Oleh :
Deny Rochman
A.
Pendahuluan
Manusia adalah makhluk Allah
yang paling mulia dibandingkan dengan makhluk lain, bahkan malaikat sekalipun.
Sedangkan Iblis adalah makhluk Allah yang paling hina, karena orientasi
hidupnya terfokus pada kerusakan dan penyesatan manusia dari jalan yang lurus.
Kemuliaan malaikat adalah karena tidak putus-putusnya bertasbih dan memuji
kebesaran Tuhan Pencipta. Bahkan setiap saat siap menjalankan perintah dan
aturan-Nya. Lain lagi dengan hewan. Hewan adalah makhluk yang tidak punya akal
dan perasaan seperti manusia.
Desain dan struktur tubuhnya
sangat jauh berbeda dibandingkan dengan tubuh manusia. Akan tetapi memiliki
nafsu atau syahwat makan dan biologis seperti manusia. Karena syahwat hewaninya
yang mendominasi dan menggerakkan kehidupan, maka setiap saat hidup hewan hanya
untuk memenuhi syahwat makan dan syahwat biologis. Sebab itu, hewan tidak Allah
pilih menjadi Khalifah-Nya di atas bumi.
Adapun kemuliaan manusia
bermula ketika Allah berkehendak menjadikan Adam sebagai Khalifah-Nya di atas
muka bumi dengan misi ibadah kepada-Nya. Kehendak Allah menjadikan manusia
sebagai Khalifah-Nya di bumi itu berdasarkan ilmu dan perencanaan yang sangat
matang. Sebab itu, ketika para malaikat mempertanyakan rencana Allah tersebut,
Allah menjawabnya: “Sungguh Aku
mengetahui apa yang kalian tidak ketahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 30)
Rencana Tuhan untuk
menciptakan manusia pertama bernama Adam di muka bumi tersebut dibuat secara
matang. Sebelum akhirnya Adam menempati dunia fana, segala isi dan fasilitas di
dalamnya sudah dipersiapkan. Kendati dalam banyak sisi berbeda dengan fasilitas
yang ada di surga yang sudah siap pakai secara instan. Sementara di bumi, Adam
bersama Hawa harus berjuang keras untuk bertahan hidup pada masa-masa awal
merintis peradaban manusia.
Menurut Hamid Ahmad
Ath-Thahir, masa
awal Adam dan Hawa hidup di bumi merupakan periode adaptasi yang cukup
menyengsarakan. Betapa sulitnya ketika Adam dan Hawa untuk memenuhi kebutuhan
perutnya karena terasa lapar harus berproses, mulai menanam gandum,
menyiraminya, menuai dan memasaknya hingga di makan. Satu hal yang tidak pernah
dilakukannya ketika masih berada di dalam surga. Namun dengan kekuatan akal dan
petunjuk Tuhannya Adam dan Hawa bisa keluar dari masa-masa sulit tersebut.
Kisah Adam merupakan sisi
lain dari kelebihan manusia dengan makhluk lainnya, karena manusia memiliki
kemampuan untuk melakukan penalaran. Hal yang sama ketika Nabi Ibrahim
melakukan perjalanan spiritual mencari Tuhan. Dengan kemampuan akalnya manusia
tidak hanya bisa mempertahankan eksistensinya tetapi juga bisa menjaga
kelangsungan hidupnya. Penalaran yang dilakukan dengan kegiatan berfikir dan
bukan dengan kegiatan perasaan yang juga berlaku hanya bagi manusia (Jujun S.
dalam Cecep Sumarna, 2006).
Pada periode berikutnya,
kekuatan nalar manusia semakin teruji sepanjang jaman. Banyak produk teknologi
yang dilahirkan berkat kekuatan nalar manusia. Dengan nalarnya manusia mampu
merubah dunia bahkan hingga melawan “takdir” Tuhan. Yang menjadi pertanyaan adalah
mengapa akal manusia memiliki kelebihan daripada makhluk lainnya? Bagaimana
pola kerja nalar manusia dalam menemukan kebenaran yang diyakininya? Mengapa
kemudian eksplorasi logika yang mendalam kini terkadang bertabrakan dengan
“tradisi” agama, yang sebelumnya diyakini sebagai produk wahyu?
B.
Akal Sumber Pengetahuan
Kelangsungan
hidup Adam dan Hawa dari awal peradaban sampai beranak pinak hingga sekarang
merupakan bukti atas kekuatan nalar yang diciptakan oleh Allah Swt. Melalui
nalar tersebut manusia telah memperoleh pengetahuan. Karena memang manusia
adalah satu-satunya makhluk yang mengembangkan pengetahuan secara
sungguh-sungguh. Melalui pengetahuan manusia bisa berkembang karena memiliki
bahasa, mengembangkan pengetahuannya dengan cepat dan mantap, kemampuan
berfikir menurut suatu alur kerangka berfikir tertentu.
