SELAMAT DATANG DI WEBLOG DENY ROCHMAN. MARI KITA BANGUN PERADABAN INI DENGAN CINTA DAMAI UNTUK MASA DEPAN LEBIH BAIK

April 12, 2016

DAMPAK PLURALISME SOSIAL TERHADAP PSIKOLOGI PENDIDIKAN ANAK

(Telaah Buku Bab Lima tentang Kultur dan Etnis,
Pendidikan Multikultural dan Gender)

Oleh :
Deny Rochman
  1. PENDAHULUAN
Dalam mencapai tujuan pendidikan banyak variabel yang mempengaruhi prosesnya. Latar bekalang sosial ekonomi masyarakat, misalnya, ikut mempengaruhi proses kegiatan belajar seorang anak. Kondisi ini terjadi seperti pada sekolah-sekolah di Amerika. Heterogenitas masyarakat Amerika ternyata mempengaruhi dalam proses pendidikan anak di sekolah-sekolah. Entah keberagaman dalam kultur, etnis, status sosial ekonomi hingga gender menjadi kendala dalam proses pencerdasan anak didik. 
Perbedaan latar belakang sosial ekonomi tersebut telah melahirkan diskriminasi pendidikan anak. Antara pendidikan sekolah miskin dan kaya, di kota dan di desa, perbedaan etnis dan ras wara negara berkulit putih dan berwarna. Orang kulit putih dianggap lebih pintar daripada kulit berwarna apalagi kulit hitam (baca: negro). Orang kulit berwarna lebih ekspresif, sulit diatur daripada orang kulit putih lebih mudah dikendalikan. Realitas sosial tersebut telah menyumbangkan permasalah bagi dunia pendidikan di Amerika.

