Tahun 1965 menjadi tahun transisi kehidupan masyarakat Ujungberung kota Bandung. Tahun tersebut merupakan tahun politik masa berakhirnya kejayaan komunis di Indonesia. Pada tahun yang sama menjadi momentum kebangkitan organisasi keagamaan Muhammadiyah di daerah tersebut. Ujungberung sebagai basis PKI perlahan mulai hilang dan tumbuh kembang kegiatan keagamaan.
"Tahun 1965 orang-orang eks PKI disini pada ikut pengajian Muhammadiyah di Masjid Raya Ujungberung. Kala itu banyak tokoh nasional hadir, seperti Singodirejo," tutur KH Drs Makmun, sesepuh Muhammadiyah Ujungberung mengawali ceritanya tentang sejarah berdirinya Muhammadiyah cabang Ujungberung.
Menurutnya, keterlibatan orang2 mantan PKI dalam ikut pengajian untuk memberi rasa aman dari ancaman penangkapan oleh aparat negara. Saat itu rumah mereka sering diteror oleh Pelajar Islam Indonesia (PPI) dengan dilempari batu. Namun seiring waktu mereka ikut Muhammadiyah dengan kesadaran sendiri.
Sejak Muhammadiyah hadir di Ujungberung, sering diadakan pengajian keagamaan dari rumah ke rumah. Semangat bermuhammadiyah warga melahirkan amal usaha-amal usaha Muhammadiyah di kecamatan tersebut. Pada tahun 1967 kepengurusan cabang tersebut mendirikan sekolah SMEA Muhammadiyah yang kini berganti nama menjadi SMK. Disusul kemudian TK Aisiyah dan kini ada Panti Asuhan, SD, SMA dan pondok pesantren.
Sebagai sebuah organisasi tentu saja PCM ini mengala
mi pasang surut dinamika. Misalnya dalam pendirian Panti Asuhan yang diberi nama Harapan Kita. Menurut Makmun, panti itu dibangun diatas tanah wakaf seluas 1500 pada tahun 1996. Tanah tersebut sebelumnya adalah tempat pemakaman warga yang sudah tidak terurus. Pembangunan panti dimulai usai pembangunan renovasi Masjid Raya Ujungberung.
"Sisa material Masjid Raya saat itu diminta untuk dibeli oleh Muhammadiyah. Akhirnya kami gunakan untuk membangun panti ini," ungkap mantan ketua PCM dua periode pada awal berdirinya Muhammadiyah di kecamatan tersebut. Pria pernah menjadi dosen IAIN Bandung ini menambahkan, kini panti asuhannya dihuni 40 anak yatim piatu dan dhuafa. Sebelumnya tahun 2016 jumlahnya hampir 100 anak.
Proses alihfungsi tanah makam menjadi panti asuhan itu berjalan tanpa hambatan. Jenazah yang tersisa sekitar 80 makam dilakukan evakuasi ke tempat lain tanpa ada protes dari pihak keluarga mayit. Bahkan Makmun menyakinkan, pasca alihfungsi tersebut kegiatan panti asuhannya berjalan dengan normal.
Kini setelah silih berganti kepengurusan PCM Ujungberung menghadapi tantangan masa depan dakwah. Kegiatan pengajian sudah mulai jarang dilakukan. Iuran anggota persyarikatan perlahan tidak jalan. Beban biaya operasional organisasi khususnya AUM lebih berharap kepada santunan para donatur yang nominalnya belum mampu menutupi kebutuhan. Termasuk pendirian pondok pesantren syamsul ulum berkat wakaf dari dermawan ibu Euis Suryati Cucu.
Padahal pada periode awal PCM ini mampu melahirkan kader di tingkat nasional. Prof Dr H Dadang Kahmad, yang kini pengurus PP Muhammadiyah pernah aktif sebagai pengurus di Ujungberung. Bahkan ia pernah menjadi ketua PCM pada generasi ketiga kepengurusan. Saat itu Dadang, sebelum menjadi dosen UIN Bandung, menjadi guru dan kepala sekolah SMP Muhammadiyah Ujungberung.