Berfikir, menurut
Rahmat, dilakukan orang dengan tujuan untuk memahami realita dalam rangka
mengambil keputusan (making decision), memecahkan masalah (problem
solving) dan menghasilkan sesuatu yang baru (creativity). Hanya
dalam konteks filsafat ilmu, untuk mencapai tujuan berfikir itu harus melalui
mekanisme dan metode yang tepat, sehingga proses berfikir bisa bermanfaat bagi
kehidupan manusia.
Sebagai manusia,
Adam mengembangkan pengetahuannya mengatasi kebutuhan kelangsungan hidupnya. Dia
memikirkan hal-hal baru, menjelajah, menciptakan kebudayaan, semuanya tidak
hanya untuk kelangsungan hidupnya tetapi mempunyai tujuan yang lebih tinggi.
Inilah yang menurut Jujun S. Suriasumantri (1998: 40) menyebabkan manusia
mengembangkan pengetahuannya. Dengan kemampuan bahasa, manusia mengembangkan
pengetahuan melalui komunikasi dan informasi kepada sesamanya.
Dalam perspektif
psikolinguistik, bahasa adalah satu bentuk komunikasi terarah yang paling
canggih bentuknya. Masyarakat manusia dalam budayanya masing-masing telah
mengembangkan bahasanya sendiri-sendiri seiring perkembangan pengetahuan
manusia. Hal yang tidak pernah dijumpai
dalam dunia hewan, dimana tidak satupun yang dapat mengembangkan bahasa.
Martin Moynihan
(dalam Abdul Rahman dan Muhbib, 2005: 251) menemukan hasil penelitiannya bahwa
hewan tidak dapat mengembangkan sistem komunikasi yang lebih baik. Hewan hanya
mampu memberikan isyarat komunikasi tidak lebih dari 10 sampai 37 pola. Mereka
tidak mampu mengungkapkan isi pikirannya secara lebih lengkap. Dengan kata lain
kemampuan berfikir (nalar) sangat berkaitan dengan kemampuan berbahasa.
Kualitas dan kuantitas bahasa sangat menentukan kualitas dan kuantitas berfikir.
Namun demikian
tidak semua pengetahuan diperoleh dari proses penalaran, yaitu hasil proses
berfikir logika ilmiah dan analitik. Ada pengetahuan yang diperoleh dari hasil
penalaran, ada juga dari intuisi (perasaan) dan pengetahuan diperoleh bukan hasil
dari usaha manusia yaitu wahyu. Tetapi para filosof sekuler memahami bahwa
berfikir dalam pengertian penalaran logika merupakan bentuk suatu kegiatan
untuk menemukan pengetahuan yang benar.
Artinya, untuk
melakukan kegiatan analisis maka penalaran harus diisi dengan materi
pengetahuan dari suatu sumber kebenaran, yang dimaksud adalah nalar.
Pengetahuan yang dipergunakan dalam penalaran pada dasarnya bersumber dari rasio
(rasionalisme) atau fakta (empirisme). Jadi, penalaran ilmiah merupakan gabungan
penalaran rasionalisme (deduktif) dan empirisme (induktif). Menurut Hasbullah
M. Bakry (dalam Cecep Sumarna, 2006: 126), penalaran dibentuk oleh tiga
pemikiran yaitu pengertian/konsep, proporsi/dan pernyataan. “Tidak ada proporsi
tanpa pengertian, dan tidak ada penalaran tanpa proporsi. Penalaran berlangsung
dalam tiga tahap dan bersifat sistematis.”
Terkait logika
induktif dan deduktif, Cecep Sumarna (2006: 140) menjelaskan bahwa logika
induktif adalah cara penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata
menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Sedangkan logika deduktif dalah
sebaliknya dalam penarikan konklusi dari hal-hal yang bersifat umum menjadi
kasus-kasus yang bersifat khusus. Mereka
yang kerap menggunakan logika induktif biasa dikenal sebagai kaum empirisme.
Sementara mereka yang biasa memakai pola pikir umum ke khusus disebut kaum
rasionalisme.
Dalam fram ini
dikatakan bahwa kebenaran ilmiah adalah kebenaran yang disandarkan pada logika
akal manusia. Cecep menambahkan, seseorang disebut telah melakukan penalaran
dengan benar, ketika pemikirannya logic dan analitik. Namun tepat tidaknya penalaran (rasional)
seseorang terhadap hasil observasinya tergantung dari pengalaman indrawinya
(empiris) dan pemanfaatan pengalamannya tersebut. Maka kemudian, cara kerja
logika terpola menjadi dua: logika matematika dan statistik.
