Agustus 21, 2016

MENANTI KESUKSESAN LITERASI

Oleh :
Deny Rochman

Factor yang mendukung strategi pencapaian GLS melalui program WJLRC antara lain komitmen (commitment), kompetensi (competency), komunikasi (communication), kerja tim (team work)dan pengawasan (control). Apabila factor-faktor tersebut tidak berjalan beriringan akan berdampak kurang maksimalnya pencapaian tujuan men-sakaw-kan literasi di Jawa Barat.

 
1.    Komitmen
Menjalankan sebuah program, apalagi baru diperlukan komitmen bagi bagi pelakunya. Komitmen itu adalah janji. Janji baik pada diri sendiri, maupun kepada orang lain yang tercermin dalam tindakan. Kendati komitmen ini mudah diucap namun tak mudah untuk dipenuhi. Disinilah seorang kader literasi diuji integritasnya dalam menghadapi tantangan dan hambatan dalam proses implementasi program di lapangan.

Jani literasi yang diucap oleh peserta workshop, baik guru penggerak maupun guru sekolah perintis merupakan bentuk janji yang wajib dipenuhi. Janji adalah hutang yang harus dibayar hingga tuntas, menjadi bagian konsekuensi bagi mereka yang sudah menceburkan diri dalam gerakan ini. Tentu ini bagi banyak orang menjadi beban, tetapi sebagian orang ini bagian dari lading amal karena pejuang literasi adalah mujahidin yang berjihad demi peradaban yang lebih baik lagi.

Di banyak tempat sekolah yang dianggap berhasil menjalankan program WJLRC lebih dipengaruhi factor komitmen daripada dukungan sistem. Dukungan sistem berupa kebijakan kepala sekolah atau bahkan kepada Dinas Pendidikan dan kepala daerah setempat berkat karena komitmen dari kader literasi yang mampu membangun komunikasi dengan stakeholder.

Mereka yang belum mendapat dukungan poitik dari penguasa selama masih memiliki idealisme dan komitmen masih mampu menjalankan program literasi di tempat ia bekerja. Tingkat komitmen tersebut akan mementukan dinamika gerakan, apakah progresif, statis atau regresif.

2.    Kompetensi
Tentu kita sepakat. Apapun jenis pekerjaannya dan siapapun yang mengerjakannya jika dilakukan secara sungguh-sungguh dan professional maka akan menghasilkan sesuatu yang maksimal, memuaskan. Demikian juga dalam menjalankan program literasi ini diperlukan orang-orang di dalamnya yang memiliki kompetensi di bidangnya. Tidak harus mereka guru bahasa Indonesia, jika tidak memiliki komitmen dan integritas membudayakan literasi di masyarakat sekolah.

Kompetensi dipahami sebagai sesuatu kemampuan untuk melaksanakan atau melakukan suatu pekerjaan atau tugas yang dilandasi atas keterampilan dan pengetahuan serta didukung oleh sikap kerja yang dituntut oleh pekerjaan tersebut. Kemampuan literasi harus melalui proses pendidikan, pelatihan dan pendampingan. Tidak hanya kompetensi bagi sekolah sasaran, tetapi juga para fasilitator dan nara sumber dituntut memiliki kompetensi. 

Kegiatan Training of Trainer (ToT) dan Workshop Literasi yang dilalui nara sumber/fasilitator, guru dan kepala sekolah merupakan bagian dari pembelajaran dalam mencapai tenaga berkompeten. Peningkatan kecakapan kemampuan literasi tidak melulu berharap dari kegiatan formal yang dilaksanakan oleh pemerintah. Sangat banyak diluar sana pengayaan ilmu dalam meningkatkan kompetensi diri.  

Perlu diingatkan bahwa tingkat kompetensi merupakan sebuah proses yang memerlukan waktu, kemauan dan pengorbanan dalam pencapaiannya. Jangan pernah berhenti belajar dalam peningkatan kompetensi literasi. Dan tidak juga kita dengan mudah menuding dan menyalahkan bagi mereka yang masih dalam proses belajar. Atau kita terjebak pada situasi menggurui satu dengan lainnya membuat hambatan psikologis proses pembelajaran.

