Menurut Prof. Ahmad Mansyur
Suryanegara, seorang pakar Sejarah dari Universitas Pajajaran dalam bukunya
“Api Sejarah” (2009), dari surat-suratnya yang dikenal dengan “Habis Gelap
Timbullah Terang” dikisahkan bagaimana kekaguman Kartini kepada Al Qur’an.
Kartini pernah menulis tentang kekagumannya terhadapan Kitab Suci muslim ini
sebagaimana tertera pada suratnya kepada Ny. Abendanon tertanggal 15 Agustus
1902. “Alangkah bebal dan bodohnya kami, kami tidak melihat, tidak tahu bahwa
sepanjang hidup ada gunung kekayaan disamping kami”. Ahmad Mansyur kemudian
menyatakan bahwa Kartini menilai Al Qur’an sebagai gunung kekayaan yang telah
lama ada disampingnya.
Akibat pendidikan Barat, Al Qur’an menjadi terlupakan,
namun setelah Tafsir Al Qur’an dibacanya, Kartini melihat Al Qur’an sebagai
gunung agung hakikat kehidupan. Kartini tidak hanya ingin memahami dirinya
sendiri, namun juga mempelopori kecerdasan terhadap anak bangsa. Sikap
perjuangan Kartini agar kesetaraan pendidikan terhadap anak bangsa yang bukan
dari Jawa, menurut Profesor Ahmad Mansyur, sangat dipengaruhi oleh ajaran Al
Qur’an. Lingkungan kehidupan kabupaten Jepara merupakan medan persemaian tumbuh
kembangnya ajaran Islam di kalangan Boepati yang berpikiran semaju sejalan
dengan kaum muda.
Dalam memandang Islam pun, menurut
kacamata Prof. Mansyur Kartini termasuk yg cukup memliki nilai
fundamentalistik. Melalui surat-suratnya, Kartini memberikan gambaran akan
gagalnya agama Protestan sebagai agama penjajah Belanda. Demikian pula Katolik
yang dikembangkan agama penjajah Portugis, sebelum penjajah Protestan Belanda
datang. Kepada E.C Abendanon Kartini mengingatkan bahwa Zending Protestan
jangan bekerja dengan mengibarkan panji-panji agama. Jangan mengajak orang
Islam memeluk agama Nasrani. Hal ini akan membuat zending memandang penduduk
Islam sebagai musuhnya. Dampaknya semua agama akan menjauhi zending. Kartini
menolak ajakan Ny. Van Kol untuk berpindah agama menjadi Kristen. Agama Kristen
dalam pandangan Kartini adalah agama penjajah. Hal itu dinilai akan merendahkan
derajatnya. Pada tanggal 21 Juli 1902, secara halus Kartini mengatakan kepada
Ny, Van Kol, “Yakinlah Nyonya, kami akan tetap memeluk agama kami yang sekarang
ini”. Kartini kemudian mengingatkan Ny. Van Kol, tentang tekad mulianya yang
akan tetap erjuang untuk menyadarkan Barat agar dapat bertoleransi terhadap
agama Islam, “Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain
memandang agama kami Islam patut disukai”.
Pada surat itu juga Kartini menulis
kepada Ny. Van Kol, ”Tiada Tuhan kecuali Allah! Kata kami umat Islam, dan
bersama-sama kami semua yang beriman, kaum monotheis; Allah itu Tuhan, Pencipta
Alam Semesta.” Itulah kira-kira paparan Prof. Ahmad Mansyur dan beberapa data
lainnya dalam melihat Kartini sebagai pejuang Islam. Bahkan, dalam buku Prof
Mansyur, bahasan mengenai Kartini masuk dalam sub bab berjudul ‘Peran Ulama
dalam Gerakan Kebangkitan Kesadaran Nasional (1900-1242 M). Artinya Prof
Mansyur bisa dikatakan mengakategorikan Kartini sebagai orang yang alim dalam
Islam.
