(Telaah Buku Bab Lima tentang Kultur dan
Etnis,
Pendidikan Multikultural dan Gender)
Oleh :
Deny Rochman
- PENDAHULUAN
Dalam mencapai tujuan
pendidikan banyak variabel yang mempengaruhi prosesnya. Latar bekalang sosial
ekonomi masyarakat, misalnya, ikut mempengaruhi proses kegiatan belajar seorang
anak. Kondisi ini terjadi seperti pada sekolah-sekolah di Amerika.
Heterogenitas masyarakat Amerika ternyata mempengaruhi dalam proses pendidikan
anak di sekolah-sekolah. Entah keberagaman dalam kultur, etnis, status sosial
ekonomi hingga gender menjadi kendala dalam proses pencerdasan anak didik.
Perbedaan latar belakang
sosial ekonomi tersebut telah melahirkan diskriminasi pendidikan anak. Antara
pendidikan sekolah miskin dan kaya, di kota dan di desa, perbedaan etnis dan
ras wara negara berkulit putih dan berwarna. Orang kulit putih dianggap lebih
pintar daripada kulit berwarna apalagi kulit hitam (baca: negro). Orang kulit
berwarna lebih ekspresif, sulit diatur daripada orang kulit putih lebih mudah
dikendalikan. Realitas sosial tersebut telah menyumbangkan permasalah bagi
dunia pendidikan di Amerika.
Berbagai upaya terus
dilakukan oleh berbagai pihak, baik guru, sekolah, orangtua dan pemerintah.
Melalui diskusi, penelitian hingga kebijakan politik pendidikan pemerintah
setempat. Pada akhirnya upaya warga Amerika untuk mengatasi problem pendidikan
di negaranya membuahkan hasil. Paling tidak jika tidak bisa diatasi , minimal
bisa memperkecil kendala yang dihadapi. Berbagai program pendidikan diluncurkan
guna keluar dari problem sosial tersebut.
Dalam kajian Bab lima
tentang kultur dan etnis, pendidikan multikultural dan gender dalam buku
Psikologi Pendidikan ini menarik untuk ditelaah. Tidak saja bagi mahasiswa yang
mengambil konsentrasi psikologi pendidikan, tetapi juga mereka yang terlibat
baik langsung maupun tidak terhadap dunia pendidikan, termasuk di negeri ini,
bangsa Indonesia. Beberapa sisi bangsa ini memiliki persamaan dalam perbedaan
latar belakang sosial ekonomi masyarakatnya.
Kesamaan sisi sosial
tersebut maka pendidikan multikultural dan gender menjadi program sistemik yang
disampaikan kepada masyarakat dalam berbagai kegiatan dan waktu. Kendati
program tersebut mendapat respon yang beragam di masyarakat, ada yang pro
tetapi tidak sedikit yang bernada miring. Mereka yang pro, pendidikan
multikultural diharapkan bisa memberi keadilan bagi semua warga dalam mengeyam
pendidikan, terciptanya kedamaian di negeri ini dalam frame bhineka tunggal
ika. Sementara bagi yang kontra, multikulturalisme akan menggiring persamaan
agama dan mengembangkan toleransi yang tidak mendasar.
Dalam pembahasan Bab 5 tentang Teaching Stories oleh Margaret
Longworth akan mendiskusikan tentang kultur, status ekonomi dan latarbelakang
etis. Dalam bab ini juga akan mendeskripsikan beberapa acara untuk
mempromosikan pendidikan multikultural, kesateraan gender dalam pengajaran di
sekolah. Faktor-faktor itu merupakan variabel yang mempengaruhi proses
pembelajaran di sekolah dalam mencapai tujuan pendidikan.
- KULTUR
Kultur adalah pola perilaku, keyakinan dan semua produk dari kelompok
orang tertentu yang diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya. Produk
ini berasal dari interaksi antar kelompok orang denga lingkungannya selama
bertahun-tahun (Chun, Organizta dan Martin, 2002; Thomas, 2000). Berapapun besarnya, kultur kelompok akan
mempengaruhi perilaku anggotanya, seperi kultur di Amerika Serikat dan Amazon
(Berry, 2000; Matsumoto, 2001).
