Oleh :
Deny Rochman
Mana yang
lebih gampang, kemampuan menulis atau bicara? Pasti banyak orang Indonesia akan
kompak menjawabnya lebih mudah bicara. Yah tentu kita jangan kaget dan
terheran-heran ketika banyak orang Indo lebih pandai bicara daripada kemampuan menulis.
Karena kemampuan bicara sudah terlatih sejak kecil, saat anak masih bayi. Pasti
tidak ada orangtua satu pun dijagat dunia ini yang melatih anaknya menulis saat
ia masih bayi.
Bicara merupakan
kemampuan dasar manusia, sama halnya kemampuan melihat dan mendengar yang sudah
dilatih sejak dini. Kemampuan menulis sendiri mulai dikenalkan sejak anak masuk
sekolah. Jika sampai lulus sekolah hingga kuliah dan bekerja ternyata anak
belum juga pandai menulis dengan baik, baik bahasa tulisannya, isinya,
strukturnya, maka ada masalah pola pengajaran dalam pembelajaran dunia
pendidikan kita.
Faktanya guru
saat mengajar, memposisikan diri sebagai sumber belajar satu-satunya. Ceramah menjadi
metode andalan setiap guru mengajar. Sekalipun ada diskusi dalam pembelajaran,
tetapi lebih mengembangkan kemampuan bicara tanpa anak memberikan laporan hasil
diskusi secara tertulis. Tugas makalah tidak membuat anak belajar mengasah
kemampuan menulisnya karena siswa kerap melakukan copy paste dalam memenuhi
tugasnya tanpa dituntut menulis karya sendiri.
Celakanya kini
kemampuan siswa bukan hanya budaya menulis yang kian tumpul, tetapi juga
kemampuan anak dalam hal bicara, membaca (melihat) dan mendengar sudah mulai
menurun. Apa sebab? Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi ikut memicu
menurunnya kemampuan siswa di atas. Anak kini rajin melihat tayangan televisi dengan
kian banyaknya stasiun siaran, sehingga budaya membaca kalah dengan budaya
menonton.
Kemampuan anak
menulis yang belum berkembang baik, dalam prosesnya mengalami penurunan kualitas.
Jangankan dalam aspek isi, dilihat bentuk tulisannya kemampuan anak semakin
tersendat. Ini terjadi seiring berkembangnya mesin cetak, seperti computer,
laptop dan sejenisnya dalam melakukan kegiatan menulis. Jika mau menulis
tinggal di ketik dengan mesin. Di sekolah anak dibuat pasif menulis, karena
sudah ada buku pelajaran yang menjadi pedoman belajar.
Pendengaran
anak pun mulai tidak peka. Pembelajaran menggunakan imla atau didikte tidak
berjalan dengan cepat. Beberapa kali guru harus mengulang-ulang materi yang
disampaikan kepada anak didiknya. Ini disebabkan karena ada gangguan
pendengaran disebabkan polusi suara dan udara yang terjadi di lingkungan anak
dengan kebisingan dan sebagainya.
Ketrampilan
komunikasi anak pun terancam memburuk. Masih ada dijumpai anak di usia sekolah
masih belum fasih berbicara. Jika pun sudah bisa, bahasa yang digunakan cenderung
anarkhis, kotor dan tidak sopan. Ini biasanya dipengaruhi karena rendahnya
tingkat komunikasi orang-orang terdekatnya dengan anak tersebut. Anak jarang
dilatih bicara, berdialog dan komunikasi dalam kesehariannya.
Kesibukan orang-orang
disekitar anak tersebut membuat anak hidup dalam kesendirian. hari-harinya
dihabiskan untuk menonton televisi, film, internet, game dan sebagainya. Dalam waktu
bersamaan anak-anak keluarga lain juga mengalami keterasingan yang sama. Mereka
berkelompok bermain bersama dengan menggunakan bahasa yang mereka senangi
bersama. (*)