Berbagai upaya terus dilakukan oleh berbagai pihak, baik guru, sekolah, orangtua dan pemerintah. Melalui diskusi, penelitian hingga kebijakan politik pendidikan pemerintah setempat. Pada akhirnya upaya warga Amerika untuk mengatasi problem pendidikan di negaranya membuahkan hasil. Paling tidak jika tidak bisa diatasi , minimal bisa memperkecil kendala yang dihadapi. Berbagai program pendidikan diluncurkan guna keluar dari problem sosial tersebut.
Dalam kajian Bab lima tentang kultur dan etnis, pendidikan multikultural dan gender dalam buku Psikologi Pendidikan ini menarik untuk ditelaah. Tidak saja bagi mahasiswa yang mengambil konsentrasi psikologi pendidikan, tetapi juga mereka yang terlibat baik langsung maupun tidak terhadap dunia pendidikan, termasuk di negeri ini, bangsa Indonesia. Beberapa sisi bangsa ini memiliki persamaan dalam perbedaan latar belakang sosial ekonomi masyarakatnya. 
Kesamaan sisi sosial tersebut maka pendidikan multikultural dan gender menjadi program sistemik yang disampaikan kepada masyarakat dalam berbagai kegiatan dan waktu. Kendati program tersebut mendapat respon yang beragam di masyarakat, ada yang pro tetapi tidak sedikit yang bernada miring. Mereka yang pro, pendidikan multikultural diharapkan bisa memberi keadilan bagi semua warga dalam mengeyam pendidikan, terciptanya kedamaian di negeri ini dalam frame bhineka tunggal ika. Sementara bagi yang kontra, multikulturalisme akan menggiring persamaan agama dan mengembangkan toleransi yang tidak mendasar.
Dalam pembahasan Bab 5 tentang Teaching Stories oleh Margaret Longworth akan mendiskusikan tentang kultur, status ekonomi dan latarbelakang etis. Dalam bab ini juga akan mendeskripsikan beberapa acara untuk mempromosikan pendidikan multikultural, kesateraan gender dalam pengajaran di sekolah. Faktor-faktor itu merupakan variabel yang mempengaruhi proses pembelajaran di sekolah dalam mencapai tujuan pendidikan.
  1. KULTUR
Kultur adalah pola perilaku, keyakinan dan semua produk dari kelompok orang tertentu yang diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya. Produk ini berasal dari interaksi antar kelompok orang denga lingkungannya selama bertahun-tahun (Chun, Organizta dan Martin, 2002; Thomas, 2000).  Berapapun besarnya, kultur kelompok akan mempengaruhi perilaku anggotanya, seperi kultur di Amerika Serikat dan Amazon (Berry, 2000; Matsumoto, 2001).
Psikolog Donald Campbell dan rekannya (Brewer dan Campbell, 1976; Campbel dan LeVine, 1968) menemukan bahwa orang-orang di semua kultur cenderung :
1.      Percaya  bahwa apa yang terjadi dalam kultur mereka adalah sesuatu yang “alami” dan “benar” dan apa yang terjadi di dalam kultur lain adalah “tidak alami” dan “tidak benar”.
2.      Menganggap bahwa kebiasaan kultural mereka adalah valid secara universal.
3.      Berperilaku dengan cara-cara yang sesuai dengan kelompok kulturnya.
4.      Merasa bangga dengan kelompok kulturnya.
5.      Bermusuhan dengan kelompok kultur lain.
Ada perbedaan kultur antara kultur warga Amerika dengan negara-negara Asia. Kultur Amerika dikenal lebih cenderung mengembangkan individualisme, sedangkan negara di Asia dikenal berkultur kolektivisme. Individualisme adalah seperangkat nilai yang mengutamakan tujuan personal di atas tujuan kelompok. Sementara kukltu kolektivitas memiliki arti sebaliknya. Dalam konteks ini tujuan personal digunakan untuk menjaga integritas kelompok, interpededensi anggota kelompok dan keharmonisan hubungan.
Konsep dasar psikologi dalam kultur individu misalnya aktualisasi diri, harga diri, konsep diri, kemampuan diri, penguatan diri, kritik diri, bias mementingkan diri, keraguan diri dan sebagainya. Istilah diri diciptakan oleh para psikolog Amerika sehingga muncul beberapa kritik yang mengatakan bahwa mereka sangat condong pada nilai individualitis ketimbang kolektivistik (Lonner, 1990).
Menurut para pengkritiknya, faham individualistik mengingkari fitrah manusia bahwa manusia hidup tidak bisa lepas dari orang lain. Manusia hidup selalu dalam kelompok, apakah besar ataukah kecil. Sebagian ilmuwan sosial yakin bahwa problem di kultur Barat semakin banyak lantaran penekanannya pada individualisme. Tingkat bunuh diri, penyalahgunaan obat, kejahatan, kehamilan remaja, perceraian, pelecehan anak dan gangguan mental, adalah beberapa masalah sosial di Barat. (Triandis, 1994, 2000).
Perbedaan dua kultur di atas akan mempengaruhi dalam pola belajar di sekolah, antara guru dan siswa. Triandis, Brislin dan Hui (1998) memberikan strategi bahwa jika guru seorang individualis sedangkan siswanya berkultur kolektivitas maka ada hal yang perlu dilakukan :
1.      Lebih banyak memperhatikan pada keanggotaan kelompok.
2.      Lebih menekankan pada kerja sama ketimbang kompetisi.
3.      Jika guru mau melakukan kritik, harus dengan hati-hati.
4.      Pupuk hubungan jangka panjang.
Bagaimana jika kondisi sebaliknya, gurunya cenderung kolektivitas sedangkan siswanya indivdualis? Masih menurut tiga ilmuwan tersebut, jika kondisinya terjadi seperti itu maka :
1.      Beri pujian kepada orang tersebut dengan lebih banyak ketimbang pujian yang biasa guru berikan dalam kulturnya.
2.      Jangan merasa terancam jika orang individualis bertindak secara kompetitif.
3.      Tidak masalah membicarakan prestasi guru dan tidak merendahkan diri, tetapi juga jangan sombong.
4.      Sadari bahwa individualis tidak menghargai kesetiaan kelompok.