Psikolog Donald Campbell dan rekannya (Brewer dan Campbell, 1976;
Campbel dan LeVine, 1968) menemukan bahwa orang-orang di semua kultur cenderung
:
1.
Percaya bahwa apa yang terjadi dalam kultur mereka
adalah sesuatu yang “alami” dan “benar” dan apa yang terjadi di dalam kultur
lain adalah “tidak alami” dan “tidak benar”.
2.
Menganggap bahwa kebiasaan
kultural mereka adalah valid secara universal.
3.
Berperilaku dengan cara-cara
yang sesuai dengan kelompok kulturnya.
4.
Merasa bangga dengan kelompok
kulturnya.
5.
Bermusuhan dengan kelompok
kultur lain.
Ada perbedaan kultur antara kultur warga Amerika dengan negara-negara
Asia. Kultur Amerika dikenal lebih cenderung mengembangkan individualisme,
sedangkan negara di Asia dikenal berkultur kolektivisme. Individualisme adalah
seperangkat nilai yang mengutamakan tujuan personal di atas tujuan kelompok.
Sementara kukltu kolektivitas memiliki arti sebaliknya. Dalam konteks ini
tujuan personal digunakan untuk menjaga integritas kelompok, interpededensi anggota
kelompok dan keharmonisan hubungan.
Konsep dasar psikologi dalam kultur individu misalnya aktualisasi
diri, harga diri, konsep diri, kemampuan diri, penguatan diri, kritik diri,
bias mementingkan diri, keraguan diri dan sebagainya. Istilah diri diciptakan
oleh para psikolog Amerika sehingga muncul beberapa kritik yang mengatakan
bahwa mereka sangat condong pada nilai individualitis ketimbang kolektivistik
(Lonner, 1990).
Menurut para pengkritiknya, faham individualistik mengingkari fitrah
manusia bahwa manusia hidup tidak bisa lepas dari orang lain. Manusia hidup
selalu dalam kelompok, apakah besar ataukah kecil. Sebagian ilmuwan sosial
yakin bahwa problem di kultur Barat semakin banyak lantaran penekanannya pada
individualisme. Tingkat bunuh diri, penyalahgunaan obat, kejahatan, kehamilan
remaja, perceraian, pelecehan anak dan gangguan mental, adalah beberapa masalah
sosial di Barat. (Triandis, 1994, 2000).
Perbedaan dua kultur di atas akan mempengaruhi dalam pola belajar di
sekolah, antara guru dan siswa. Triandis, Brislin dan Hui (1998) memberikan
strategi bahwa jika guru seorang individualis sedangkan siswanya berkultur
kolektivitas maka ada hal yang perlu dilakukan :
1.
Lebih banyak memperhatikan pada
keanggotaan kelompok.
2.
Lebih menekankan pada kerja sama
ketimbang kompetisi.
3.
Jika guru mau melakukan kritik,
harus dengan hati-hati.
4.
Pupuk hubungan jangka panjang.
Bagaimana jika kondisi sebaliknya, gurunya cenderung kolektivitas
sedangkan siswanya indivdualis? Masih menurut tiga ilmuwan tersebut, jika kondisinya
terjadi seperti itu maka :
1.
Beri pujian kepada orang
tersebut dengan lebih banyak ketimbang pujian yang biasa guru berikan dalam
kulturnya.
2.
Jangan merasa terancam jika
orang individualis bertindak secara kompetitif.
3.
Tidak masalah membicarakan
prestasi guru dan tidak merendahkan diri, tetapi juga jangan sombong.
4.
Sadari bahwa individualis tidak
menghargai kesetiaan kelompok.
- STATUS SOSIO EKONOMI
Status sosial ekonomi
(SES) adalah pengelompokan orang berdasarkan karakteristik ekonomi (kekayaan
dan kepemilikan materi), individual dan pekerjaannya. Dalam konteks pendidikan, tingkat SES sebuah
masyarakat mengandung kesenjangan. Individu dari SES yang rendah seringkali
kurang pendidikannya, kurang kuat untuk mempengaruhi institusi masyarakat,
seperti sekolah, dan hanya sedikit punya sumber daya ekonomi.