Kartini dan Pengaruh Theosofi
Sekalipun fakta-fakta kekaguman
Kartini akan Islam dan nilai dalam Al Qur’an menjadi tidak terelakkan, fakta
lain tentang pengaruh theosofi dalam pemikirannya juga menjadi catatan
tersendiri yang mesti diungkap. Banyak Surat Kartini yang kontradiksi atau tidak
sejalan terhadap pembelaannya kepada agama Islam. Menariknya ucapan kartini itu
disampaikan pada tanggal yang sama pula di saat kekagumannya mengalir kepada
Islam. Pada tanggal 15 Agustus 1902, Kartini mengirim Surat kepada Nyonya
Abendanon yang bisa dikatakan memandang Islam sebagai agama ritual belaka ”Kami
bernama orang Islam karena kami keturunan orang-orang Islam, dan kami adalah
orang-orang Islam hanya pada sebutan belaka, tidak lebih. Tuhan, Allah, bagi
kami adalah seruan, adalah seruan, adalah bunyi tanpa makna.” Selanjutnya
pandangan teosofis Kartini juga terlihat pada surat yang dikirim ke Nyonya
Abendanon tertanggal 14 Desember 1902, berarti empat bulan setelah ia
menyatakan kekaguman akan Islam. “Sepanjang hemat kami, agama yang paling indah
dan paling suci ialah Kasih Sayang. Dan untuk dapat hidup menurut perintah
luhur ini, haruskah seorang mutlak menjadi Kristen? Orang Buddha, Brahma,
Yahudi, Islam, bahkan orang kafir pun dapat hidup dengan kasih sayang yang
murni.” (Surat kepada Ny Abendanon, 14 Desember 1902).
Juga suratnya kepada Ny. Andriani,
tanggal 24 bulan September 1902 dan 5 Juli 1903
”Betapapun jalan-jalan yang kita
lalui berbeda, tetapi kesemuanya menuju kepada satu tujuan yang sama, yaitu
Kebaikan. Kita juga mengabdi kepada Kebaikan, yang tuan sebut Tuhan, dan kami
sendiri menyebutnya Allah.” (Surat kepada Dr N Adriani, 24 September 1902).
”Tidak peduli agama apa yang dipeluk orang dan bangsa apa mereka itu. Jiwa
mulia akan tetap mulia juga dan orang budiman akan budiman juga. Hamba Allah
tetap dalam tiap-tiap agama, dalam tengah-tengah segala bangsa” (Surat kepada
Dr N Adriani, 5 Juli 1903). Selanjutnya merujuk dari surat-surat “pluralisme”
Kartini, Artawijaya dalam buku “Gerakan Theosofi di Indonesia” (2010)
menjelaskan bagaimana keterlibatan Kartini dengan Theosofi. Meskipun tak ada
pengakuan bahwa dirinya seorang theosof namun beberapa inti ajaran dan ritual
theosofi seperti persamaan semua agama, mengabdi kepada “Kebaikan”, sebagai
tujuan akhir (ultimate goal), serta ajaran tentang gaya hidup vegetarian yang
juga banyak dilakukan anggota theosofi, itu semua diamalkan oleh Kartini.
”Orang yang tidak kami kenal secara pribadi hendak membuat kami mutlak penganut
Theosofi, dia bersedia untuk memberi kami keterangan mengenai segala macam
kegelapan di dalam pengetahuan itu. Orang lain yang juga tidak kami kenal
menyatakan bahwa tanpa kami sadari sendiri, kami adalah penganut Theosofi.”
(Surat Kepada Ny Abendanon, 24 Agustus 1902)
Belakangan jaringan theosofi di
Indonesia juga mendirikan Kartini School (Sekolah Kartini) yang mulanya
didirkan diBandung oleh seorang teosof bernama R. Musa dan kemudian menyebar di
berbagai daerah di Jawa. Tercatat ada beberapa daerah yang berdiri Sekolah
Kartini, yaitu Jatinegara (Jakarta), Semarang, Bogor, Madiuan (1914), Cirebon,
Malang (1916), dan Inderamayu. Jadi, sisi theosofi Kartini juga adalah fakta
sejarah yang suka tidak suka, tak bisa kita pungkiri.
