Juni 15, 2017

UJI NYALI CALON KEPALA SEKOLAH

oleh :
Deny Rochman, S.Sos.,M.Pd.I

Guru-guru SMP Ne geri di Kota Cirebon di bulan Ramadhan ini akan mengikuti seleksi calon kepala sekolah (cakep). Mereka yang memilih ikut proses seleksi benar-benar punya nyali. Padahal calon kepala sekolah itu sudah ada yang akan mengisi kekosongan kursi kepala sekolah yang akan pensiun. Lalu apa yang menjadi pertimbangan panitia seleksi dalam memutuskan siapa guru yang memenuhi kriteria kepantasan sebagai kepala sekolah yang baru?

Menjadi kepala sekolah merupakan hak semua guru, untuk berada pada salah satu karir puncak profesi. Sayangnya tak semua guru memiliki kesempatan yang sama. Ada syarat dan ketentuan berlaku untuk menjadi kepala sekolah. Ada syarat tertulis tetapi ada juga syarat tidak tertulis. Dua syarat inilah seringkali membuat langkah guru-guru terhenti mencalonkan diri. Hingga penutupan terdaftar sekitar 15 guru peserta cakep, dari jumlah 18 SMP Negeri.

Ketentuan tertulis terlihat pada Surat Edaran Dinas Pendidikan Kota Cirebon tertanggal 8 Juni 2017. Surat tentang Seleksi Cakep SMP Negeri itu menyebutkan persyaratan umum dan persyaratan administatif. Ketentuan secara detail tertuang dalam Permendiknas No. 28 Tahun 2010 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah/Madrasah. Namun kendati mudah secara kriteria aturan, tetapi tetap sedikit guru yang berminat.

TERBELENGGU
Ada aturan yang kerap memblenggu guru. Guru cakep minimal golongan III.c memiliki pendidikan paling rendah sarjana (S1) atau diploma empat (D-IV) perguruan tinggi terakreditasi. Faktanya banyak yang berpendapat jika kepala sekolah minimal golongan IV.a dengan pendidikan minimal magister (S2). Alasannya secara etis kepangkatan seorang pimpinan harus lebih tinggi dari bawahannya.

Pendapat tersebut tidak salah jika mengacu pada Pasal 7 ayat (2) Undang-undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Namun dalil itu gugur dengan terbitnya UU No. 43 Tahun 1999 tentang merevisi UU sebelumnya. Dalam penjelasan, pembinaan PNS dilakukan berdasarkan sistem prestasi kerja. Artinya pengangkatan dalam jabatan didasarkan pada sistem prestasi kerja atas penilaian obyektif dan selektif terhadap prestasi, kompetensi dan pelatihan PNS.

Anehnya UU No. 43 Tahun 1999 itu masih overlaping dengan PP No. 12 Tahun 2012. Dalam PP mengatur Kenaikan Pangkat PNS tersebut serupa dengan UU Kepegawaian lama pasal 7 ayat (2). Dijelaskan bahwa PNS pangkat rendah tak bisa membawahi PNS berpangkat lebih tinggi. Dengan adanya dualisme hukum ini bisa jadi implementasinya setiap daerah akan berbeda-beda. Kendati dalam hirarki hukum posisi UU lebih tinggi daripada PP.

Di banyak tempat di negeri ini kepala sekolah tidak sekolah diangkat dalam posisi golongan minimal IVa. Ada daerah yang menangkat kepada sekolah pada saat golongannya III.c, sesuai standar minimal aturan. Ada juga golongan III.b bahkan III.a sudah ditetapkan sebagai kepala sekolah. Alasannya ketiadaan guru tidak mau jadi kepala sekolah atau karena sekolahnya baru berdiri. Otoritas otonomi daerah selalu menjadi landasan lahirnya perbedaan kebijakan tersebut. Kendati sejatinya otda tidak menjadi pembenaran menabrak aturan nasional.

Faktor lain yang membelenggu guru ikut seleksi cakep adalah rumor adanya praktek tidak sehat dalam proses seleksi. Sejumlah kebijakan tidak tertulis menggeser ketentuan hukum tertulis. Celakanya keputusan akhir seleksi cakep dikhawatirkan dipengaruhi kekuatan lain, diluar ketentuan yang sudah sah. Jika sudah demikian, maka selama bekerja cakep terpilih akan selalu dibawah bayang-bayang sponsor yang menyalonkannya.

TANTANGAN
Tantangan pendidikan di Kota Cirebon metropolitan ke depan makin berat, maka Pemda kota sudah harus melahirkan para kepala sekolah profesional. Kepala sekolah yang dipilih tidak lagi karena alasan lain diluar aturan, tetapi karena alasan kekuatan integritas. Kepala sekolah yang memiliki integritas akan melesatkan pendidikan bermutu di kota ini. Memiliki integritas intelektual, sosial dan moral.

Dengan kekuatan integritas intelektual, kepala sekolah akan mampu menyusun program pendidikan bermutu. Dengan integritas sosial, kepala sekolah bisa membangun network pendidikan lintas kota, daerah, pulau bahkan lintas negara. Dengan integritas moral, kepala sekolah mampu mengontrol diri dari pengaruh dari dalam maupun luar dirinya dari tekanan berbuat melanggar aturan.

Dalam konteks profesionalisme, maka sudah tidak relevan memperdebatkan pengangkatan kepala sekolah dari sisi usia, golongan atau masa pengabdian. Apalagi jika hanya berpaku pada kekuatan modal yang justeru akan merusak tatanan sosial. Prestasi kinerja kini menjadi spirit birokrasi sebagai variabel mereformasi sistem yang tertinggal dari bangsa lain. Pilihannya, aspek pengabdian dan prestasi bisa menjadi kriteria yang saling melengkapi.

Melahirkan kepala sekolah super, harus melalui proses seleksi yang obyektif, transparan dan selektif. Penilaian tidak hanya berpaku pada kelengkapan administrasi, tes tertulis, presentasi dan wawancara. Menelusuri rekam jejak (track record) calon merupakan bagian penting yang tak terpisahkan dari penilaian. Baca curriculum vitae calon, lihat dokumen pendukung dan konfirmasi kepada orang-orang yang me-recommended.

Keterlibatan antar calon dalam diskusi permasalahan pendidikan bisa menjadi instrumen penilaian kompetensi calon. Dengan beragam instrumen tersebut, diharapkan kompetensi calon bisa dipotret secara utuh. Baik kompetensi kepribadian, manajerial, kewirausahaan, supervisi maupun kompetensi sosial, sesuai Permendiknas No. 28 Tahun 2010.

Jika alur di atas belum bisa dilalui, maka kita masih sulit bermimpi pendidikan di kota ini akan membaik. Jika bermimpi saja sudah sulit, apalagi mewujudkannya. Tapi para calon ta perlu galau siapa yang terpilih nanti. Karena calon kepala sekolah itu sudah ada, yang belum adalah nama-nama pengisinya. Nah, panitia seleksi akan memilih nama calon jadi setelah seleksi 19 – 20 Juni 2017. Semoga spirit Ramadhan membuat seleksi ini lebih sejuk. Aamiin.(*)

*) Penulis adalah Peserta Seleksi Calon Kepala Sekolah asal SMP Negeri 4 Kota Cirebon