Anak-anak dari keluarga miskin sering menghadapi problem di rumah dan
di sekolah sehingga mengganggu proses belajar mereka. Di rumah orangtua mereka
relatif tidak menentapkan standar pendidikan yang tinggi untuk anak, tidak
mampu membantu belajar membaca, dan tidak punya cukup uang untuk membayar biaya
pendidikan.
Sekolah anak miskin seringkali hanya punya sedikit sumber daya
ketimbang sekolah yang muridnya kebanyakan orang kaya. Sekolah area miskin
biasanya hasil nilai ujiannya rendah, tingkat lulusan yang lebih rendah,
termasuk jumlah yang masuk ke perguruan tinggi sedikit. Guru-guru yang
mengajarnya juga kurang berpengalaman. Pendeknya, sekolah miskin tidak kondusif
untuk pembelajaran yang efektif.
Benarkah demikian? Ada sebuah penelitian menarik dari Jonathan Kozol
(1991). Ia meneliti problem yang dihadapi anak miskin di lingkungan dan
sekolahnya di kawasan kota St. Louis Illinois, dimana penduduknya 98 persen
adalah orang Afrika-Amerika. Kondisi
sarana kota ini sangat minim untuk melayani penduduknya. Namun uniknya, Kozol
mengatakan walaupun anak-anak dari kawasan kumuh dan sekolah miskin, namun
anak-anak dan keluarganya memiliki kekuatan dan keberanian. Orangtua mereka
berusaha keras untuk mendapatkan guru yang lebih efektif dan kesempatan yang
lebih baik bagi anak-anaknya.
- STRATEGI MENGAJAR TERHADAP ANAK MISKIN
- Tingkatkan keahlian atau ketrampilan berfikir
- Jangan terlampau disiplin
- Prioritaskan untuk memotivasi siswa
- Cari cara untuk membantu orang lain
- Cari cara untuk melibatkan orang berbakat dari komunitas miskin tersebut.
- Jangan buat ketegangan antara anak miskin dan kurang mampu.
- Gunakan mentoring.
- Perhatikan kekuatan anak dari keluarga miskin.
- ETNIS
Kata ethic dari
bahasa Yunani artinya bangsa. Etnisitas (etnicity) adalah pola umum
karakteristik seprti warisan kultural, nasionalitas, ras, agama dan bahasa.
Istilah ras (race), yang kini didiskreditkan sebagai konsep biologis adalah
klarifikasi orang atau makhluk hidup lainnya berdasarkan karakteristik
psikologis tertentu. Namun kini kata ras telah dipakai secara longgar untuk
segala sesuatu mulai dari adat, agama, sampai warna kulit.
Secara psikologi sosial,
James Jones (1994, 1997), menunjukkan bahwa pemikiran dari segi ras telah
melekat di setiap kultur. Dia mengatakan bahwa orang sering “menstereotipkan”
orang lain berdasarkan alasan ras dan secara keliru mengklasifikasikan mereka
sebagai ras yang kurang atau lebih cerdas, kompeten, bertanggung jawab atau
kurang bisa menerima secara sosial.
- ETNISITAS DAN SEKOLAH
Segregasi pendidikan masih menjadi kenyataan
bagi anak-anak kulit berwarna di Amerika (Buck, 2002, Simons, Finlay dan Yang,
1991). Pengalaman sekolah murid dari kelompok etnis yang berbeda juga berbeda
satu sama lain (Reid dan Zalk, 2001; Yeakey dan Henderson, 2002). Misalnya,
murid Afrika-Amerika dan Latino sedikit kemungkinannya ketimbang murid kulit
putih non-Latino dan Asia-Amerika untuk masuk ke akademik, perguruan tinggi.
Murid Asia-Amerika dianggap lebih berhasil dalam bidang matematika dan sains
daripada murida dari etnis minoritas lainnya.
Murid Afrika- Amerika dua
kali lebih besar kemungkinannya dikeluarkan dari sekolah dibandingkan murid
dari Latino, Indian atau kulit putih. Etnis minoritas dari kulit berwarna
merupakan bagian terbesar dalam 23 dari 25 sekolah distrik di Amerika Serikat.
Tren ini cenderung meningkat (Banks, 1995). Akan tetapi 90 persen guru di
sekolah Amerika adalah dari kalangan kulit putih non latino.