3.    Komunikasi
Faktor komunikasi dalam strategi keberhasilan implementasi program sangat penting. Sebagai makhluk sosial, manusia harus melakukan komunikasi dengan sesama agar gagasan, keinginan, harapan bahkan hal yang dirasakan bisa diketahui atau bahkan dipahami oleh orang lain. Tidak kemudian hanya membatin tanpa bahasa lisan, tulisan atau gesture yang diungkapkan.

Keberhasilan komunikasi tidak melulu terletak pada isi pesan yang ingin disampaikan tetapi juga media dan waktu yang tepat. Banyak kasus terjadi, pesan yang baik tetapi media dan waktunya tidak pas membuat pesan itu berubah menjadi masalah.

Sebagai program baru, konsep gerakan literasi akan terus mengalami penyempurnaan. Penyempurnaan dari sisi konsep, materi, metode, pendekatan, evaluasi hingga hal-hal teknis dalam impelementasi program. Disinilah perlu dibuka ruang diskusi yang memadai, diskusi yang berlandaskan pada dalil-dalil konsep dan teori yang bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan akademik. Bukan bermuara pada jare, katanya yang tidak bersumber.

Berbagai hal interaksi ide dalam memperkaya konsep program harus berakhir dalam sebuah keputusan bersama yang mengikat. Baik mereka yang setuju maupun tida setuju bahkan mereka yang tidak mengusulkan apapun. Tidak ada satu orang yang dengan seenaknya kemudian ditengah jalan mengubah segala keputusan legal formal hasil pertemuan tanpa melalu forum interaksi gagasan para personilnya.

4.    Kerja tim
Membangun tim agar tercipta team work yang solid merupakan harga mati, jika sebuah program ingin bernafas jangka panjang. Kerja tim yang solid mulai dibangun dari gaya komunikasi yang diterapkan. Budaya saling menghormati dan saling percaya menjadi penguat dalam team building. Jangan pernah alergi dengan gagasan dan ide baru sepanjang itu akan memperkaya dan penyempurnakan program.
Tampillah setiap personil di dalamnya menjadi insan yang siap dalam berbedaan ide untuk penyempurnaan program. Namun jika sudah diputuskan menjadi kesepakatan maka bisa mengikat semua pihak di dalamnya. Tetapkan segala sesuatu dengan jelas  sejak awal, mulai dari konsep hingga ending goalnya seperti apa. Berperan sebagai leader bukan bos akan memberikan kenyamanan bagi orang-orang di dalamnya. 

5.    Kontroling
Segala bentuk dan jenis yang sudah ditetapkan dalam program harus melalui pengawasan dalam proses implementasinya. Maka diperlukan mekanisme kerja dan instrument dalam melakukan fase kontroling tersebut. Kegiatan monitoring dan evaluasi merupakan bagian tak terpisahkan dalam keberhasilan sebuah program.

Kontrol juga bisa berlaku bagi sesama pelaku literasi di dalamnya. Watawa saubil haq, watawa saubis sobr yaitu saling mengingatkan dalam kebaikan dan saling mengingatkan dalam kesabaran. Pola ini menjadi bagian terpenting untuk menjaga konsistensi kinerja personil dalam mencapai tujuan. Jika terjadi pembiaran terhadap “kemunkaran” atau “anarkisme” ide, gagasan atau sikap justeru akan menciptakan malapetaka bagi organisasi. Tentu kontroling tersebut harus dilakukan secara elegan, tidak gerasa gerusu.

Lima factor yang akan mempengaruhi keberhasilan program literasi melalui WJLRC tersebut semangatnya harus terus terjaga dan terpelihara. Komunikasi menjadi hal penting agar komitmen, membangun team work solid, kompetensi dan pengawasan bisa berjalan dengan baik. Pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi ikut membantu sebagai sarana pencapaian tujuan organisasi. (*)

*) Penulis Pegiat Literasi asal Kota Cirebon