SELAMAT DATANG DI WEBLOG DENY ROCHMAN. MARI KITA BANGUN PERADABAN INI DENGAN CINTA DAMAI UNTUK MASA DEPAN LEBIH BAIK

April 12, 2016

EPISTEMOLOGI ISLAM MEMICU KONFLIK SESAMA ILMUWAN MUSLIM


(Resensi Makalah tentang Epistemologi Islam :  Pelacakan Epistemologi
Tradisi Intelektual Muslim karya Prof Dr H Dedi Djubaedi M.Ag)

Oleh :
Deny Rochman

A.   PENDAHULUAN
Dalam kajian epistemologi Barat, dikenal adanya tiga aliran pemikiran yakni empirisme, rasionalisme dan intuitisme. Namun dalam prosesnya, pemikiran empirisme dan rasionalisme lebih berkembang. Kekuatan nalar menjadi analisis utama para filosof dalam menemukan kebenaran ilmu. Pengetahuan yang dipergunakan dalam penalaran pada dasarnya bersumber dari rasio (rasionalisme) atau fakta (empirisme). Jadi, penalaran ilmiah merupakan gabungan penalaran rasionalisme (deduktif) dan empirisme (induktif).
Sementara dalam pemikiran filsafat Hindu dinyatakan bahwa kebenaran bisa diperoleh dari tiga macam yakni teks suci, akal dan pengalaman pribadi. Ketiga epistemologi tersebut merupakan tradisi intelektual dalam mencari dan menemukan pengetahuan dan kebenaran yang mereka yakini. 

Istilah epistemologi sendiri sering dipahami sebagai filsafat pengetahuan yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat serta scope pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Epistemologi diawali dengan rasa skeptis (keragu-raguan) atas segala pernyataan dan kenyataan.
Definisi epistemologi adalah suatu cabang dari filsafat yang mengkaji dan membahas tentang batasan, dasar dan pondasi, alat, tolok ukur, keabsahan, validitas, dan kebenaran ilmu, makrifat, dan pengetahuan manusia.
Dengan memperhatikan definisi dan pengertian epistemologi, maka menjadi jelaslah bahwa metode ilmu ini adalah menggunakan akal dan rasio, karena untuk menjelaskan pokok-pokok bahasannya memerlukan analisa akal. Yang dimaksud metode akal di sini adalah meliputi seluruh analisa rasional dalam koridor ilmu-ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî. Dan dari dimensi lain, untuk menguraikan sumber kajian epistemologi dan perubahan yang terjadi di sepanjang sejarah juga menggunakan metode analisa sejarah.
Sementara itu di dalam tradisi Islam, dikenal juga epistemologi tradisi intelektual. Ketiga itu dikenal dengan istilah bayani, burhani dan irfani. Dalam sejarah Islam masing-masing epistemologi, bayani pernah melahirkan para ahli fiqh besar, irfani memunculkan tokoh sufisme dan burhani menampilkan filsuf yang disegani.
Pertanyaan sekarang adalah apa yang dimaksud tiga istilah epistemologi Islam tersebut? Bagaimana proses pemikiran bayani, burhani dan irfani dalam menemukan kebenaran ilmu dalam Islam? Makalah ini akan meresume tulisan dari makalah ilmiah Prof Dr H Dedi Djubaedi MAg dalam jurnal OASIS vol. 1 No. 1 Januari 2008 berjudul Epistemologi Islam: Pelacakan Epistemologi Tradisi Intelektual Muslim.