- PRASANGKA, DISKRIMINASI DAN BIAS PRASANGKA.
Prasangka adalah sikap
negatif yang tidak adil terhadap orang lain karena keanggotaan individu itu
dalam satu kelompok. Kelompok yang menjadi sasaran prasangka mungkin
didefinisikan berdasarkan etnis, jenis kelamin, atau perbedaan lain yang
melihat (Monteith, 2000).
Orang yang menentang
prasangka dan diskriminasi sering punya pandangan yang sangat berbeda. Disatu
sisi ada individu yang menghargai langkah-langkah yang memperjuangkan hak-hak
sipil belakangan ini. Di sisi lain ada individu yang mengkritik sekolah Amerika
dan institusi lain karena mereka percaya bahwa berbagai bentuk diskriminasi dan
prasangka masih eksis di lembaga-lembaga tersebut (Jackson, 1997; Murrell,
2000).
Antropolog Amerika John
Ogbu (1989; Ogbu dan Stren, 2001) mengemukakan, pandangan bahwa murid dari
etnis minoritas masih menempatkan dalam posisi subordinat dan dieksplotasi di
dalam sistem pendidikan Amerika. Dia percaya bahwa murid kulit berwarna,
terutama Afrika-Amerika dan Latino hanya mendapatkan sedikit kesempatan
memperoleh pendidikan yang lebih baik, diajar oleh gurunya dan staf sekolah
yang kurang bermutu dan menghadapi stereotip negatif yang dikenakan pada
kelompok etnis minoritas.
Psikolog pendidikan
Margaret Beale Spencer (Spencer dan Dornbusch, 1990) percaya bahwa bentuk
rasisme institusional masih banyak terjadi di sekolah Amerika. Karena itu, guru
yang sebenarnya baik menjadi tidak bisa mengajak murid kulit berwarna untuk
berprestasi. Guru ini secara tidak sadar menganggap bahwa anak-anak minoritas
itu memang prestasinya tidak mungkin tinggi, dan karenanya tidak mengutamakan
standar akademik yang tinggi bagi mereka.
- DIVERSITAS DAN PERBEDAAN
Pengalaman historis,
ekonomi dan sosial telah melahirkan prasangka dan perbedaan antar kelompok
etnis. Individu yang tinggal dalam kelompok etnis atau kultural tertentu
menyesuaikan diri dengan nilai, sikap dan tekanan dari kultur tersebut.
Perilaku mereka mungkin berbeda di antara mereka, tetapi bersifat fungsional
buat mereka. Mengakui dan menghargai perbedaan ini merupakan aspek penting
untuk berhubungan baik dengan dunia yang multi kultural dan beragam (Spencer,
2000).
Sayangnya, seringkali
penekanan lebih diarahkan pada perbedaan antara etnis minoritas dengan
mayoritas kulit putih. Penekanan ini lebih membahayakan individu kalangan
minoritas. Semua perbedaan ini dianggap sebagai semacam kekurangan atau
karakteristik inferior di pihak kelompok entis minoritas (Meece dan
Kurtz-Costes, 2001).
- PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Pendidikan multikultural
adalah pendididikan yang mengharagai perbedaan dan mewadahi beragam perspektif
dari berbagai kelompok kultural. Tujuan penting dari pendidikan ini adalah
pemerataan kesempatan bagi semua murid. Ini termasuk mempersempit gap dalam
prestasi akademik antara murid kelompok utama dengan murid kelompok minoritas
(Bennett, 2003; Pang, 2001; Schmidt dan Mosenthal, 2001).
Pendidikan multi kultural
muncul dari hak-hak gerakan sipil pada
tahun 1960-an sebagai gerakan pemerataan kesetaraan dan keadilan sosial dalam
masyarakat untuk wanita serta orang kulit berwarna. Sebagai sebuah bidang,
pendidikan multikultural mencakup isu-isu yang berkaitan dengan status
sosio-ekonomi, etnisitas dan gender. Karena keadilan sosial adalah suatu nilai
dasar dari bidang ini, maka reduksi
prasangka dan pedagogi ekuitas menjadi komponen utamanya (Banks, 2001). Reduksi
prasangka adalah aktivitas yang dimplementasikan guru di kelas untuk
mengeliminasi pandangan negatif dan stereotip terhadap orang lain. Pedagogi
ekuitas adalah modifikasi proses pengajaran dengan memasukkan materi dan strategi
pembelajaran yang tepat baik itu untuk anak lelaki maupun perempuan dan untuk
semua kelompok etnik.