Logika matematika
adalah metode berfikir untuk mencari kebenaran ilmiah melalui pengukuran
kuantitatif atau matematika. Matematika biasanya menggunakan bahasa numerik
yang nemafikan unsur emosi, kabur dan majemuk. Sementara logika statistik,
kendati sedikit sama dengan logika matematika, namun statistik lebih bersandar
pada logika empirik. Artinya untuk premis-premis tertentu dapat ditarik
kesimpulan, yang bisa benar dan juga bisa salah. Seperti langkah logikanya
yaitu 1) observasi dan eksperimen 2) hipotesis ilmiah 3) verifikasi dan
pengukuran, dan 4) munculnya teori dan hukum ilmiah.
C.
Akal dan Problem Spiritual
Sumber
pengetahuan paling tidak ada tiga yaitu nalar (akal), pengalaman, intuisi
(perasaan) dan wahyu. Namun pengetahuan yang digunakan dalam penalaran
bersumber pada rasio dan fakta. Sementara pengalaman, intuisi apalagi wahyu
bukan termasuk wilayah ilmiah. Sehingga agar pengetahuan mempunyai dasar
kebenaran maka proses berfikir harus dilakukan dengan cara tertentu. Dimana suatu
penarikan kesimpulan itu disebut logika.
Mengedepankan
kemampuan nalar kita akan terjebak dalam dunia materialistik, bahkan tidak sedikit kekuatan nalar telah menyeret
manusia mengingkari Tuhannya. Charles Darwin, misalnya, ilmuwan Biologi abad
XIX yang dikenal teori evolusinya ini semula orang yang percaya adanya
keberadaan Tuhan. Namun ketika dia semakin matang sebagai ilmuwannya, secara
perlahan telah kehilangan kepercayaan kepada Tuhan. Dia pernah mengatakan :
“Ketidakpercayaanku pada Kristen sebagai agama wahyu, merayap secara
perlahan tetapi akhirnya sempurna. Dulu orang boleh percaya dengan adanya Tuhan
sebagai pencipta alam dan makhluk-makhluknya, tetapi kini kita tidak perlu lagi
mengatakan bahwa engsel kerang yang indah mesti merupakan ciptaan Tuhan. “
Problem spiritual
tersebut banyak dialami oleh para ilmuwan yang sudah mengagungkan akal sebagai
sumber kebenaran ilmiah, seperti Pierre de Lapace, astronom Prancis, Sigmund
Freud (ahli psikologi), Emile Durkheim sosiolog dan banyak lagi. Kebebasan akal
mengawali puncaknya ketika abad pertengahan masa pencerahan (renaisans) di
belahan bumi Eropa. Tuhan telah mati, demikian ucapan untuk menggambarkan
runtuhnya dogma gereja, yang selama ini menjadi sumber kebenaran tunggal di
dalam masyarakat.
Metode logika
dalam mencari sumber kebenaran pengetahuan sudah merambah pada ranah
transendental. Akibatnya semuanya ditimbang antara logis dan tidak logis,
rasional dan tidak rasional. Logiskah peristiwa Isra Mir’aj Nabi Muhammad Saw
dalam konteks teknologi sekarang? Berbagai pertanyaan dan pernyataan itu
menjadi paradigma tidak saja dalam memahami ilmu tetapi juga agama. Fenomena
tersebut mulai merambah ke dalam pemikiran intelektual muslim Indonesia.
Padahal menurut
para ilmuwan muslim, manusia memiliki tiga macam sumber atau alat untuk
menangkap keseluruhan realitas yaitu panca indra, akal dan intuisi (termasuk
wahyu). Akal dalam bentuk proses penalaran memang digunakan, tetapi hanya untuk
memilih, memutuskan dan melakukan penalaran, bukan sebagai sumber lain untuk
menangkap realitas (Mulyadhi Kartanegara, 2007:7). Menurut Herber A. Simon,
nalar itu ibarat senjata sewaan, yang bisa kita gunakan untuk mencapai tujuan
apa saja, baik atau buruk. Nalar lebih merupakan fasilitator daripada
inisiator, kita memakai nalar untuk mendapatkan yang kita mau, bukan untuk
menentukan yang kita mau.
Nabi Adam As,
misalnya, pengetahuan yang diperolehnya tidak melulu hasil penalaran yang
dilakukannya. Namun juga atas bimbingan ilahiyah melalui malaikat Jibril.
Ketika “dibuang” ke bumi, Adam belum memiliki pengetahuan dalam bertahan dan
menjaga kelangsungan hidupnya. Bagaimana ketika dia dan Hawa mulai merasa
lapar, bagaimana ketika anak-anaknya di nikahkan, ketika Qobil melihat Habil
terbunuh olehnya. Jika mengedepankan akal, maka seperti sikap Qabil yang
menolak menikah dengan adik Habil karena justeru adiknya sendiri memiliki
kelebihan fisik daripada adik Habil.
