Lalu dimanakah fungsi kurikulum? Jika anak-anak bangsa sekolah formal namun pola pikir dan mental mereka dibentuk oleh alam, oleh kerasnya kehidupan?

Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Muhammad Nur Rizal, Ph.D mengatakan, selain perubahan kurikulum, hal terpenting yang mampu mengubah pendidikan Indonesia sesungguhnya adalah pola pikir pelaku pendidikan dalam melihat esensi pendidikan. Bagaimana para pemangku kepentingan pendidikan perlu menghadirkan ekosistem yang membuat siswa mampu mengembangkan diri secara optimal.

Dalam webinar bertajuk: "Ngkaji Pendidikan: Haruskah dengan Kurikulum untuk Mengubah Pendidikan Kita?" pada 22 Februari 2022, Doktor jebolan Monash University Australia ini berharap, kehadiran Kurikulum Merdeka mampu diimplementasikan di seluruh sekolah dengan corak yang berbeda. Mengingat sekolah-sekolah di Indonesia memiliki kualitas guru yang beragam, ketimpangan infrastruktur pendidikan yang tinggi, serta kesiapan dinas pendidikan daerah yang tidak sama.

Terkait keberhasilan implementasi kurikulum, Mendikbudristek Nadiem Makarim menegaskan, kunci keberhasilan sebuah perubahan kurikulum adalah jika kepala sekolah dan guru-gurunya memilih untuk melakukan perubahan tersebut. Pihaknya yakin, tidak ada transformasi proses pembelajaran kalau kepala sekolah dan guru-gurunya merasa terpaksa. 

PRINSIP DASAR
Rizal menambahkan, kurikulum yang berhasil melakukan transformasi pendidikan harus memenuhi prinsip dasar (first principle thinking). Prinsip dasar pendidikan itu tidak mengabaikan tiga kodrat manusia yang dimiliki anak. Pertama, rasa ingin tahu yang tinggi. Kedua, manusia selalu ingin berimajinas (berhayal). Ketiga, memberikan kesempatan kepada anak dalam mengembangkan potensinya secara adil. Jika kodrat ini sudah terinternalisasi dalam setiap guru, maka apapun kurikulumnya, model sekolahnya, kebijakan pendidikannya maka tujuan pembelajaran akan tercapai.

Menurut dosen UGM ini, anak bisa menemukan versi terbaiknya jika anak itu bisa menemukan pengalaman belajar yang menyenangkan dan bermakna bagi dirinya. Bukan bermakna bagi gurunya atau kurikulumnya. Ketika anak memiliki makna dalam belajar, maka anak akan termotivasi dalam belajar dan akan kasmaran belajar. Artinya, apapun kurikulumnya tidak masalah karena itu hanyalah kerangka dasar. Asal memperhatikan tiga kodrat anak termasuk dunia anak yang menyenangkan (well being school).

Perubahan paradigma "sekolah sebagai taman siswa" tampaknya akan menjadi spirit lahirnya Kurikulum Merdeka. Mendikbudristek menyatakan bahwa Kurikulum Merdeka memiliki tiga keunggulan. Tiga keunggulan itu: (1) sederhana dan mendalam, yaitu fokus pada materi yang esensial dan pengembangan kompetesi peserta didik pada fasenya. Belajar menjadi lebih mendalam, bermakna, tidak terburu-buru, dan menyenangkan; (2) lebih merdeka. Tidak ada program peminatan. Peserta didik memilih mata pelajaran sesuai dengan minat, bakat, dan aspirasinya. 

Proses pendidikan idealnya tetap memerlukan sebuah kurikulum sebagai guide mencapai tujuan yang lebih mudah, terarah dan tercapai. Namun kurikulum harus punya "nyawa" agar bisa bekerja sesuai fungsi dan perencanaannya. Guru dibawah dukungan kepala sekolah menjadi kata kunci dalam memainkan peran sebagai pendidik dan pengajar yang memperhatikan prinsip dasar pendidikan. (*)

*) Penulis adalah pegiat literasi. Analis Kurikulum dan Pembelajaran pada Dinas Pendidikan Kota Cirebon.

**) Tulisan pernah dimuat di koran Radar Cirebon, Rabu 2 Maret 2022.

Menguji Kurikulum Merdeka

Oleh: 
Deny Rochman

Pemerintah kembali menggulirkan kebijakan pendidikan nasional. Masa transisi pandemi ini menerbitkan kurikulum baru 2022 yang dikenal kurikulum prototipe. Secara resmi Mendikbudristek Nadiem Makarim meluncurkan Kurikulum 11 Februari 2022. Kebijakan baru kurikulum ini tentu direspon beragam oleh guru-guru. Selain kurikulum 2013 yang belum berjalan maksimal, juga timingnya dianggap kurang pas. Terlebih implementasi kurikulum merdeka ini berbarengan penerapan program Belajar Merdeka lainnya. Seperti kampus merdeka, guru dan sekolah penggerak dan lainnya. Tentu akan menambah energi extra guru-guru dalam mencerna sejumlah kebijakan Kemendikbudristek ini pasca mengalami fase learning loss.