- MEMBERDAYAKAN MURID
Istilah pemberdayaan (empowerment)
berarti memberi orang kemampuan intelektual dan ketrampilan memecahkan masalah
agar berhasil dan menciptakan dunia yang lebih adil.
Pada tahun 1960-an sampai
1980-an pendidikan multikultural dititikberatkan pada usaha memberdayakan murid
dan memperbaiki representasi kelompok minoritas dan kultural dalam kurikulum
dan bahan ajar (Schmidt, 2001). Menurut pandangan ini, sekolah harus memberi
murid kesempatan untuk belajar tentang pengalaman, perjuangan dan visi dari
berbagai kelompok kultural dan etnis yang berbeda-beda (Banks, 2001, 2002,
2003). Harapannya hal ini akan meningkatkan rasa harga diri minoritas,
mengurangi prasangka dan memberikan kesempatan pendidikan yang lebih setara.
Harapan lainnya akan membantu murid kulit putih menjadi lebih toleran kepada
kelompok minoritas.
Pengajaran yang relevan
secara kultural adalah aspek penting dari pendidikan multikultural (Gay, 2000;
Irvine & Armento, 2001). Pengajaran
ini dimaksudkan untuk menjalin hubungan dengan latarbelakang kultur dari
pelajar (Pang, 2001).
Pakar pendidikan
multikultural percaya bahwa guru yang baik akan mengetahui dan mengintegrasikan
pengajaran yang relevan secara kultural ke dalam kurikulum karena akan membuat
pengajaran akan lebih efektif (Diaz, 2001). Beberapa penelitian menemukan bahwa
murid dari kelompok yang sama dengan cara yang membuat beberapa tugas
pendidikan menjadi sulit.
Jackie Irvine (1990) dan
Janice Hale Benson (1982) mengamati bahwa murid Afrika-Amerika sering lebih
ekspresif dan semangat besar. Murid jenis ini diberikan mereka untuk presentasi
daripada ujian tulis. Sementara murid dari Asia-Amerika lebih menyukai pembelajaran
visual ketimbang anak Eropa-Amerika (Litton, 1999; Park, 1997). Jadi murid
seperti ini guru bisa menggunakan model tiga dimensional, grafik, foto, diagram
dan tulisan di papan tulis.
- PENDIDIKAN BERPUSAT PADA ISU
Pendidikan yang berpusat
pada isu merupakan aspek penting dari pendidikan multikultural. Dalam
pendekatan ini, murid diajari secara sistematis untuk mengkaji isu-isu yang
berkaitan dengan kesetaraan dan keadilan sosial. Pendidikan ini tidak hanya
mengklarifikasi nilai, tetapi juga mengkaji alternatif dan konsekuensi dari
pandangan tertentu yang dianut murid. Pendidikan yang berpusat pada isu terkait
erat dengan pendidikan moral.
Sebuah studi komprehensif
terhadap lebih dari 5000 anak grade lima dan 4000 anak grade sepuluh
mengungkapkan bahwa proyek kurikulum multi etnis yang difokuskan pada isu
etnis, kelompok kerja campuran, serta guru dan staf sekolah pendukung, telah
membantu memperbaiki hubungan antar-etnis di kalangan murid (Forehand, Ragosta
dan Rock, 1976).
Untuk memahami perspektif
yang berbeda, murid harus dibiasakan untuk mempelajari orang dari sisi yang
berbeda. Murid yang belajar berfikir kritis tentang relasi antar-etnis
kemungkinan akan berkurang prasangkanya dan tidak lagi menstereotipkan orang
lain.
Intelegensi emosional bermanfaat
bagi hubungan antar-etnis. Orang yang memiliki kecerdasan ini berarti mempunyai
kesadaran diri tentang emosi, mengelola emosi dan menangani hubungan.