  1. STATUS SOSIO EKONOMI
Status sosial ekonomi (SES) adalah pengelompokan orang berdasarkan karakteristik ekonomi (kekayaan dan kepemilikan materi), individual dan pekerjaannya.  Dalam konteks pendidikan, tingkat SES sebuah masyarakat mengandung kesenjangan. Individu dari SES yang rendah seringkali kurang pendidikannya, kurang kuat untuk mempengaruhi institusi masyarakat, seperti sekolah, dan hanya sedikit punya sumber daya ekonomi.
Anak-anak dari keluarga miskin sering menghadapi problem di rumah dan di sekolah sehingga mengganggu proses belajar mereka. Di rumah orangtua mereka relatif tidak menentapkan standar pendidikan yang tinggi untuk anak, tidak mampu membantu belajar membaca, dan tidak punya cukup uang untuk membayar biaya pendidikan.
Sekolah anak miskin seringkali hanya punya sedikit sumber daya ketimbang sekolah yang muridnya kebanyakan orang kaya. Sekolah area miskin biasanya hasil nilai ujiannya rendah, tingkat lulusan yang lebih rendah, termasuk jumlah yang masuk ke perguruan tinggi sedikit. Guru-guru yang mengajarnya juga kurang berpengalaman. Pendeknya, sekolah miskin tidak kondusif untuk pembelajaran yang efektif.
Benarkah demikian? Ada sebuah penelitian menarik dari Jonathan Kozol (1991). Ia meneliti problem yang dihadapi anak miskin di lingkungan dan sekolahnya di kawasan kota St. Louis Illinois, dimana penduduknya 98 persen adalah orang  Afrika-Amerika. Kondisi sarana kota ini sangat minim untuk melayani penduduknya. Namun uniknya, Kozol mengatakan walaupun anak-anak dari kawasan kumuh dan sekolah miskin, namun anak-anak dan keluarganya memiliki kekuatan dan keberanian. Orangtua mereka berusaha keras untuk mendapatkan guru yang lebih efektif dan kesempatan yang lebih baik bagi anak-anaknya.
  1. STRATEGI MENGAJAR TERHADAP ANAK MISKIN
  1. Tingkatkan keahlian atau ketrampilan berfikir
  2. Jangan terlampau disiplin
  3. Prioritaskan untuk memotivasi siswa
  4. Cari cara untuk membantu orang lain
  5. Cari cara untuk melibatkan orang berbakat dari komunitas miskin tersebut.
  6. Jangan buat ketegangan antara anak miskin dan kurang mampu.
  7. Gunakan mentoring.
  8. Perhatikan kekuatan anak dari keluarga miskin.

  1. ETNIS
Kata ethic dari bahasa Yunani artinya bangsa. Etnisitas (etnicity) adalah pola umum karakteristik seprti warisan kultural, nasionalitas, ras, agama dan bahasa. Istilah ras (race), yang kini didiskreditkan sebagai konsep biologis adalah klarifikasi orang atau makhluk hidup lainnya berdasarkan karakteristik psikologis tertentu. Namun kini kata ras telah dipakai secara longgar untuk segala sesuatu mulai dari adat, agama, sampai warna kulit.
Secara psikologi sosial, James Jones (1994, 1997), menunjukkan bahwa pemikiran dari segi ras telah melekat di setiap kultur. Dia mengatakan bahwa orang sering “menstereotipkan” orang lain berdasarkan alasan ras dan secara keliru mengklasifikasikan mereka sebagai ras yang kurang atau lebih cerdas, kompeten, bertanggung jawab atau kurang bisa menerima secara sosial.