Lahirnya kurikulum.prototipe menambah daftar panjang kebijakan serupa pada masa seblumnya. Sejarah mencatat, sedikitnya sudah 10 kali kurikulum silih berganti. Kurikulum pertama pada tahun 1947, dua tahun setelah Indonesia Merdeka. Rentang waktu pergantian kurikulum variatif. Ada yang 2, 4 tahun hingga 12 tahun berjarak. Mulai kurikulum 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994 (dan suplemen kurikulum 1999), 2004 (KBK), 2006 (KTSP) dan kurikulum 2013 (kurtilas). Pergantian kurikulum 2013 kepada kurikulum 2022 berjarak 9 tahun. Silih berganti kurikulum tentu pemerintah punya alasan kuat. 

Dinamika pergantian kurikulum tersebut merupakan konsekuensi logis dari teradinya perubahan sistempolitik, sosial budaya, ekonomi dan ilmu pengetahuan dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagaiseperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesua dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Ada juga alasan lain dilakukannya perubahan kurikulum adalah kurikulum sebelumnya dianggap memberatkan peserta didik. Terlalu banyak materi pelajaran yang harus dipelajari oleh peserta didik, sehingga malah membuatnya terbebani.

Lalu apa sih Kurikulum Merdeka itu. Sampai digadang-gadang sebagai kurikulum masa depan, pengganti kurtilas? Apa hubungannya dengan Pelajar Pancasila, dan perbedaan dengan nilai utama Penguatan Pendidikan Karakter pada Kurikulum 2013 ? 

KURIKULUM MERDEKA
Kurikulum Merdeka menjadi satu dari beberapa tema menarik didiskusikan. Terlebih ending kurikulum prototipe ini terwujud profil Pelajar Pancasila. Istilah baru lagi yang belum dikenal pada kurikulum sebelumnya. Untuk menyukseskan implementasi kurikulum masa Menteri Nadiem Anwar Makarim, pihak Kemendikbudrustek gencar menggelar sosialisasi, seminar, workshop dan sejenisnya. Banyak dilakukan melalui zoom meeting disiarkan live steaming channel youtube. Kemendukbud RI.

Seperti pada Kamis 17 Feb 2022, Kemendibud menggelar webiner bertajuk "Wujudkan Pelajar Pancasila melalui Kurikulum Merdeka". Hadir sebagai narasumber Zulfikri Anas, plt kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran Badan Standar, Kurikulum dan Asesmen Pendidikan.  Narasumber lainnya adalah Stefani Anggia Puteri, guru SDN 006 Sekupang Batam, serta Joko Prasetyo, guru SMP Negeri 2 Temanggung Jawa Tengah.

Menurut Zulfikri Anas, dengan Kurikulum Merdeka guru bebas memilih format yang cocok, cara yang sesuai, materi esensilnya pun bisa memilih disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai. Bagi siswa, mereka bisa mengembangkan potensi dan bakatnya. Jika sebelumnya pola pembelajaran cenderung seragam, sama, baik cara mengajar, tugas, ujian sampai hasil evaluasi. Untuk bisa melakukan itu, guru harus mengenali siswanya sejak awal. Baik minta, bakat, kemampuan dan potensi lainnya. 

Lahirnya kurikulum prototipe (merdeka) diharapkan mampu menjawab permasalahan pendidikan. Mendikbudristek menyatakan bahwa Kurikulum Merdeka memiliki tiga keunggulan. Tiga keunggulan itu: (1) sederhana dan mendalam, yaitu fokus pada materi yang esensial dan pengembangan kompetesi peserta didik pada fasenya. Belajar menjadi lebih mendalam, bermakna, tidak terburu-buru, dan menyenangkan; (2) lebih merdeka. Pada konteks peserta didik: tidak ada program peminatan di SMA. Peserta didik memilih mata pelajaran sesuai dengan minat, bakat, dan aspirasinya. 

Pada konteks guru: guru mengajar sesuai dengan tahapan pencapaian dan perkembangan peserta didik. Pada konteks sekolah: sekolah memiliki wewenang untuk mengembangkan dan mengelola kurikulum dan pembelajaran sesuai dengan karakteristik satuan Pendidikan dan peserta didik; (3) lebih relevan dan interaktif. Dalam artian pembelajaran melalui kegiatan proyek memberikan kesempatan lebih luas kepada peserta didik untuk secara aktif mengeksplorasi isu-isu aktual, misalnya isu lingkungan, kesehatan, dan lainnya untuk mendukung, pengembangan karakter kompetensi profil Pelajar Pancasila.

Kendati sudah diluncurkan, namun sekolah masih diberikan tiga opsi. Pertama, masih boleh menerapkan kurikulum 2013 secara penuh. Atau, menerapkan kurikulum darurat (masa pandemi) yaitu kurikulum 2013 yang disederhanakan. Atau, menerapkan Kurikulum Merdeka (prototipe). Pemilihan penerapan kurikulum disesuaikan dengan kesiapan setiap sekolah. Targetnya pada 2024 Kurikulum Merdeka bisa diterapkan di sekolah-sekolah secara nasional.

