UJI NYALI CALON KEPALA SEKOLAH
oleh :
Deny Rochman, S.Sos.,M.Pd.I
Guru-guru SMP Ne geri di Kota Cirebon di bulan Ramadhan
ini akan mengikuti seleksi calon kepala sekolah (cakep). Mereka yang memilih
ikut proses seleksi benar-benar punya nyali. Padahal calon kepala sekolah itu
sudah ada yang akan mengisi kekosongan kursi kepala sekolah yang akan pensiun.
Lalu apa yang menjadi pertimbangan panitia seleksi dalam memutuskan siapa guru
yang memenuhi kriteria kepantasan sebagai kepala sekolah yang baru?
Menjadi
kepala sekolah merupakan hak semua guru, untuk berada pada salah satu karir puncak
profesi. Sayangnya tak semua guru memiliki kesempatan yang sama. Ada syarat dan
ketentuan berlaku untuk menjadi kepala sekolah. Ada syarat tertulis tetapi ada
juga syarat tidak tertulis. Dua syarat inilah seringkali membuat langkah guru-guru
terhenti mencalonkan diri. Hingga penutupan terdaftar sekitar 15 guru peserta cakep,
dari jumlah 18 SMP Negeri.
Ketentuan
tertulis terlihat pada Surat Edaran Dinas Pendidikan Kota Cirebon tertanggal 8
Juni 2017. Surat tentang Seleksi Cakep SMP Negeri itu menyebutkan persyaratan
umum dan persyaratan administatif. Ketentuan secara detail tertuang dalam Permendiknas
No. 28 Tahun 2010 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah/Madrasah. Namun
kendati mudah secara kriteria aturan, tetapi tetap sedikit guru yang berminat.
TERBELENGGU
Ada
aturan yang kerap memblenggu guru. Guru cakep minimal golongan III.c memiliki pendidikan
paling rendah sarjana (S1) atau diploma empat (D-IV) perguruan tinggi terakreditasi.
Faktanya banyak yang berpendapat jika kepala sekolah minimal golongan IV.a
dengan pendidikan minimal magister (S2). Alasannya secara etis kepangkatan seorang
pimpinan harus lebih tinggi dari bawahannya.
Pendapat
tersebut tidak salah jika mengacu pada Pasal 7 ayat (2) Undang-undang No. 8
Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Namun dalil itu gugur dengan
terbitnya UU No. 43 Tahun 1999 tentang merevisi UU sebelumnya. Dalam penjelasan,
pembinaan PNS dilakukan berdasarkan sistem prestasi kerja. Artinya pengangkatan
dalam jabatan didasarkan pada sistem prestasi kerja atas penilaian obyektif dan
selektif terhadap prestasi, kompetensi dan pelatihan PNS.
Anehnya
UU No. 43 Tahun 1999 itu masih overlaping dengan PP No. 12 Tahun 2012. Dalam PP
mengatur Kenaikan Pangkat PNS tersebut serupa dengan UU Kepegawaian lama pasal
7 ayat (2). Dijelaskan bahwa PNS pangkat rendah tak bisa membawahi PNS berpangkat
lebih tinggi. Dengan adanya dualisme hukum ini bisa jadi implementasinya setiap
daerah akan berbeda-beda. Kendati dalam hirarki hukum posisi UU lebih tinggi daripada
PP.
Di
banyak tempat di negeri ini kepala sekolah tidak sekolah diangkat dalam posisi
golongan minimal IVa. Ada daerah yang menangkat kepada sekolah pada saat
golongannya III.c, sesuai standar minimal aturan. Ada juga golongan III.b bahkan
III.a sudah ditetapkan sebagai kepala sekolah. Alasannya ketiadaan guru tidak
mau jadi kepala sekolah atau karena sekolahnya baru berdiri. Otoritas otonomi
daerah selalu menjadi landasan lahirnya perbedaan kebijakan tersebut. Kendati sejatinya
otda tidak menjadi pembenaran menabrak aturan nasional.
Faktor
lain yang membelenggu guru ikut seleksi cakep adalah rumor adanya praktek tidak
sehat dalam proses seleksi. Sejumlah kebijakan tidak tertulis menggeser
ketentuan hukum tertulis. Celakanya keputusan akhir seleksi cakep dikhawatirkan
dipengaruhi kekuatan lain, diluar ketentuan yang sudah sah. Jika sudah
demikian, maka selama bekerja cakep terpilih akan selalu dibawah bayang-bayang
sponsor yang menyalonkannya.
TANTANGAN
Tantangan
pendidikan di Kota Cirebon metropolitan ke depan makin berat, maka Pemda kota sudah
harus melahirkan para kepala sekolah profesional. Kepala sekolah yang dipilih tidak
lagi karena alasan lain diluar aturan, tetapi karena alasan kekuatan integritas.
Kepala sekolah yang memiliki integritas akan melesatkan pendidikan bermutu di kota
ini. Memiliki integritas intelektual, sosial dan moral.
Dengan
kekuatan integritas intelektual, kepala sekolah akan mampu menyusun program pendidikan
bermutu. Dengan integritas sosial, kepala sekolah bisa membangun network pendidikan
lintas kota, daerah, pulau bahkan lintas negara. Dengan integritas moral,
kepala sekolah mampu mengontrol diri dari pengaruh dari dalam maupun luar
dirinya dari tekanan berbuat melanggar aturan.
Dalam
konteks profesionalisme, maka sudah tidak relevan memperdebatkan pengangkatan
kepala sekolah dari sisi usia, golongan atau masa pengabdian. Apalagi jika hanya
berpaku pada kekuatan modal yang justeru akan merusak tatanan sosial. Prestasi kinerja
kini menjadi spirit birokrasi sebagai variabel mereformasi sistem yang
tertinggal dari bangsa lain. Pilihannya, aspek pengabdian dan prestasi bisa menjadi
kriteria yang saling melengkapi.
Melahirkan
kepala sekolah super, harus melalui proses seleksi yang obyektif, transparan
dan selektif. Penilaian tidak hanya berpaku pada kelengkapan administrasi, tes
tertulis, presentasi dan wawancara. Menelusuri rekam jejak (track record) calon merupakan bagian
penting yang tak terpisahkan dari penilaian. Baca curriculum vitae calon, lihat
dokumen pendukung dan konfirmasi kepada orang-orang yang me-recommended.
Keterlibatan
antar calon dalam diskusi permasalahan pendidikan bisa menjadi instrumen penilaian
kompetensi calon. Dengan beragam instrumen tersebut, diharapkan kompetensi
calon bisa dipotret secara utuh. Baik kompetensi kepribadian, manajerial,
kewirausahaan, supervisi maupun kompetensi sosial, sesuai Permendiknas No. 28
Tahun 2010.
Jika
alur di atas belum bisa dilalui, maka kita masih sulit bermimpi pendidikan di
kota ini akan membaik. Jika bermimpi saja sudah sulit, apalagi mewujudkannya. Tapi
para calon ta perlu galau siapa yang terpilih nanti. Karena calon kepala sekolah
itu sudah ada, yang belum adalah nama-nama pengisinya. Nah, panitia seleksi
akan memilih nama calon jadi setelah seleksi 19 – 20 Juni 2017. Semoga spirit Ramadhan
membuat seleksi ini lebih sejuk. Aamiin.(*)
*) Penulis adalah
Peserta Seleksi Calon Kepala Sekolah asal SMP Negeri 4 Kota Cirebon