  1. ETNISITAS DAN SEKOLAH
Segregasi pendidikan masih menjadi kenyataan bagi anak-anak kulit berwarna di Amerika (Buck, 2002, Simons, Finlay dan Yang, 1991). Pengalaman sekolah murid dari kelompok etnis yang berbeda juga berbeda satu sama lain (Reid dan Zalk, 2001; Yeakey dan Henderson, 2002). Misalnya, murid Afrika-Amerika dan Latino sedikit kemungkinannya ketimbang murid kulit putih non-Latino dan Asia-Amerika untuk masuk ke akademik, perguruan tinggi. Murid Asia-Amerika dianggap lebih berhasil dalam bidang matematika dan sains daripada murida dari etnis minoritas lainnya.
Murid Afrika- Amerika dua kali lebih besar kemungkinannya dikeluarkan dari sekolah dibandingkan murid dari Latino, Indian atau kulit putih. Etnis minoritas dari kulit berwarna merupakan bagian terbesar dalam 23 dari 25 sekolah distrik di Amerika Serikat. Tren ini cenderung meningkat (Banks, 1995). Akan tetapi 90 persen guru di sekolah Amerika adalah dari kalangan kulit putih non latino.

  1. PRASANGKA, DISKRIMINASI DAN BIAS PRASANGKA.
Prasangka adalah sikap negatif yang tidak adil terhadap orang lain karena keanggotaan individu itu dalam satu kelompok. Kelompok yang menjadi sasaran prasangka mungkin didefinisikan berdasarkan etnis, jenis kelamin, atau perbedaan lain yang melihat (Monteith, 2000).
Orang yang menentang prasangka dan diskriminasi sering punya pandangan yang sangat berbeda. Disatu sisi ada individu yang menghargai langkah-langkah yang memperjuangkan hak-hak sipil belakangan ini. Di sisi lain ada individu yang mengkritik sekolah Amerika dan institusi lain karena mereka percaya bahwa berbagai bentuk diskriminasi dan prasangka masih eksis di lembaga-lembaga tersebut (Jackson, 1997; Murrell, 2000).

Antropolog Amerika John Ogbu (1989; Ogbu dan Stren, 2001) mengemukakan, pandangan bahwa murid dari etnis minoritas masih menempatkan dalam posisi subordinat dan dieksplotasi di dalam sistem pendidikan Amerika. Dia percaya bahwa murid kulit berwarna, terutama Afrika-Amerika dan Latino hanya mendapatkan sedikit kesempatan memperoleh pendidikan yang lebih baik, diajar oleh gurunya dan staf sekolah yang kurang bermutu dan menghadapi stereotip negatif yang dikenakan pada kelompok etnis minoritas.
Psikolog pendidikan Margaret Beale Spencer (Spencer dan Dornbusch, 1990) percaya bahwa bentuk rasisme institusional masih banyak terjadi di sekolah Amerika. Karena itu, guru yang sebenarnya baik menjadi tidak bisa mengajak murid kulit berwarna untuk berprestasi. Guru ini secara tidak sadar menganggap bahwa anak-anak minoritas itu memang prestasinya tidak mungkin tinggi, dan karenanya tidak mengutamakan standar akademik yang tinggi bagi mereka.

  1. DIVERSITAS DAN PERBEDAAN
Pengalaman historis, ekonomi dan sosial telah melahirkan prasangka dan perbedaan antar kelompok etnis. Individu yang tinggal dalam kelompok etnis atau kultural tertentu menyesuaikan diri dengan nilai, sikap dan tekanan dari kultur tersebut. Perilaku mereka mungkin berbeda di antara mereka, tetapi bersifat fungsional buat mereka. Mengakui dan menghargai perbedaan ini merupakan aspek penting untuk berhubungan baik dengan dunia yang multi kultural dan beragam (Spencer, 2000).
Sayangnya, seringkali penekanan lebih diarahkan pada perbedaan antara etnis minoritas dengan mayoritas kulit putih. Penekanan ini lebih membahayakan individu kalangan minoritas. Semua perbedaan ini dianggap sebagai semacam kekurangan atau karakteristik inferior di pihak kelompok entis minoritas (Meece dan Kurtz-Costes, 2001).