Berkembangnya model epistemologi Islam terjadi pada masa kejayaan emas Islam (the gold age). Pada masa itu para filosof muslim tiada henti untuk melakukan penerjemahan karya-karya filsafat Yunani klasik yang sudah ditinggalkan oleh generasi mudanya. Semula para pemikir muslim sekadar menterjemahkan karya klasik tersebut, namun dalam prosesnya upaya itu melahirkan pemikiran baru. Hasilnya ada tiga mainstream keilmuan yang dikembangkan, yaitu pemikiran ilmiah (logis), fisolofis dan sufistik.  Demikian yang ditulis Prof Dr H Dedi Djubaedi M.Ag dalam tulisan awalnya mengenai epistemologi Islam.
Tiga mainstream keilmuan yang dikembangkan, yakni ilmiah (logis), filosofis dan sufistik tersebut dengan istilah lain adalah bayani, burhani dan irfani.
B.     Model-model Epistemologi Islam
1.   Model Bayani
Secara epistemologi, Bayani berasal dari bahasa Arab yakni bayanun, berarti penjelasan, keterangan, bukti atau saksi. Epistemologi Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang didasarkan atas otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan tanpa perlu pemikiran khusus. Sementara secara tidak langsung maksudnya memahami teks sebagai pengetahuan mentah yang perlu ditafsirkan kembali melalui penalaran. Namun demikian bukan berarti penalaran bebas dalam menentukan makna tetapi tetap bersandar pada teks.
Teks dalam perspektif madzhab Bayani adalah bersumber pada al Qur’an dan Hadist. Kelompok ini menaruh perhatian besar dan teliti pada proses transmisi teks dari generasi ke generasi. Dalam konteks sosiologis, upaya madzhab ini berpendapat, sebagai sumber pengetahuan benar tidaknya transmisi teks menentukan benar tidaknya ketentuan hukum yang diambil. Pemikiran inilah yang kemudian mereka sangat ketat dan hati-hati dalam memilih orang-orang untuk memahami teks-teks agama, baik dari Al Quran maupun Hadist (hal.3).
Menurut al Jibril, persoalan pokok yang ada di dalam bayani adalah sekitar masalah lafaz-makna dan ushul furu’.  Persoalan lafaz-makna mengandung dua aspek yaitu teoritis dan praktis. Sisi teoritis melahirkan tiga persoalan yaitu (1) makna suatu kata; apakah berdasarkan konteksnya atau makna aslinya; (2) analogi bahasa; dan (3) soal pemaknaan al-asma al-syari’iyah, seperti kata shalat, puasa, zakat dan lainnya. Terkait tataran praktis, al Jibril menghubungkan kata makna dengan penafsiran atas wacana (khitbah) syara’.
Soal ushul furu’, al Jibril berpendapat bahwa ushul disini tidak menunjukkan pada dasar-dasar hukum fiqih, seperti Al Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas, namun pada pengertian umum bahwa ia adalah dasar dari proses penggalian pengetahuan. Ushul adalah ujung rantai dari hubungan timbal balik dengan furu’. Disini al Jibril kemudian melihat tiga macam posisi dan peran ushul dalam hubungannya denga furu’.  

2.   Model Burhani
Model pemikiran burhani menyadarkan diri pada kekuatan rasio, akal yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Rasio inilah yang memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi yang masuk lewat indera. Dalil-dalil agama pun ketika bisa diterima kebenarannya harus sesuai dengan logika rasional. Dalam mendapatkan pengetahuan, epistemologi burhani menggunakan aturan silogisme, dalam bahasa Arab disebut dengan qiyas atau al-qiyas al-jam’i. Silogisme adalah argumen dua proposisi premis yang melahirkan keputusan.
Untuk memperoleh pengetahuan, epistemologi burhani juga didasarkan rasio obyek eksternal, dengan melalui tahap-tahap : (1) pengertian (ma’qulat) yakni proses abstraksi atas obyek eksternal yang masuk dalam pikiran; (2) pernyataan (ibarat) yakni proses pembentukan kalimat atas pengertian yang ada; (3) penalaran (tahlilat) yaitu proses pengambilan keputusan berdasarkan hubungan di antara premis-premis yang ada (silogisme).
Pengambilan kesimpulan silogisme tersebut, kata al Jibril, mengutip pendapatnya Aristoteles, harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu (1) mengetahui latar belakang dari penyusunan premis; (2) adanya konsistensi logis antara alasan dan kesimpulan; (3) kesimpulan yang diambil harus bersifat pasti dan benar, sehingga tidak mungkin menimbulkan kebenaran lain.
Terkait dengan hal di atas, filosof muslim Al-Farabi mensyarakatkan premis-premis burhani harus merupakan premis-premis yang benar, primer dan diperlukan. Suatu premis bisa dianggap menyakinkan apabila memenuhi tiga syarat: (1) kepercayaan bahwa sesuatu premis berada atau tidak dalam kondisi spesifik; (2) kepercayaan bahwa sesuatu itu tidak mungkin merupakan sesuatu yang lain selain dirinya; (3) kepercayaan bahwa kepercayaan kedua tidak mungkin sebaliknya.