D.
PENUTUP
Problem mendasar
modernitas adalah perceraian anatar mitos dan logos, rasional dan
irrasional, nalar dan nirnalar. Bagi
para ilmuwan sekuler yang mengagungkan akal sebagai sumber kebenaran pada
akhirnya hanya telah melahirkan keterasingan diri, kering spiritualisme. Pada
masyarakat seperti ini banyak dari mereka mencari kekosongan spiritual melalui
berbagai kegiatan yang menghibur, mencari ritual-ritual keagamaan yang bisa
menentramkan kegelisahan mereka. Berbagai aliran dan sekte keagamaan pun
menjamur bermunculan. Tuhan menjadi pelabuhan akhir ketika akal manusia kandas
mencari solusi hidup.
Pemikiran
tersebut akibat pengingkaran manusia terhadap fitrah hidup yang sudah disusun
oleh Sang Pencipta. Karena manusia diciptakan Tuhan dalam dua unsur jasmani dan
rohani. Dua unsur tersebut membuat manusia memiliki kecenderungan kepada
materialistik dan spriritual. Untuk kecenderungan pertama dalam memenuhi
kepentingan hidupnya manusia lebih menggunakan akalnya (nalar). Sementara untuk
masalah spiritual, ketenangan dan orientasi hidup manusia menggunakan ranah
rohaninya. Kedua-duanya memiliki wilayah kerja yang berbeda tetapi saling
melengkapi.
Pemberdayaan
nalar manusia dalam menggali kebenaran ilmu pengetahuan dalam batas logika
ilmiah merupakan bentuk kewajaran. Justeru akallah yang menjadi kekuatan
manusia sebagai senjata dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Dengan akal
tersebut manusia bisa menikmati hidup dengan mudah dan murah, bisa merubah
hambatan menjadi tantangan dan peluang.
Namun mencapai
kebahagiaan dan ketenagan batin manusia tetap memerlukan campur tangan Tuhan.
Karena tidak semua persoalan yang dihadapi oleh manusia bisa diatasi dengan
akal. Termasuk dalam mencari sumber pengetahuan dan kebenaran nash-nash wahyu
menjadi sumber otentik sebagai pedoman hidup manusia. Disinilah manusia harus
bisa menyeimbangkan ranah jasmani dan rohani dalam mencari kebenaran tersebut.
Jika lepas kendali maka akan terseret pada pengingkaran terhadap Sang Pencipta,
dan menjadi sekutunya Syetan.
Dengan kata lain, bahwa sumber pengetahuan
tidak melulu hanya pada akal, tetapi juga pengalaman dan intuisi. Ketiganya
bisa bekerja dalam waktu yang terpisah dan juga bisa dalam waktu bersamaan.
Fenomena dukun cilik Ponari merupakan contoh kecil ketika kekuatan akal
modernitas tidak mampu menjelaskan sesuatu yang mistik dalam praktek pengobatan
alternatif “batu ajaib” ponari. Tetapi toh masyarakat kita menganggap tidak
terlalu penting memperdebatkan apakah itu rasional atau irrasional. Bagi mereka
yang penting penyakit yang dideritanya bisa sembuh. Wallahualam bishowab.
DAFTAR
PUSTAKA
Cecep Sumarna, Filsafat Ilmu: Dari Hakikat Menuju Nilai, Pustaka
Bani Qurasy, Bandung, 2006.
Cecep Sumarna, Revolusi Peradaban: Mencari Tuhan dalam Batang Tubuh
Ilmu, Mulia Press, Bandung, 2008.
Mulyadi Kertanegara, Mengislamkan
Nalar: Sebuah Respon terhadap Modernitas, Erlangga, Jakarta, 2007.
Hamid Ahmad Ath-Thahir, Kisah Para
Nabi untuk Anak, (terjemahan Qishash Al-Anbiya lil Athfal), Irsyad
Baitus Salam, Bandung, 2006.
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer,
Cet. Ke-11 Muliasari, Jakarta, 1998.
Abdul Rahman Saleh – Muhbib Abdul
Wahab, Psikologi Suatu Pengantar dalam Perspektif Islam, cet.ke-2,
Kencana, Jakata, 2005,
Mulyadi Kertanegara, Mengislamkan Nalar: Sebuah Respon terhadap
Modernitas, Erlangga, Jakarta, 2007. h.46
Ahmad Zamhari Hasan, Peran Nalar bagi
Manusia, http://www.cybermq.com/pustaka/detail/ekonomi-islam/214/