SELAMAT DATANG DI WEBLOG DENY ROCHMAN. MARI KITA BANGUN PERADABAN INI DENGAN CINTA DAMAI UNTUK MASA DEPAN LEBIH BAIK

Agustus 04, 2016

MANUSIA MAKHLUK LITERASI


Oleh :
Deny Rochman

Hidup adalah pilihan. Begitu pun kita memiliki kebebasan dalam memilih profesi sesuai dengan potensi, minat dan bakat masing-masing. Tetapi memilih buku sebagai sumber ilmu untuk dibaca, dipelajari dan diserap adalah sebuah keniscayaan. Apapun profesi pilihan kita, mencintai ilmu melalui buku adalah satu pilihan. Dengan modal ilmu, kompetensi kita akan kian professional di bidang pekerjaannya.

Kita menjadi dokter diperlukan ilmunya. Kita menjadi pengusaha, pedagang, petani, bahkan guru dan profesi lainnya pasti memerlukan ilmunya. Bahkan ketika kita hidup di akheratnya pun harus memiliki ilmunya. Untuk memperoleh ilmu tersebut tentu kita harus melakukan aktifitas membaca, menulis dan berdialog (berdiskusi).

Aktifitas membaca, menulis dan berdiskusi adalah bagian dari budaya literasi.  Menurut para ahli, budaya literasi terkait erat dengan kemampuan membaca dan menulis seseorang. Seseorang disebut literate apabila ia memiliki pengetahuan yang hakiki untuk digunakan dalam setiap aktivitas yang menuntut fungsi literasi secara efektif. Dalam perkembangan berikutnya, aktifitas membaca dan menulis harus disempurnakan dengan pemahaman dan implementasi.

Manusia sebagai makhluk literasi memiliki akar sejarah manusia yang panjang dan tak terbantahkan. Dalam sejarah Islam misalnya, manusia pertama di dunia yakni Nabi Adam mendapat pengajaran langsung dari Tuhannya. Disebutkan dalam Al Quran Surat Al-Baqarah 31-32, bagaimana Tuhan mengajarkan kepada Nabi Adam nama-nama benda. Kemudian Tuhan menanyakan hal sama kepada para Malaikat namun malaikat tidak bisa menjawabnya jika tidak diajarkan oleh Tuhannya.

Begitu pun ketika Habil dan Qabil, dua putera Nabi Adam terlibat perkelahian sehingga berujung kematian Habil terjadi proses pembelajaran disana. Burung gagak yang diutus oleh Allah Swt, mengajarkan kepada Qabil bagaimana memperlakukan manusia jika meninggal dunia. Sejarah awal manusia tersebut menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk literasi.

Akal sebagai anugerah terbesar Tuhan bagi manusia dirakit sedemikian rupa agar bisa bekerja menyerap dan menerapkan ilmu pengetahuan secara maksimal. Maka semakin tinggi keilmuan manusia maka semakin kuat ia bertahan hidup di dunia. Namun kekuatan akal manusia tersebut harus diimbangi dengan kekuatan spiritual atau religi sehingga bisa tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang memiliki kesalehan sosial.

Melihat pentingnya ilmu bagi manusia, maka Tuhan pun mewajibkan bagi hambanya untuk menuntut ilmu. Menuntut ilmu dari buaian sampai ke liang lahat, walau harus jauh ke negeri China. Dan siapa saja mereka yang menuntut ilmu maka Allah Swt akan mengangkat derajatnya dan dimuliakan. Bahkan mereka yang meninggal saat menuntut ilmu akan diganjar surga oleh Allah Swt.



Wahyu pertama yang diperintahkan Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw menunjukkan bahwa membaca dan menulis merupakan hal sangat penting dalam hidup di dunia bahkan di akherat kelak. Nabi Muhammad yang belum bisa membaca harus menjalani proses pembelajaran tercepat di dunia. Beberapa kali Malaikat memaksa nabi untuk membaca ayat pertama yang diturunkan hingga akhirnya mampu membaca dan menulis yang diharapkan Allah Swt.  

Perintah membaca (iqro) untuk mengenal dan mengetahui ilmu yang bersumber dari Allah Swt. Ilmu yang sangat banyak jumlahnya tersebut harus ditulis (qalam) agar lebih abadi diingat. Ilmu pengetahuan adalah laksana binatang buruan dan penulisan adalah tali pengikat buruan itu. Oleh sebab itu ikatlah buruanmu dengan tali yang teguh.



Hidup tanpa ilmu akan berjalan tanpa arah. Bahkan hilangnya ilmu menjadi petanda awal kehancuran kehidupan. Nabi Muhammad Saw pernah bersabda, jika suatu pekerjaan/urusan dilakukan orang tidak memiliki kompetensi, tidak professional maka akan hancur.
 
Berbagai ilmu tersebut banyak dijumpai dalam wujud buku-buku. Sekalipun dalam perkambangannya banyak ragam media yang memuat ilmu seperti media elektronik, media massa cetak dan sebagainya. Namun membaca dan menulis dalam bentuk buku merupakan literasi dasar (basic literation) bagi manusia, sebelum manusia itu menerima literasi media (media literation).

Tinggi rendahnya budaya literasi yang berkembang di masyarakat menjadi barometer kemajuan sebuah peradaban. Bahkan untuk melihat budi pekerti sebuah masyarakat tinggal lihat budaya disiplin dan taat peraturan lalu lintas di jalanan. Jika banyak yang melanggar maka budaya literasinya masih payah. Itulah kemudian, Kepala Dinas Pendidikan DR Asep Hilman M.Pd menilai, rendahnya budaya literasi menjadi sumber masalah pendidikan di Indonesia. Jika ini sudah dibenahi maka kualitas pendidikan negeri ini semakin membaik. Semoga! (*)

*) Penulis adalah guru SMP Negeri 4 Kota Cirebon.