3.   Model ‘Irfani
Pendekatan irfani adalah pendekatan pemahaman yang bertumpu pada instrumen pengalam batin, dhawq, qalb, wijdan, basirah dan intuisi. Sedangkan metode yang dipergunakan meliputi manhaj kashfi dan manhaj iktishafi. Manhaj kashfi disebut juga manhaj ma'rifah 'irfani yang tidak menggunakan indera atau akal, tetapi kashf dengan riyadah dan mujahadah. Manhaj iktishafi disebut juga al-mumathilah (analogi), yaitu metode untuk menyingkap dan menemukan rahasia pengetahuan melalui analogi-analogi. Analogi dalam manhaj ini mencakup : a) analogi berdasarkan angka atau jumlah seperti 1/2 = 2/4 = 4/8, dst; b) tamthil yang meliputi silogisme dan induksi; dan c) surah dan ashkal. Dengan demikian, al-mumathilah adalah manhaj iktishafi dan bukan manhaj kashfi. Pendekatan 'irfani juga menolak atau menghindari mitologi. Kaum 'irfaniyyun tidak berurusan dengan mitologi, bahkan justru membersihkannya dari persoalan-persoalan agama dan dengan irfani pula mereka lebih mengupayakan menangkap haqiqah yang terletak di balik shari'ah, dan yang batin (al-dalalah al-isharah wa al-ramziyah) di balik yang zahir (al-dalalah al-lughawiyyah). Dengan memperhatikan dua metode di atas, kita mengetahui bahwa sumber pengetahuan dalam irfani mencakup ilham/intuisi dan teks (yang dicari makna batinnya melalui ta'wil).
Kata-kata kunci yang terdapat dalam pendekatan 'irfani meliputi tanzil-ta'wil, haqiqi-majazi, mumathilah dan zahir-batin. Hubungan zahir-batin terbagi menjadi 3 segi : 1) siyasi mubashar, yaitu memalingkan makna-makna ibarat pada sebagian ayat dan lafz kepada pribadi tertentu; 2) ideologi mazhab, yaitu memalingkan makna-makna yang disandarkan pada mazhab atau ideologi tertentu; dan 3) metafisika, yakni memalingkan makna-makna kepada gambaran metafisik yang berkaitan dengan al-ilah al-mut'aliyah dan aql kully dan nafs al-kulliyah.
Pendekatan 'irfani banyak dimanfaatkan dalam ta'wil. Ta'wil 'irfani terhadap Al-Qur'an bukan merupakan istinbat, bukan ilham, bukan pula kashf. tetapi ia merupakan upaya mendekati lafz-lafz Al-qur'an lewat pemikiran yang berasal dari dan berkaitan dengan warisan 'irfani yang sudah ada sebelum Islam, dengan tujuan untuk menangkap makna batinnya.
Contoh konkrit dari pendekatan 'irfani lainnya adalah falsafah ishraqi yang memandang pengetahuan diskursif (al-hikmah al-batiniyyah) harus dipadu secara kreatif harmonis dengan pengetahuan intuitif (al-hikmah al-dhawqiyah). Dengan pemaduan tersebut pengetahuan yang diperoleh menjadi pengetahuan yang mencerahkan, bahkan akan mencapai al-hikmah al-haqiqah.
Pengalaman batin Rasulullah saw. dalam menerima wahyu al-Qur'an merupakan contoh konkret dari pengetahuan 'irfani. Namun dengan keyakinan yang kita pegangi salama ini, mungkin pengetahuan 'irfani yang akan dikembangkan dalam kerangka ittiba' al-Rasul.
Dapat dikatakan, meski pengetahuan 'irfani bersifat subyektif, namun semua orang dapat merasakan kebenarannya. Artinya, setiap orang dapat melakukan dengan tingkatan dan kadarnya sendiri-sendiri, maka validitas kebenarannya bersifat intersubyektif dan peran akal bersifat partisipatif. Sifat intersubyektif tersebut dapat diformulasikan dalam tahap-tahap sebagai berikut. Pertama-tama, tahapan persiapan diri untuk memperoleh pengetahuan melalui jalan hidup tertentu yang harus ia ikuti untuk sampai kepada kesiapan menerima "pengalaman". Selanjutnya tahapan pencerahan dan terakhir tahap konstruksi. tahap terakhir ini merupakan upaya pemaparan secara simbolik di mana perlu, dalam bentuk uraian, tulisan dan struktur yang dibangun, sehingga kebenaran yang diperolehnya dapat diakses oleh orang lain.
Implikasi dari pengetahuan 'irfani dalam konteks pemikiran keislaman, adalah menghampiri agama-agama pada tataran substantif dan esensi spiritualitasnya, dan mengembangkannya dengan penuh kesadaran akan adanya pengalaman keagamaan orang lain (the otherness) yang berbeda aksidensi dan ekspresinya, namun memiliki substansi dan esensi yang kurang lebih sama. Kedekatan kepada Tuhan yang transhistoris, transkultural, dan dan transreligius diimbangi rasa empati dan simpati kepada orang lain secara elegan dan setara. Termasuk di dalamnya kepekaan terhadap problem-problem kemanusiaan, pengembanagan budaya dan peradaban yang disinari oleh pancaran fitrah ilahiyah.
Kemampuan intuisi dalam mencari pengetahuan dan kebenaran dalam konteks keilmuan Barat berdasarkan perasaan (feeling so good) atau hati nurani. Dengan cara ini setiap orang bisa melakukan tanpa terkecuali. Bahkan Gary Klein (2006: 4) dalam bukunya The Power of Intuition mengatakan, bahwa kekuatan intuisi dalam mengambil tindakan seseorang adalah berdasarkan pertimbangan pengalaman masa lalu. Menurutnya, intuisi dalam arti pengalaman itu lebih kokoh dalam memutuskan tindakan seseorang. Malahan Gary menilai intuisi yang dipahami secara magis lebih  banyak berbahayanya daripada manfaatnya bagi manusia.
Kekuatan intuisi dalam Islam hanya bisa dilakukan oleh orang “pilihan”, karena harus melalui beberapa tahap. Dedi Djubaedi, mengutip pendaparnya Suhrawadi, menyebutkan tiga tahapan dalam memperoleh pengetahuan ruhani yaitu persiapan, penerimaan dan pengungkapan. Tahap persiapan, untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kashf), seorang yang biasanya disebut salik (penempuh jalan spiritual) harus menyelesaikan jenjang kehidupan spiritual. Tahapan itu paling tidak ada tujuh yang harus dilalui seseorang yang ingin memiliki kekuatan intuisi, diantaranya : (1) taubat; (2) wara; (3) zuhud; (4) faqih; (5) sabar; (6) tawakal; dan (7) ridhlo.   
Setelah tahap persiapan adalah tahap penerimaan. Dalam tahap ini seseorang akan mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara iluminatif atau neotic. Tahap terakhir adalah tahap pengungkapan, dimana pengalaman mistik diinteprestasikan dan diungkapkan kepada orang lain.