- MENGURANGI BIAS
Louis Derman-Sparks dan
Anti Bias Curriculum Task Force (1989) menciptkan sejumlah alat untuk membantu
anak mengurangi, mengelola atau bahkan mengeleminasi bias. Pendukungnya
berpendapat bawah kendati perbedaan itu baik, namun diskriminasi bukan sesuatu
yang baik. Beberapa strategi antibias untuk guru adalah :
- Ciptakan lingkungan kelas anti bias dengan memasang gambar anak-anak dari berbagai latarbelakang etnis dan kultural.
- Piliha materi drama, seni dan aktivitas kelas yang memperkaya pemahaman etnis dan kultural.
- Gunakan boneka pesona untuk anak kecil. Enam belas boneka mewakilik latarbelakang yang berbeda.
- Lakukan dialog guru dan orangtua tentang masing-masing pandangan.
- Bantu murid menolak stereotip dan diskriminasi.
- MENINGKATKAN TOLERANSI
Teaching tolerance
project menyediakan sumber daya dan materi kepada sekolah untuk meningkatkan
pemahaman antarkultur dan hubungan antara anak kulit putih dan kulit berwarna
(Heller dan Hawkins, 1994). Psikiater dari Yale, James Comer (1988; Comer,
dkk., 1996) percaya bahwa tim komunitas merupakan cara terbaik untuk mendidik
anak. Ada tiga aspek penting dari Comer Project yaitu : (1) pemerintah dan tim
manajemen yang mengembangkan rencana sekolah yang komprehensif, penilaian
strategis dan program pengembangan staf; (2) tim pendukung sekolah dan
kesehatan mental; dan (3) program orang tua (Goldberg, 1997).
Program Comer menekankan
pendekatan no-fault (yakni fokus pada pemecahan masalah, bukan saling
menyalahkan), tidak ada keputusan kecuali konsensus. Comer percaya bahwa
seluruh komunitas sekolah harus kooperatif bukan bersikap saling bermusuhan.
Program ini belakangan dijalankan di lebih 6000 sekolah di 82 distrik di 26
negara bagian.
Salah satu sekolah
pertama yang mengimplementasikan program Comer adalah SD Martin Luhter King, Jr
du New Haven, Connecticut. Pada awalnya
program ini diterapkan nilai para siswa tertinggal dalam beberapa mata
pelajaran seperti bahasa dan matematika. Namun setelah sepuluh tahun, nilai
mereka mulai sama dengan nilai standar nasional dan setelah lima belas tahun
nilainya di atas standar. Meskipun tidak ada perubahan sosioekonomi warga yang
dihuni Afrika-Amerika dan miskin ini, tingkat bolos sekolah menurun dratis,
problem perilaku berkurang banyak, partisipasi orangtua meningkat dan tidak ada
lagi staf yang tidak betah.
- PROBLEM MULTIKULTURAL
Beberapa pendidik menentang
penekanan pada pemberian informasi tentang kelompok etnis yang berbeda melalui
kurikulum sekolah. Mereka juga menenatang pendidikan etnosentris yang
menekankan pada kelompok minoritas non-Kulit Putih. Dalam salah satu proposal,
Arthur Schlesinger (1991) mengatakan, semua murid seharusnya diajari
seperangkat nilai inti, yang menurutnya berasal dari tradisi Anglo-Protestan
Kulit Putih. Nilai-nilai inti mencakup saling menghargai hak individu dan
toleransi pada perbedaan. Nilai tersebut juga terdapat di semua agama dan
etnis. E.D Hirsch (1987), menekankan agar semua murid diajarkan inti
pengetahuan kultural agar mereka melek budaya.
Pakar pendidikan multikultural James Branks
(2001) memberikan strategi dalam pengajaran multikultural :
- Waspadalah terhadap isi rasis dalam materi pelajaran dan interaksi di kelas.
- Pelajari lebih banyak tentang kelompok etnis yang berbeda-beda.
- Peka terhadap sikap etnis murid dan jangan menerima keyakinan bahwa anak tidak melihat perbedaan warna kulit.
- Gunakan buku, film, video dan rekaman untuk menggambarkan perspektif etnis.
- Bersikaplah peka terhadap perkembangan kebutuhan murid Anda ketika memilih materi kultural.
- PERSAMAAN GENDER
Sajak J.O Halliwell abad ke-19 :
Dari apakah anak laki-laki
diciptakan?
