Mei 29, 2016

MELEMAHNYA KEMAMPUAN BELAJAR SISWA

Oleh :
Deny Rochman

Mana yang lebih gampang, kemampuan menulis atau bicara? Pasti banyak orang Indonesia akan kompak menjawabnya lebih mudah bicara. Yah tentu kita jangan kaget dan terheran-heran ketika banyak orang Indo lebih pandai bicara daripada kemampuan menulis. Karena kemampuan bicara sudah terlatih sejak kecil, saat anak masih bayi. Pasti tidak ada orangtua satu pun dijagat dunia ini yang melatih anaknya menulis saat ia masih bayi.

Bicara merupakan kemampuan dasar manusia, sama halnya kemampuan melihat dan mendengar yang sudah dilatih sejak dini. Kemampuan menulis sendiri mulai dikenalkan sejak anak masuk sekolah. Jika sampai lulus sekolah hingga kuliah dan bekerja ternyata anak belum juga pandai menulis dengan baik, baik bahasa tulisannya, isinya, strukturnya, maka ada masalah pola pengajaran dalam pembelajaran dunia pendidikan kita.


Faktanya guru saat mengajar, memposisikan diri sebagai sumber belajar satu-satunya. Ceramah menjadi metode andalan setiap guru mengajar. Sekalipun ada diskusi dalam pembelajaran, tetapi lebih mengembangkan kemampuan bicara tanpa anak memberikan laporan hasil diskusi secara tertulis. Tugas makalah tidak membuat anak belajar mengasah kemampuan menulisnya karena siswa kerap melakukan copy paste dalam memenuhi tugasnya tanpa dituntut menulis karya sendiri.

Celakanya kini kemampuan siswa bukan hanya budaya menulis yang kian tumpul, tetapi juga kemampuan anak dalam hal bicara, membaca (melihat) dan mendengar sudah mulai menurun. Apa sebab? Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi ikut memicu menurunnya kemampuan siswa di atas. Anak kini rajin melihat tayangan televisi dengan kian banyaknya stasiun siaran, sehingga budaya membaca kalah dengan budaya menonton.

Kemampuan anak menulis yang belum berkembang baik, dalam prosesnya mengalami penurunan kualitas. Jangankan dalam aspek isi, dilihat bentuk tulisannya kemampuan anak semakin tersendat. Ini terjadi seiring berkembangnya mesin cetak, seperti computer, laptop dan sejenisnya dalam melakukan kegiatan menulis. Jika mau menulis tinggal di ketik dengan mesin. Di sekolah anak dibuat pasif menulis, karena sudah ada buku pelajaran yang menjadi pedoman belajar.

Pendengaran anak pun mulai tidak peka. Pembelajaran menggunakan imla atau didikte tidak berjalan dengan cepat. Beberapa kali guru harus mengulang-ulang materi yang disampaikan kepada anak didiknya. Ini disebabkan karena ada gangguan pendengaran disebabkan polusi suara dan udara yang terjadi di lingkungan anak dengan kebisingan dan sebagainya.
Ketrampilan komunikasi anak pun terancam memburuk. Masih ada dijumpai anak di usia sekolah masih belum fasih berbicara. Jika pun sudah bisa, bahasa yang digunakan cenderung anarkhis, kotor dan tidak sopan. Ini biasanya dipengaruhi karena rendahnya tingkat komunikasi orang-orang terdekatnya dengan anak tersebut. Anak jarang dilatih bicara, berdialog dan komunikasi dalam kesehariannya.

Kesibukan orang-orang disekitar anak tersebut membuat anak hidup dalam kesendirian. hari-harinya dihabiskan untuk menonton televisi, film, internet, game dan sebagainya. Dalam waktu bersamaan anak-anak keluarga lain juga mengalami keterasingan yang sama. Mereka berkelompok bermain bersama dengan menggunakan bahasa yang mereka senangi bersama. (*)