C.        Kritik Tipologi Pemikiran Islam
Di akhir tulisannya, Prof Dedi Djubaedi menyinggung penelitian al-Jabiri. Pemikiran Islam berdasarkan tiga dan model epistemologi tersebut memiliki basis dan karakter berbeda. Ketiga model pemikiran Islam tersebut diakui memiliki kelemahan. Untuk bayani, karena hanya berdasarkan pada teks, maka hanya fokus pada hal-hal bersifat aksidental bukan substansial sehingga kurang bisa dinamis mengikuti perkembangan sejarah dan perubahan sosial.  Sedangkan model burhani, tidak bisa mencapai seluruh kebenaran karena ada kebenaran-kebenaran yang tidak bisa dicapai oleh rasio.
Ketiga model tersebut menjadi arus utama epistemologi pemikir yang beraliran As’ariyah dalam teologi atau Ahl as-sunnah Wa al-Jam’aah dalam politik. Namun sayang, ketiga epistemologi yang lebih bersifat tipologis tersebut tidak dijadikan sebagai modal pemikiran tapi dijadikan dikotomik sebagi basis konflik dan pertentangan. Tak mengherankan bila terjadi takfir (pengkafiran) antara satu pemikir dengan pemikir lain. Ibnu Sina, misalnya, pengguna nalar Burhani (rasional paripatetik), disesatkan oleh Al-Ghozali, pengguna nalar irfan-bayan (tasawuf-sunni).
Bahkan dalam kitabnya, al-Munqid min al-Dholal, al- Ghozali mengkafirkan Ibnu Sina. Sementara, itu al-Ghozali dianggap bodoh oleh Ibnu Rusdy dalam kitabnya at-Tahafut fi at-Tahafut. Abu Hanifah dianggap telah membuat syari’at baru oleh Imam Syafi’i ketika mengunakan metodologi istihsan dalam yurisprudensi Islam. Sedangkan Syafi’i dianggap sesat oleh Ibnu Hazm dalam bukunya Ibthol al-Qiyas karena mengunakan analogi dalam istinbat al- ahkam (pengambilan konklusi hukum). Tak sekedar itu, Ibnu Hazm dengan tajam menyindir Syafi’i, dengan menyebutkan bahwa yang pertama kali mengunakan analogi adalah iblis. Lebih dari semuanya, Al-Hallaj, pengguna Nalar ifran (mistik), mesti diesksekusi dengan cara digantung dan dibakar karena dianggap telah sesat oleh para ulama fikih pengguna nalar bayan.
Maka, Suhrawardi memunculkan metode baru yang memadukan burhani (rasio) dengan metode irfani (intuisi). Kendati metode iluminasi ini dipandang memiliki kelemahan karena tidak bisa dipahami oleh banyak orang, termasuk kalangan awam. Kemudian lahirlah metode yang menggabungkan ketiganya yaitu bayani, burhani dan irfani yang digagas oleh Mulla Sadra (dalam Djubaedi, 2008).  Dengan metode terakhir ini, pengetahuan yang diperoleh tidak hanya dihasilkan kekuatan rasio tetapi juga intuisi, dan dalam sistemnya pengetahuan itu juga menggunakan metode bayani.
Mulyadhi Kartanegara  (2007:7) menjelaskan, akal dalam bentuk proses penalaran memang digunakan, tetapi hanya untuk memilih, memutuskan dan melakukan penalaran, bukan sebagai sumber lain untuk menangkap realitas. Menurut Herber A. Simon, nalar itu ibarat senjata sewaan, yang bisa kita gunakan untuk mencapai tujuan apa saja, baik atau buruk. Nalar lebih merupakan fasilitator daripada inisiator, kita memakai nalar untuk mendapatkan yang kita mau, bukan untuk menentukan yang kita mau.

