Oleh :
Deny Rochman
Menulis itu
gampang-gampang susah ternyata. Kata sang penulis, kegiatan menulis itu
gampang. Tapi kata yang tidak biasa, menulis itu susah. Banyak alasan seseorang
tidak bisa dan tidak mau menulis. Bagi kalangan guru, misalnya, menulis
merupakan salah satu kegiatan yang menakutkan. Takut? Yah beberapa dari para
pendidik ini mengaku takut menulis khawatir menyinggung perasaan orang lain. Takut
mencemarkan nama baiknya sehingga orang itu marah saat disinggung dalam tulisannya.
Ada juga
mereka takut karena tulisannya nanti dinilai jelek oleh orang lain. Takut dianggap
bodoh karena bahasa, struktur da nisi tulisannya tidak mencerminkan dengan,
misalnya, umurnya, jenis kelaminnya, status sosial ekonominya hingga strata
pendidikannya. Daripada menimbulkan masalah lebih baik tidak menulis. Alasan lainnya
mereka menulis takut kegiatan lainnya terganggu, karena menulis butuh waktu
lama dan kosentrasi tingkat tinggi.
Curhatan guru
tersebut berhasil terekam dalam berbagai kegiatan pelatihan menulis, apakah
menulis artikel, karya tulis maupun menulis berita serta menulis buku. Dua diantara
kegiatan tersebut adalah terungkap dalam Workshop Penulisan Karya Tulis Guru SD
yang diadakan oleh Kelompok Kerja Guru (KKG) Gugus IV Kalijaga Kec. Harjamukti
Kota Cirebon di gedung TB Gramedia Cipto, Sabtu 28 Mei 2016. Menghadirkan penulis
Indra Yusuf, guru SMA Negeri 7 Kota Cirebon.
Satu kegiatan
lainnya pada acara Bedah Buku di tempat yang sama pada siang harinya yang
diadakan Komunitas Gelem Maca (Gerakan Literasi Masyarakat Cirebon Kota)
Cirebon Leader’s Reading Challenge. Buku yang di bedah adalah Buku The Worrier’s Guide Book karya
Rini Hastuti terbita Elek Media Komputindo (Group Gramedia).
MENULIS=BICARA
Para
penulis bilang, menulis itu semudah orang bicara. Ah masa sih? Iya dong,
apalagi bagi mereka yang sudah pernah duduk dibangku sekolah tidak ada alasan
untuk tidak bisa menulis. Karena syarat utama menulis adalah ia bisa membaca
dan bisa menulis huruf, kata dan kalimat. Jika dua syarat itu terpenuhi,
tinggal bagaimana merangkaikan huruf, kata dan kalimat menjadi satu rangkaian
yang utuh.
Sama halnya
saat kita bicara. Ketika kita bisa melafadzkan satu huruf, kata dan kalimat
dalam bentuk lisan maka kita pun akan bisa bicara panjang lebar. Tinggal apakah
bicara panjang lebarnya itu sistematis, logis, berbobot atau tidak, ngelantur
tanpa arah. Artinya jika ada penulis yang bagus, juga ada pembicara yang hebat,
pendengar yang baik, serta pembaca yang cerdas. Semua itu bisa bisa terbentuk
karena proses latihan.
Saat kita
bicara, tentu ada waktu jeda kita berhenti, apakah untuk bernafas atau berganti
topik obrolan. Ada bicara pelan, keras atau datar. Bicara langsung dan tidak
langsung. Bertanya, memberikan informasi dan membuat pernyataan. Pola berhenti sesaat
kala bicara atau bicara pelan, keras dan datar tersebut dikonversikan dalam
kemampuan menulis dengan tanda baca: ada titik, koma, tanda seru, tanda Tanya,
tanda petik dan sebagainya.
Apabila
masih terasa sulit untuk mengalami menulis kalimat pertama, maka rekamlah
obrolan atau diskusi kita saat bersama teman. Hasil obrolan tersebut lalu
diputar kembali sambil diketik ulang dalam bentuk tulisan. Tinggal pemberian
tanda baca dalam setiap sesi obrolan tersebut. Tulisan kemudian dikelompokan
sesuai temanya akan memiliki cerita alur yang enak dibaca.
Mulailah menulis
hal yang menarik menurut kita, sekalipun hal itu dianggap kecil dan sepele oleh
orang lain. Misalnya ada kegiatan arisan keluarga di rumah. Anak merayakan
ulang tahun. Rumah tetangga kemalingan. Atau cara membuat masakan sayur asem
ala sendiri, dan banyak lagi. Tulis dan tulis apa yang kita pikirkan, yang kita
lihat, rasakan dan dengar. Karena sesungguhnya menulis itu melibatkan seluruh
panca indera kita.
