Oleh :
Deny Rochman
Factor yang mendukung strategi pencapaian GLS melalui program WJLRC
antara lain komitmen (commitment), kompetensi (competency),
komunikasi (communication), kerja tim (team work)dan pengawasan (control).
Apabila factor-faktor tersebut tidak berjalan beriringan akan berdampak kurang
maksimalnya pencapaian tujuan men-sakaw-kan literasi di Jawa Barat.
1.
Komitmen
Menjalankan sebuah
program, apalagi baru diperlukan komitmen bagi bagi pelakunya. Komitmen itu adalah
janji. Janji baik pada diri sendiri, maupun kepada orang lain yang tercermin dalam
tindakan. Kendati komitmen ini mudah diucap namun tak mudah untuk dipenuhi. Disinilah
seorang kader literasi diuji integritasnya dalam menghadapi tantangan dan
hambatan dalam proses implementasi program di lapangan.
Jani literasi yang
diucap oleh peserta workshop, baik guru penggerak maupun guru sekolah perintis
merupakan bentuk janji yang wajib dipenuhi. Janji adalah hutang yang harus
dibayar hingga tuntas, menjadi bagian konsekuensi bagi mereka yang sudah
menceburkan diri dalam gerakan ini. Tentu ini bagi banyak orang menjadi beban,
tetapi sebagian orang ini bagian dari lading amal karena pejuang literasi
adalah mujahidin yang berjihad demi peradaban yang lebih baik lagi.
Di banyak tempat
sekolah yang dianggap berhasil menjalankan program WJLRC lebih dipengaruhi factor
komitmen daripada dukungan sistem. Dukungan sistem berupa kebijakan kepala
sekolah atau bahkan kepada Dinas Pendidikan dan kepala daerah setempat berkat
karena komitmen dari kader literasi yang mampu membangun komunikasi dengan
stakeholder.
Mereka yang belum
mendapat dukungan poitik dari penguasa selama masih memiliki idealisme dan
komitmen masih mampu menjalankan program literasi di tempat ia bekerja. Tingkat
komitmen tersebut akan mementukan dinamika gerakan, apakah progresif, statis
atau regresif.
2.
Kompetensi
Tentu kita
sepakat. Apapun jenis pekerjaannya dan siapapun yang mengerjakannya jika dilakukan
secara sungguh-sungguh dan professional maka akan menghasilkan sesuatu yang maksimal,
memuaskan. Demikian juga dalam menjalankan program literasi ini diperlukan
orang-orang di dalamnya yang memiliki kompetensi di bidangnya. Tidak harus
mereka guru bahasa Indonesia, jika tidak memiliki komitmen dan integritas
membudayakan literasi di masyarakat sekolah.
Kompetensi dipahami
sebagai sesuatu kemampuan untuk melaksanakan atau melakukan suatu pekerjaan
atau tugas yang dilandasi atas keterampilan dan pengetahuan serta didukung oleh
sikap kerja yang dituntut oleh pekerjaan tersebut. Kemampuan literasi harus
melalui proses pendidikan, pelatihan dan pendampingan. Tidak hanya kompetensi
bagi sekolah sasaran, tetapi juga para fasilitator dan nara sumber dituntut
memiliki kompetensi.
Kegiatan Training
of Trainer (ToT) dan Workshop Literasi yang dilalui nara sumber/fasilitator,
guru dan kepala sekolah merupakan bagian dari pembelajaran dalam mencapai tenaga
berkompeten. Peningkatan kecakapan kemampuan literasi tidak melulu berharap
dari kegiatan formal yang dilaksanakan oleh pemerintah. Sangat banyak diluar
sana pengayaan ilmu dalam meningkatkan kompetensi diri.
Perlu
diingatkan bahwa tingkat kompetensi merupakan sebuah proses yang memerlukan waktu,
kemauan dan pengorbanan dalam pencapaiannya. Jangan pernah berhenti belajar
dalam peningkatan kompetensi literasi. Dan tidak juga kita dengan mudah
menuding dan menyalahkan bagi mereka yang masih dalam proses belajar. Atau kita
terjebak pada situasi menggurui satu dengan lainnya membuat hambatan psikologis
proses pembelajaran.