Kurikulum prototipe memiliki beberapa karakteristik utama : pertama, pembelajaran berbasis projek untuk pengembangan soft skills dan karakter (iman, taqwa, dan akhlak mulia; gotong 
royong; kebinekaan global; kemandirian; nalar kritis; kreativitas). Kedua, fokus pada materi esensial sehingga ada waktu cukup untuk pembelajaran yang mendalam bagi kompetensi dasar seperti literasi dan numerasi. Ketiga, fleksibilitas bagi guru untuk melakukan pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan murid (teach at the right level) dan melakukan penyesuaian dengan konteks dan muatan lokal.

Ending dari Kurikulum Merdeka adalah terwujudnya profil Pelajar Pancasila. Yaitu (1) Beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia; (2) Berkebinekaan global; (3) Bergotong royong; (4) Mandiri; (5) Bernalar kritis; dan (6) Kreatif. Enam karakter ini memiliki sedikit perbedaan pada nilai utama penguatan pendidikan karakter pada Kurikulum 2013. Yaitu (1) Religius; (2) integritas; 3. Mandiri; (4) Nasionalis; (5) Gotong Royong. 

TANTANGAN IMPLEMENTASI
Menguji Kurikulum Merdeka menjadi tantangan bagi kebijakan baru. Kendati terbitnya Kurikulum Merdeka, Kemdikbudristek hendak memberikan kebebasan dalam membangun iklim demokrasi di sekolah-sekolah. Bahkan  untuk mewujudkan diciptakan sebuah ekosistem dalam mencapai misi dan tujuan pendidikan. Ekosistem seperti dukungan guru dan kepala sekolah penggerak, melibatkan pengawas dibawah bimbingan tenaga ahli. Pemerintah Daerah pun diminta kesediaan dukungannya, baik materi maupun immateri.

Tantangannya pada implementasi kurikulum di level satuan pendidikan. Bagaimana guru dan kepala sekolah tunduk dan patuh pada paradigma kurikulum baru. Menurut Mendikbudristek Nadiem Makarim, kunci keberhasilan sebuah perubahan kurikulum adalah jika kepala sekolah dan guru-gurunya memilih untuk melakukan perubahan tersebut. 

Guru dan kepala sekolah dihadapkan pada tantangan serius dalam mendidik dan mengajar anak bangsa. Bagaimana menjalankan fungsi sekolah dalam melestarikan nilai dan norma di satu sisi. Namun di sisi lain sekolah harus mampu menyiapkan generasi yang siap berkompetisi di kancah global. Ada tantangan yang harus dijawab oleh guru-guru dalam mencetak generasi yang kompeten dan kompetitif di era revolusi industri 4.0.

Pada bagian lain, perkembangan teknologi internet membawa perubahan dunia pendidikan. Telah lahir "guru-guru baru" virtual. Repotnya banyak menampilkan tontonan yang tak bisa menjadi tuntunan. Di sinilah guru-guru harus dipaksa terus belajar, belajar dan belajar. Belajar beradaptasi dan selektif dengan perubahan yang ada. Termasuk perubahan regulasi dan paradigma pendidikan nasional. Seiring tuntutan dan kebutuhan jaman yang berbeda. Maka terus berbagi dan berkolaborasi menjadi keniscayaan. 

Masa pandemi tak jadi alasan guru stagnan. Namun guru-guru hebat bisa mencari peluang dalam menemukan model, pola, metode, strategi atau media pembelajaran. Jangan sampai terjadi learning loss menimpa siswa sehingga berdampak pada terhambatnya pencapaian generasi emas 2045. Jika guru pasif, statis, maka bisa jadi sebagus apapun kurikulum hanya indah di atas teks. Belajar dari nasib kurikulum-kurikulum sebelumnya.

Lahirnya Kurikulum Merdeka diharapkan bisa membuat guru-guru dan kepala sekolah tergerak. Bergerak maju bersama menciptakan ekosistem sekolah yang demokratis, memerdekakan belajar. Belajar menyenangkan, belajar yang menghargai ragam potensi peserta didik, dan belajar memperlakukan anak semua tanpa diskriminasi. 

Kurikulum Merdeka, selain menggerkan lini guru, dan kepala sekolah, juga menguatkan peran pengawas sekolah. Fungsi Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S) SD, Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMP, KKG, MGMP hingga peran komunitas perlu diberdayakan untuk berkolaborasi. Mari berubah bersama dengan open mindet agar kita bisa terus bergerak, berbagi dan berkolaborasi. Semoga.... (*)

*) Penulis adalah pegiat literasi. Analis Kurikulum dan Pembelajaran pada Dinas Pendidikan Kota Cirebon.

**) Tulisan pernah dimuat di koran Radar Cirebon, 1 Maret 2022.