Dimana dan
kemana kita menulis? Tempo dulu kebiasaan orang menulis kegiatan harian
dituangkan dalam buku catatan harian (diary). Namun masa itu sudah lewat,
walaupun masih ada beberapa orang lebih suka menulis catatannya dalam buku
harian biasa. Dengan perkembangan internet yang pesat, tulisan kita bisa dipublish
melalui blog, email, facebook, tweeter dan sejenisnya.
Jika masih
merasa malu, tulisan yang dipublish cukup di hidden atau masuk dalam kategori
privat. Namun alangkah baiknya, jika tulisan itu tidak bersifat pribadi dan
rahasia sebaiknya dipublish ke publik. Kita akan menunggu reaksi pembaca, apa
saran dan kritiknya terhadap tulisan yang kita buat. Semakin sering kita
menulis, maka semakin bagus tulisan kita.
Banyak yang
menjadi inspirasi yang menjadi sumber tulisan kita. Pasang saja panca indera
kita, untuk melihat, mendengar, mencium, merasakan dan meraba fenomena yang ada
di sekitar kita. Membaca fenomena secara telanjang kasat mata, maupun membaca fenonema
melalui isyarat atau tren yang ada.
Menulis dengan
panca indera ini pernah dilakukan oleh Ibu Rini Hastuti dan penulis lainnya. Melalui
bukunya The Worrier’s Guide Book ibu tiga
anak ini berhasil menangkap fenomena yang terjadi di lingkungannya. Apakah lingkungan
keluarganya, tempat kerja, maupun masyarakat dimana ia berada. Hasilnya sebuah
buku yang enak dibaca, renyah dirasa dan mudah dicerna.
Tentu tidak mudah untuk menangkap
ide tulisan jika tidak terlatih. Maka kecanggihan teknologi smartphone harus
bisa dimanfaatkan secara maksimal. Dimana dan kapan pun sedang ada ide menulis,
maka tulislah di media sosial yang ada. Paling tidak kalimat inti yang bisa
dikembangkan dikemudian dalam waktu yang khusus. Bila perlu abadikan peristiwa
tersebut melalui gambar foto atau video, akan lebih sempurna. Jika tidak
demikian, ide-ide bagus itu lewat menguap berterbangan tanpa arah.
Jangan pernah malu atau tidak
percaya diri dengan tulisan sendiri. Paling tidak kita harus bangga dengan
tulisan sendiri, jika orang lain tidak memberikan penilaian. Toh kita tidak
pernah merepotkan dan minta makan kepada mereka. Iya toh?
Hal yang perlu diingat adalah
menulis itu ibarat orang memasak, beda koki beda rasa sekalipun dengan jenis
dan bumbu masakan yang sama. Begitu juga dalam menulis. Menulis itu perlu
bahan-bahan untuk diracik dan dituangkan dalam tulisan. Bahan-bahan itu harus
kita cari, gali dan mungkin harus dibeli.
Citra rasa dan jenis tulisan
dipengaruhi oleh banyak factor, satu diantaranya watak dan suasana hati penulisnya.
Jika sedang marah, kecewa tentu akan menulis dengan bahasa tegas atau heroik. Mereka
yang punya kepribadian melankolis tentu akan memiliki daya tarik topic tulisan
yang berbeda dengan penulis yang berkepribadian sanguinis dan sebagainya.
Terkait rasa takut keamnan penulis
itu bergantung pada topic apa yang menjadi perhatian penulis. Tulisan yang
menyangkut rasa aman karena menyinggung pihak lain. Jika pun itu harus dilakukan
maka siapkan data dan fakta yang menguatkan tulisan tersebut dengan jenis dan
gaya bahasa tulisan yang elegan. Namun rasanya masih banyak topic tulisan yang
bagus namun tidak beresiko yang bisa dijumpai di sekitar kita.
Yang terakhir, budaya menulis sangat
lekat dengan budaya membaca. Maka jika kita ingin menjadi penulis produktif,
maka jangan pernah berhenti untuk membaca. Membaca buku, majalah, jurnal bahkan
membaca isyarat alam, fenomena masyarakat di sekitar kita. Selamat mencoba…!!
(*)
*) Penulis adalah penggiat Gerakan Literasi
Sekolah
Jurnalis yang memilik jadi guru di
SMP Negeri 4 Kota Cirebon