Bagaimana Posisi Kartini?
Ada beberapa hal yang mesti kita
lihat untuk menengahkan masalah dan dua jati di Kartini yang saling
kontradiksi.
Pertama, kita harus meletakkan
Kartini sebagai orang awam. Hal inilah yang sempat dinyatakan Tiar Anwar
Bachtiar, Kandidat Doktor Sejarah
Universitas Indonesia, dalam wawancaranya dengan Eramuslim.com berjudul
"Pakar Sejarah: Kesan Feminis Kartini Adalah Taktik Belanda", pada
tanggal 20 April 2011.
Sebagai catatan, Kartini sejak umur
12 tahun banyak berdiam diri di rumah dan harus tinggal di rumah karena sudah
bisa dipingit. Oleh karenanya dalam masa “pencarian” itu, Kartini akan bertemu
apa saja, siapa saja dan dimana saja, termasuk akhirnya Belanda. Secara
psikologis, Kartini terombang-ambing untuk memenuhi dahaganya tentang arti
sebuah agama. Kartini pun juga tidak memiliki fundamentasi Islam yang kuat.
Lingkungan di sekitar Kartini cenderung merujuk kepada Isalm kejawen yang
mencampurkan agama tauhid dengan sinkretisme.
Kedua, pengaruh Belanda. Ayah Kartini,
Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang bupati Jepara terkenal memiliki
jaringan luas terhadap Belanda. Saat itu ada semcam prestise tersendiri di
kalangan birokrat Nusantara saat memiliki persentuhan dengan bangsawan Belanda.
Hal ini kemudian didukung suasana tempat belajar Kartini (sampai usia 12 tahun)
di ELS (Europese Lagere School) dimana hampir semua gurunya orang Belanda.
Pelajar di Sekolah Belanda dan gurunya sedikit banyak terlibat theosofi. Tidak
hanya terpengaruh theosofi, Kartini juga terpengaruh pemikiran liberalisme dan
feminis ekstrimis-nya Stella Zeehandelaar. Setelah mendekam di rumah, karena
Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan
menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah
satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Disinilah faktor
kolonialisme dimanfaatkan Belanda untuk “membentuk” Kartini.
Ketiga, terputusnya hubungan Kartini
dengan Kiai Soleh Darat di Semarang. KH.Soleh Darat merupakan sosok ulama yang
memilki andil besar terhadap Kartini di akhir-akhir hidupnya. Kiai Soleh Darat
adalah guru dari ulama-ulama’ yang mendirikan NU dan Muhammadiyyah, seperti KH.
Hasyim Asy’ari, KH Mahfuzd (pendiri Ponpes Termas, Pacitan), KH Ahmad Dahlan
(pendiri Muhammadiyah), dan lain sebagainya. Dengan Kiai Soleh Darat, Kartini
bagai bertemu cahaya yang mengantarkannya ke pemikrian Islam yang sesungguhnya.
Suaminya pun, seorang Bupati Rembang, termasuk santri yang agak senang mengaji.
Namun sayang pertemuan Kartini dengan Kiai Soleh Darat, tidak berlangsung lama.
Kiai Soleh Darat meninggal pada tahun itu juga, menyusul Kartini pada satu
tahun berikutnya. Namun sampa detik ini, belum ada fakta sejarah yang
menceritakan bahwa Kartini menarik ucapan-ucapanya terkait theosofi. Atau
mungkin belum sempat menariknya. Tapi yg jelas pembelaan Kartini terhadap agama
itu nyata, namun pembelaan Kartini terhadap nilai-nilai Theosofie juga nyata.
Jadi apakah Kartini pengidap kepribadian ganda? Atau Kartini adalah orang yg sedang
mencari jalan kebenaran dan jika ini benar, manakah yang akrinya ia pilih?
Agama atau theosofie? Masih belum jelas. (*)
Sumber : unblackmos.blogspot.co.i