D.       Memahami Filsafat Pendidikan Islam
Filsafat pendidikan Islam secara singkat dapat dikatakan adalah filsafat pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam atau filsafat pendidikan yang dijiwai oleh ajaran Islam, bukan filsafat yang bercorak liberal, bebas, tanpa batas etika sebagaimana dijumpai dalam pemikiran filsafat pada umumnya.
Muzayyin Arifin menyatakan bahwa mempelajari filsafat pendidikan Islam berarti memasuki arena pemikiran yang mendasar, sistematik. Logis, dan menyeluruh (universal) tentang pendidikan, ysng tidak hanya dilatarbelakangi oleh pengetahuan agama Islam saja, melainkan menuntut kita untuk mempelajari ilmu-ilmu lain yang relevan. Ini artinya, bahwa ruang lingkup filsafat Pendidikan Islam adalah masalah-masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan, seperti masalah tujuan pendidikan, masalah guru, kurikulum, metode, dan lingkungan.
Memahami dunia pendidikan Islam dalam kajian filsafat agar bisa bersikap kritis dalam mencermati problematika yang terjadi dalam bidang pendidikan Islam. Pada akhirnya diharapkan pemikiran filosofi kita bisa memberikan solusi terhadap permasalahan yang terjadi. Dalam menumbuhkembangkan pola pikir yang kritis diperlukan metode dalam menggali pengetahuan dan kebenaran.
Dalam konteks keislaman tersebut, maka tradisi intelektual Islam yang meliputi bayani, burhani dan irfani bisa menjadikan landasan untuk mencari pembenaran ilmu pengetahuan. Pendekatan itu digunakan secara terpadu agar memahami persoalan pendidikan Islam lebih bersifat holistik (menyeluruh), dengan memahami secara tekstual (bayani), kontekstual (burhani) dan wahyu (irfani). Irfani berdasarkan pada rujukan dari Kitab Suci Al Quran dan Sunnah Rosul.





