Islam masa kini lebih unik dan tampil beda. Wajah Islam antara satu tempat dengan tempat lain bisa berbeda. Tidak hanya dalam batasan negara tetapi dalam lingkup satu negara bahkan berbeda daerah. Sekalipun masih dalam satu organisasi yang sama, namun jika berbeda pulau, propinsi, kota dan kabupaten maka amalan Islam itu bisa berbeda beda.
Itulah wajah Islam realitas. Islam yang dipahami dalam konteks kultural, bukan Islam konsep (normatif) atau Islam agama apalagi Islam politik (kekuasaan). Islam budaya terasa lebih humanis karena terdiri dari irisan2 dengan Islam2 arus bawah dalam lingkungan sosial. Ada Islam pesisir, Islam pedalaman, Islam perkotaan, Islam Jawa, sunda dan lainnya. Itu petansa amalan agama dipengaruhi kuat faktor geografis pemeluknya.
Potret sosial Islam Melayu relatif berbeda antara Malaysia, Singapura, Brunai dan juga Indonesia. Islam Indonesia relatif lebih liberal karena posisi negara tidak mengambil posisi sebagai sumber kebenaran tunggal dalam menterjemahkan praktek keberagamaan. Maka wajar Islam Indonesia banyak variannya yang membuat bangsa ini lebih kaya dan indah dalam praktek Islam budaya.
Pemahaman itu terungkap dalam pelatihan penelitian sejarah sesi pertama kegiatan yang diadakan oleh Majelis Pustaka dan Informasi PWM Jawa Barat, Jumat (25/3). Pelatihan yang berlangsung tiga hari hingga Ahad diikuti perwakilan pengurus MPI PDM se- Jawa Barat. Hari pertama kegiatan bertempat di kampus Universitas Muhammadiyah Bandung Jalan Palasari. Dua hari berikutnya bertempat di Pondok Pesantren Syamsul 'Ulum PCM Ujungberung di Kelurahan Gending kota Bandung.
Pembicara pertama Dr. H. Ajid Tohir, M.Ag mengatakan, wajah Islam kultural Indonesia yang lebih bebas dan plural karena dipengaruhi oleh kondisi sosial politik dan geografis bangsa. Pengalaman sejarah masa lalu akan membentuk orang menerima Islam yang berbeda. Menurut Ketua Prodi Sejarah dan Kebudayaan Islam pascasarjana UIN Bandung ini, pengalaman sejarah bisa membentuk ideologi keagamaan seseorang. Jadi, sejarah bukan catatan mati masa lalu tetapi mampu mempengaruhi dalam keberagamaan.
Pandangan intelektual kampus tersebut memberikan kesejukan bagi umat beragama di negeri yang plural ini. Hal berbeda ketika Islam dipahami sebagai sebuah konsep, ajaran atau negara, yang sering diterima dalam sesi pengajian diberbagai tempat. Islam yang terakhir ini bersikap tegas dan jelas. Ini boleh itu tidak. Ini perintah itu dilarang. Itu halal ini haram. Itu sunnah ini bid'ah. Beragama bikin frustasi bagi pemeluknya.
Lalu dimanakah posisi organisasi Islam seperti Muhammadiyah ? Organisasi dengan ideologi gerakannya amar ma'ruf nahi munkar ini pada awal berdirinya sudah menyatakan perang terhadap penyakit TBC---tahayul, bid'ah, churafat. Sebuah tradisi yg meracuni praktek keagamaan masyarakat Jawa khususnya, dan rakyat Indonesia pada umumnya. Selain faktor lainnya seperti melawan kristenisasi, kebodohan dan kemiskinan masa itu.
Jika mindset Islam irisan dipahami Islam humanis, yang menyejukan, ini seolah Islam yang diperjuangkan dalam pemahaman Muhammadiyah adalah sesuatu yang keliru. Muhammadiyah dianggap gagal dan tak mampu melakukan proses adaptasi dan naturalisasi agama import tanah arab tersebut. Karena selama ini dakwah perjuangan organisasi KH Ahmad Dahlan ini bersikap tegas dan jelas walau tidak anarkhis.
Muhammadiyah getol mengembalikan pemahaman umat terhadap ajaran Islam yang terlanjur sudah dirusak oleh agama sebelumnya berkembang di Indonesia. Gerakan ahli sunnah wal jamaah tersebut ingin memurnikan kembali ajaran Islam secara originalitasnya di masa Rosulullah Muhammad SAW. Karena Muhammadiyah bercita cita ingin menjadi satu golongan umat yang masuk surga, dari 72 golongan yang akan masuk neraka.
"Dalam berdakwah tak perlu mengedepan benturan dengan pihak lain. Dakwah Muhammadiyah lebih memunculkan identitas diri. Tampilkan keunggulan-keunggulan dan keberhasilan. Visi misinya yang ditulis dan disampaikan ke publik. Bukan (menyinggung) orang lain sehingga terjadi ada benturan," tutur Ajid, dosen berdarah sunda menanggapi pendapat Deny Rochman, peserta pelatihan dari MPI PDM kab. Cirebon.
Dosen UIN Bandung ini lebih lanjut mengatakan, lahirnya gerakan-gerakan Islam di Indonesia bahkan di dunia secara historis karena reaksi atau perlawanan dari kedzoliman kolonialisme. Maka, dengan kondisi sosial masyakat sekarang dakwah Islam harus lebih humanis karena situasinya berbeda dengan kondisi Islam masa lalu.
Mewakili MPI PDM kab Cirebon Deny Rochman tidak sendirian. Bersama rekannya Syamsudin Kadir, ia berangkat dengan kendaraan sendiri. Selama diperjalanan keduanya berdiskusi tentang khazanah intelektual baik dalam lingkup persyarikatan, Islam maupun kota Cirebon dan negara. Syamsudin selama ini dikenal sebagai penulis masalah2 apa saja yang dianggap olehnya bikin sesek dihati. Menulis di media massa, jurnal dan buku.
(*)
Wallahu'alam bishowab.