3.
Komunikasi
Faktor komunikasi dalam strategi keberhasilan implementasi program
sangat penting. Sebagai makhluk sosial, manusia harus melakukan komunikasi
dengan sesama agar gagasan, keinginan, harapan bahkan hal yang dirasakan bisa diketahui
atau bahkan dipahami oleh orang lain. Tidak kemudian hanya membatin tanpa
bahasa lisan, tulisan atau gesture yang diungkapkan.
Keberhasilan komunikasi tidak melulu terletak pada isi pesan yang
ingin disampaikan tetapi juga media dan waktu yang tepat. Banyak kasus terjadi,
pesan yang baik tetapi media dan waktunya tidak pas membuat pesan itu berubah
menjadi masalah.
Sebagai program baru, konsep gerakan literasi akan terus mengalami
penyempurnaan. Penyempurnaan dari sisi konsep, materi, metode, pendekatan, evaluasi
hingga hal-hal teknis dalam impelementasi program. Disinilah perlu dibuka ruang
diskusi yang memadai, diskusi yang berlandaskan pada dalil-dalil konsep dan
teori yang bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan akademik. Bukan bermuara
pada jare, katanya yang tidak bersumber.
Berbagai hal interaksi ide dalam memperkaya konsep program harus
berakhir dalam sebuah keputusan bersama yang mengikat. Baik mereka yang setuju
maupun tida setuju bahkan mereka yang tidak mengusulkan apapun. Tidak ada satu
orang yang dengan seenaknya kemudian ditengah jalan mengubah segala keputusan
legal formal hasil pertemuan tanpa melalu forum interaksi gagasan para
personilnya.
4.
Kerja tim
Membangun tim agar tercipta
team work yang solid merupakan harga mati, jika sebuah program ingin bernafas
jangka panjang. Kerja tim yang solid mulai dibangun dari gaya komunikasi yang
diterapkan. Budaya saling menghormati dan saling percaya menjadi penguat dalam team
building. Jangan pernah alergi dengan gagasan dan ide baru sepanjang itu akan
memperkaya dan penyempurnakan program.
Tampillah setiap personil di
dalamnya menjadi insan yang siap dalam berbedaan ide untuk penyempurnaan
program. Namun jika sudah diputuskan menjadi kesepakatan maka bisa mengikat
semua pihak di dalamnya. Tetapkan segala sesuatu dengan jelas sejak awal, mulai dari konsep hingga ending
goalnya seperti apa. Berperan sebagai leader bukan bos akan memberikan kenyamanan
bagi orang-orang di dalamnya.
5.
Kontroling
Segala bentuk dan jenis yang sudah ditetapkan dalam program harus
melalui pengawasan dalam proses implementasinya. Maka diperlukan mekanisme
kerja dan instrument dalam melakukan fase kontroling tersebut. Kegiatan monitoring
dan evaluasi merupakan bagian tak terpisahkan dalam keberhasilan sebuah
program.
Kontrol juga bisa berlaku bagi sesama pelaku literasi di dalamnya. Watawa
saubil haq, watawa saubis sobr yaitu saling mengingatkan dalam kebaikan dan
saling mengingatkan dalam kesabaran. Pola ini menjadi bagian terpenting untuk
menjaga konsistensi kinerja personil dalam mencapai tujuan. Jika terjadi
pembiaran terhadap “kemunkaran” atau “anarkisme” ide, gagasan atau sikap
justeru akan menciptakan malapetaka bagi organisasi. Tentu kontroling tersebut
harus dilakukan secara elegan, tidak gerasa gerusu.
Lima factor yang akan mempengaruhi keberhasilan program literasi
melalui WJLRC tersebut semangatnya harus terus terjaga dan terpelihara. Komunikasi
menjadi hal penting agar komitmen, membangun team work solid, kompetensi dan
pengawasan bisa berjalan dengan baik. Pemanfaatan teknologi komunikasi dan
informasi ikut membantu sebagai sarana pencapaian tujuan organisasi. (*)
*) Penulis Pegiat Literasi asal Kota Cirebon