E.      PENUTUP
Tipologi tradisi pemikiran Islam, bayani, burhani dan irfani, secara historis dipengaruhi oleh filsafat Yunani yakni rasional, empiris dan intuisi. Ketiga metode tersebut seyogyanya bisa diterapkan saling mendukung dalam mencari pengetahuan dan kebenaran. Jika digunakan secara parsial akan berakibat kurang sempurnanya dalam mengkaji ilmu pengetahuan tersebut, apalagi jika hanya mengandalkan nalar.
Mengedepankan kemampuan nalar kita akan terjebak dalam dunia materialistik, bahkan  tidak sedikit kekuatan nalar telah menyeret manusia mengingkari Tuhannya. Charles Darwin, misalnya, ilmuwan Biologi abad XIX yang dikenal teori evolusinya ini semula orang yang percaya adanya keberadaan Tuhan. Namun ketika dia semakin matang sebagai ilmuwannya, secara perlahan telah kehilangan kepercayaan kepada Tuhan. Ilmuwan lainnya seperti Pierre de Lapace, astronom Prancis, Sigmund Freud (ahli psikologi), Emile Durkheim sosiolog dan banyak lagi.
Keseimbangan metode pemikiran tersebut untuk menyempurnakan hasil akhir dari proses pemikiran kemudian. Melalui pendekatan terpadu dalam memahami kebenaran pengetahuan pada fase tertentu akan menambah nilai keimanan bagi pemikir tersebut. Pasalnya, dalam eksplor ilmu mereka selalu diimbangi bisikan Tuhan.



DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Khudori Soleh, Model-model Epistemologi Islam, dalam www.khudori Soleh.blogspot.com

Dedi Djubaedi, Epistemologi Islam: Pelacakan Epistemologi Tradisi Intelektual Islam, Jurnal OASIS Vol. 1 No. 1 Januari-Juni 2008, STAIN Cirebon.

Gary Klein, The Power of Intuition : Mendayagunakan Intuisi untuk Meningkatkan Kualitas Keputusan di Tempat Kerja, PT Buana Ilmu Populer, Jakarta, 2006.

Mulyadi Kertanegara, Mengislamkan Nalar: Sebuah Respon terhadap Modernitas, Erlangga, Jakarta, 2007.

****Makalah disampaikan dalam mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam, Prof. Dr. Jamali Sahrodi dalam program Pascasarjana Kosentrasi Psikologi Pendidikan Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon tahun 2010.