Kodok dan siput serta seekor
anjing kecil
Dari apakah gadis kecil
diciptakan?
Gula dan rempah serta semua hal
yang manis-manis.
Gender adalah dimensi
sosiokultural dan psikologis dari pria dan wanita. Istilah gender dibedakan
dari istilah jenis kelamin (seks), karena hal itu berhubungan dengan dimensi
biologis. Peran gender (gender role) adalah ekspektasi sosial yang merumuskan
bagaimana pria dan wanita seharusnya berfikir, merasa dan berbuat.
Ada beragam pendapat
tentang perkembangan gender. Yakni padangan biologis, sosialisasi dan pandangan
kognitif. Pandangan biologis berpendapat, memperlakukan pria dan wanita karena
jenis kelamin yang berbeda. Pada diri laku-laki ada hormon seks androgen yang
mempengaruhi pada fungsi otak dan perilaku yang agresif hingga kepada perubahan
fisik pria seperti punya otot yang kuat. Disisi lain, otak wanita (corpus
collosum-serat masif yang menghubungkan dua belah otak), lebih besar daripada pria sehingga lebih
menyadari emosi dirinya dan orang lain daripada pria.
Sedangkan pandangan
sosialisai terdapat dua teori di dalamnya yakni teori psikoanalitik gender dan
teori kognitif sosial gender. Teori pertama dari pandangan Sigmund Frued bahwa
anak-anak pra sekolah mengembangkan ketertarikan seksual kepada orangtuanya
yang berjenis kelamin berbeda dengan dirinya. Sekitar umur lima hingga enam
tahun , anak mengurangi ketertarikan ini karena perasaan gelisah. Anak kemudian
mengidentifikasi dirinya dengan orangtua yang sesuai jenis kelaminnya. Kendati
teori ini dibantah karena anak sadar gender ketika sudah berusia lima tahun.
Sementara teori kognitif
sosial gender menekankan bahwa perkembangan gender anak terjadi melalui
pengamatan dan peniruan perilaku gender serta melalui penguatan dan hukuman
terhadap perilaku gender. Banyak orangtua mendorong anak gadis dan lelakinya
untuk melakukan jenis permainan dan aktivitas yang berbeda (Lott dan Maluso,
2001).
Pandangan kognitif
terhadap gender ada dua pendapat yaitu teori perkembangan kognitif dan teori
skema gender. Teori perkembangan kognitif menyatakan bahwa anak mengadopsi
suatu gender setelah mereka mengembangkan konsep gender, setelah sadar bahwa
dirinya laki-laki dan perempuan. Teori ini dikembangkan oleh Lawrence
Kohlberg.
Teori skema gender
berpendapat bahwa perhatian dan perilaku individu dituntun oleh motivasi
internal untuk menyesuaikan diri dengan standar sosiokultural berbasis gender
dan stereotip gender. Anak siap memahami dan menata informasi berdasarkan apa
yang dianggap tepat bagi pria dan wanita dalam suatu masyarakat (Rodgers,
2000).
Perbedaan gender tersebut
sering menimbulkan negatif prasangka dan diskriminasi. Sexisme (sexism) adalah prasangka dan diskriminasi terhadap
individu karena jenis kelamin seseorang. Misalnya seorang wanita tidak bisa
menjadi insiyur. (*)
- PENUTUP
Keragaman sosial dalam
masyarakat secara langsung akan berdampak pada masalah pendidikan kepada anak.
Warga Amerika yang memiliki heterogenitas sosial yang kompleks pada awal
perkembangan pendidikan cukup berat menghadapi problem diskiriminasi sosial
dalam mendidik anak. Namun kendala itu bisa diatasi melalui pendekatan sosia,
psikologis dan politik, antara anak dan guru, sekolah dan orang tua, negara dan
sekolah melalui diskusi, penelitian, program dan kebijakan.
Strategi dan program
untuk sekolah tetap memperhatikan karakteristik warga sekolah, termasuk
psikologis anak. Kurikulum yang dirancang juga harus memperhatikan
multikultural anak didik, baik secara etnis, ras maupun gender. Sehingga proses
pendidikan bisa berjalan dengan baik, nyaman dan terarah bagi semua pihak.