Oleh :
Deny Rochman

Fenomena kecemasan
sosial tersebut menjadi soroton Rini Hastuti dalam bukunya berjudul Buku The Worrier’s
Guide Book. Buku panduan bagi pencemas ini boleh dibilang sebagai auto kritik sosial, namun sekaligus buku penenang jiwa, jika ada buku lain dikelompokkan
sebagai buku pembangun jiwa. Dalam prolognya,
buku tersebut menggambarkan potret manusia modern yang selalu banyak keinginan,
namun terburu-buru dalam proses pemenuhannya.
Yah, manusia
era digital ini seabreg keinginan yang ingin dipenuhi. Saking banyaknya mereka
semakin sulit membedakan mana keinginan, mana kebutuhan. Celakanya, sering kali
melakukan pembenaran yang bisa merubah keinginan itu menjadi kebutuhan
hidupnya. Suatu sisi sifat buruk manusia demi gengsi, status sosial dan
kecintaan berlebihan terhadap kehidupan dunia. Kendati keinginan demi keinginan
itu tak pernah habis di satu titik, seperti mengejar banyangan sendiri.

Tuhan pun memang
sejak awal sudah memaklumi sifat manusia adalah makhluk mengeluh. Sampai ada
guyonan soal keluhan manusia tersebut. Kalau Tuhan boleh memilih, Dia mungkin
lebih senang kalau manusia itu dalam kondisi sakit daripada sehat. Mengapa? Jika
adalam keadaan sakit manusia tidak banyak keinginan daripada saat mereka sehat.
Saat sakit permintaan manusia hanya satu, cuma ingin sembuh (sehat). Tapi lihatlah
ketika manusia sehat, doa mereka setumpuk permintaan yang dialamatkan kepada
Tuhannya.

Kebiasaan generasi
layar sentuh tersebut dianggap penulis sebagai sesuatu hal yang lebay. Malah bagian
dari penyakit ketergantungan, sama adiktifnya terhapad ketergantungan narkoba. Disini
dianggap perlu rumah sakit ketergantungan sinyal, seperti yang diulas Rini
Hastuti dalam beberapa bagian tulisannya pada buku hijau tosca tersebut. Namun
jika tidak cermat menggunakan media sosial, maka status, tweet atau komen kita
akan menjadi boomerang. Pepatah bilang, mulutmu harimaumu. Nah era digital
istilah barunya, jarimu harimaumu, seperti disindir dalam buku tersebut.
Manusia modern
selain hidup dalam bergelimang keinginan, juga hidup dalam tekanan target. Harus
begini, harus begitu. Tidak jarang pikiran negative merusak pikiran
manusia-manusia modern. Tidak hanya kepada sesama manusia, kita tanpa sadar
sering berfikir negative kepada Tuhannya. Kalau doa kita belum terkabul, kadang
terselip pemikiran jelek kepada Tuhan. Satu kejelekan bertambah satu lagi
prasangka membuat denyut nadi jantung dan kerja otak manusia modern kian
kencang. Stress, depresi, jantung, diabet dan sejenisnya adalah menyakit yang
siap mendekati manusia modern jika tidak mampu move on dengan beragam masalah
mental tersebut.
Buku terbitan
Elex Media Komputindo (Gramedia Group) memang buku ringan. Ringan dari bobot
bukunya, ringan bahasanya, ringan dibacanya, termasuk ringan masalahnya, tetapi
dibuat susah dan berat oleh manusia yang mengaku modern. Buku yang bisa
menemani kesibukan kita, saat senggang, waktu menanti sesuatu, namun alangkah indahnya
jika buku ini dilengkapi gambar atau karikatur relevan dengan topic. Topik
Hijrah Yuk akan happy ending jika ditempatkan di halaman belakang sebagai
closing topic, bukan diposisikan di awal.
Nah, jika hidup
sesaat ini penuh masalah, so what gitu loh…? Penulis yang juga seorang
perencana keuangan ini punya wisdom mengatasi kroditnya melewati persoalan
hidup. Walau hidup tanpa cemas tidak indah. Kecemasan adalah bagian dari dinamika hidup menuju kebahagiaan. Di akhir tulisannya, ibu tiga anak asal Klaten tersebut menyarankan agar
hidup dijalani sesuai alurnya. Nikmati saja. Manusia boleh berusaha, focus mengejar
kebutuhan dan keinginannya. Namun Tuhan yang memutuskan gagal dan berhasilnya
usaha manusia. Jika hidup hanya menjalani takdir, mari kita berhenti
mengkhawatirkan khawatir. (*)
*) Penulis
adalah Penggiat Gerakan Literasi Sekolah di Kota Cirebon.
Seorang
Jurnalis Citizen yang tercatat sebagai guru IPS SMP Negeri 4 Kota Cirebon.