Oleh :
Deny Rochman
Pada bulan
April 2016 ini organisasi Islam Muhammadiyah di tingkat Cirebon memasuki era
kepemimpinan baru. Pimpinan Daerah di Kota Cirebon baru saja secara resmi
dilantik pada 9 April 2016, dengan menghadirkan tokoh reformasi Amien Rais. Sementara
Pimpinan Daerah kabupaten Cirebon baru mengadakan pemilihan pengurus baru dalam
Musyawarah Daerah 23-24 April 2016 dengan dimeriahkan peluncuran aplikasi computer
berbasis internet “Islamic Mind”, hasil kerjasama dengan negara Brunai
Darussalam.
Pelantikan dan
pemilihan pengurus baru tentu tidak saja dipahami secara seremonial rutinitas
organisasi semata. Namun harus ada proses evaluasi, perencanaan, proses,
monitoring dan assesment terhadap hasil akhir kerja pengurus lama kepada pengurus
baru. Evaluasi terhadap program dan kebijakan Muhammadiyah sebagai organisasi
dakwah pembaharuan gerakan amar ma’ruf nahi munkar. Gerakan dakwah yeng
tercermin dalam semua lini kehidupan: sosial, agama, ekonomi, kesehatan,
pendidikan, budaya dan lainnya.
Secara
historis, organisasi yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada 1912 tersebut memiliki
latar belakang panjang dalam proses gerakan dakwahnya. Gerakan dakwah ini lahir (1) menjamurkan
praktek kemusyrikan, tahayul, bidah dan khurafat di kalangan umat Islam kala
itu; (2) penindasan dan penderitaan umat Islam akibat imperialisme dan kolonialisme
bangsa asing; (3) berkembangnya gerakan dakwah terselubung dan terang-terangan
upaya pemurtadan sistematis oleh kelompok anti Islam; (4) kemiskinan, kebodohan
dan kesehatan yang buruk mendera umat Islam saat itu.
Setelah melewati
lintas rezim selama 104 tahun tersebut ternyata factor-faktor yang membelenggu
umat Islam pada masa Muhammadiyah berdiri masih tetap ada dan semakin banyak
model variannya. Kondisi serupa bisa kita jumpai dalam masyarakat Islam Cirebon,
bahkan ke depan wajah kota Cirebon akan semakin penuh warna dan dinamika seiring
pertumbuhan dan perkembangan ekonomi kota di pantai utara Jawa Barat ini.
METROPOLITAN EFFECT
Cirebon dulu,
kini dan esok memiliki perubahan yang progresif. Bahkan perkembangan yang ada
kota ini akan berubah menjadi kota Metropolitan. Istilah yang menggambarkan pada
sebuah kawasan perkotaan yang
relatif besar, baik dari ukuran luas wilayah, jumlah penduduk, maupun skala
aktivitas ekonomi dan sosialnya. Didukung dengan infrastruktur yang ada, asset yang
dimiliki, posisi geografisnya Cirebon sangat berpotensi menjadi kota Metropolitan,
sebagai pusat kota dari kota-kota di sekitarnya.
Cirebon
sebagai kota Metropolitan memang sudah disiapkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa
Barat, yang dituangkan dalam Peraturan
Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 12 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Pembangunan
dan Pengembangan Metropolitan dan Pusat Pertumbuhan di Jawa Barat. Dalam Perda
tersebut Cirebon masuk sebagai kota yang dikembangkan menjadi kota
Metropolitan, selain Greater Bandung, Bodetabek Kapur (Bogor, Depok, Tangerang,
Bekasi, Karawang, dan Purwakarta).
Jika Cirebon
terwujud sebagai kota Metropolitan maka kota ini akan menjadi kota tujuan dalam
kunjungan. Apakah untuk keperluan wisata, berbisnis, belajar atau lainnya. Jumlah
penduduk pun akan semakin bertambah, bertambah dari sisi kuantitas, kualitas
maupun bertambah pluralisme masyarakatnya dari beragam agama, suku, ras dan
etnis. Pertemuan beragam manusia yang berbeda tersebut merupakan awal lahirnya
konflik sosial.
Menilik dampak
negative kota-kota Metropolitan di Indonesia misalnya, selain pertumbuhan
ekonominya pesat namun menyisakan juga berbagai masalah sosial yang kompleks. Masalah
tersebut seperti pengemis dan gelandangan, urbanisasi, pengangguran, pencemaran
udara, kemacetan lalu lintas, kejahatan dan berkembangnya multikulruralisme
sosial. Perlahan tapi pasti indicator tersebut mulai bisa dirasakan oleh warga
kota Cirebon.
TANTANGAN DAKWAH
Dinamika
kota Metropolitan Cirebon dengan segala permasalahan yang ditimbulkannya
menjadi tantangan tersendiri bahkan menjadi permasalahan bagi dakwah
Muhammadiyah, apakah bagi PDM kota maupun PDM kab. Cirebon. Dua pimpinan daerah
ini akan sangat merasakan dampak dari Cirebon Metropolitan, sebagai pusat kota
dari kota-kota di sekitarnya seperti Kuningan, Indramayu, Majalengka dan
mungkin Brebes dan Tegal.
Masalah yang
ditimbulkan dari efek negative kota Metropolitan tersebut menjadi beban
berlipat bagi Muhammadiyah. Selama ini gerakan dakwah persyarikatan belum tuntas
menyelesaikan permasalahan kemiskinan, kesehatan, tradisi keagamaan,
kemaksiatan, kejahatan, hingga melawan pemurtadan. Bahkan kecendrungan yang
tampak, Muhammadiyah terjebak dalam kesibukan rutinas program kerja amal usaha
yang didirikannya.
Pada bagian
lain justeru banyak lahir fron atau laskar-laskar yang getol memberantas
kemaksiatan di kota Cirebon. Apakah itu perjudian, peredaran miras, prostitusi
dan jenis kemaksiatan lainnya. Belum lagi praktek ritual keagamaan, kota
pantura ini dikenal lekat dengat Islam tradisi. Tradisi sinkretisme yang
terkontaminasi dari beragam budaya dan agama yang tidak selaras dengan ajaran
Islam faham Muhammadiyah.
Sama halnya
dalam pelayanan kesehatan, pendidikan, ekonomi dan sosial, organisasi ini sering
kedodoran tertinggal dari lembaga atau kelompok lain yang baru lahir
belakangan. Misalnya dalam mengelola zakat, infak dan shodaqoh, pengelolaan
lembaga pendidikan yang unggulan, pendirian rumah sakit, panti asuhan dan panti
jompo, serta pemberdayaan ekonomi umat. Dalam bidang politik kekuasaan pun,
tokoh Muhammadiyah belum masuk dalam peta kekuatan politik yang ada.
Diagnosis problematika
umat di atas harus menjadi catatan tebal dan penting bagi pengurus Muhammadiyah
yang baru. Penataan dan penguatan manajemen modern yang Islami harus terus
dilakukan. Komunikasi, koordinasi dan kolaborasi dalam internal pengurus menjadi
kata kunci kesuksesan pencapaian program kerja organisasi dengan spirit amar ma’ruf
nahi munkar dalam membumikan Islam berkemajuan dalam konteks Cirebon. Semoga!
(*)
*) Penulis adalah Kader Tapak Suci Putera
Muhammadiyah Kab. Cirebon.