  1. PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Pendidikan multikultural adalah pendididikan yang mengharagai perbedaan dan mewadahi beragam perspektif dari berbagai kelompok kultural. Tujuan penting dari pendidikan ini adalah pemerataan kesempatan bagi semua murid. Ini termasuk mempersempit gap dalam prestasi akademik antara murid kelompok utama dengan murid kelompok minoritas (Bennett, 2003; Pang, 2001; Schmidt dan Mosenthal, 2001).
Pendidikan multi kultural muncul dari hak-hak gerakan sipil  pada tahun 1960-an sebagai gerakan pemerataan kesetaraan dan keadilan sosial dalam masyarakat untuk wanita serta orang kulit berwarna. Sebagai sebuah bidang, pendidikan multikultural mencakup isu-isu yang berkaitan dengan status sosio-ekonomi, etnisitas dan gender. Karena keadilan sosial adalah suatu nilai dasar dari bidang ini,  maka reduksi prasangka dan pedagogi ekuitas menjadi komponen utamanya (Banks, 2001). Reduksi prasangka adalah aktivitas yang dimplementasikan guru di kelas untuk mengeliminasi pandangan negatif dan stereotip terhadap orang lain. Pedagogi ekuitas adalah modifikasi proses pengajaran dengan memasukkan materi dan strategi pembelajaran yang tepat baik itu untuk anak lelaki maupun perempuan dan untuk semua kelompok etnik.

  1. MEMBERDAYAKAN MURID
Istilah pemberdayaan (empowerment) berarti memberi orang kemampuan intelektual dan ketrampilan memecahkan masalah agar berhasil dan menciptakan dunia yang lebih adil.
Pada tahun 1960-an sampai 1980-an pendidikan multikultural dititikberatkan pada usaha memberdayakan murid dan memperbaiki representasi kelompok minoritas dan kultural dalam kurikulum dan bahan ajar (Schmidt, 2001). Menurut pandangan ini, sekolah harus memberi murid kesempatan untuk belajar tentang pengalaman, perjuangan dan visi dari berbagai kelompok kultural dan etnis yang berbeda-beda (Banks, 2001, 2002, 2003). Harapannya hal ini akan meningkatkan rasa harga diri minoritas, mengurangi prasangka dan memberikan kesempatan pendidikan yang lebih setara. Harapan lainnya akan membantu murid kulit putih menjadi lebih toleran kepada kelompok minoritas.
Pengajaran yang relevan secara kultural adalah aspek penting dari pendidikan multikultural (Gay, 2000; Irvine & Armento, 2001).  Pengajaran ini dimaksudkan untuk menjalin hubungan dengan latarbelakang kultur dari pelajar (Pang, 2001).
Pakar pendidikan multikultural percaya bahwa guru yang baik akan mengetahui dan mengintegrasikan pengajaran yang relevan secara kultural ke dalam kurikulum karena akan membuat pengajaran akan lebih efektif (Diaz, 2001). Beberapa penelitian menemukan bahwa murid dari kelompok yang sama dengan cara yang membuat beberapa tugas pendidikan menjadi sulit.
Jackie Irvine (1990) dan Janice Hale Benson (1982) mengamati bahwa murid Afrika-Amerika sering lebih ekspresif dan semangat besar. Murid jenis ini diberikan mereka untuk presentasi daripada ujian tulis. Sementara murid dari Asia-Amerika lebih menyukai pembelajaran visual ketimbang anak Eropa-Amerika (Litton, 1999; Park, 1997). Jadi murid seperti ini guru bisa menggunakan model tiga dimensional, grafik, foto, diagram dan tulisan di papan tulis.

  1. PENDIDIKAN BERPUSAT PADA ISU
Pendidikan yang berpusat pada isu merupakan aspek penting dari pendidikan multikultural. Dalam pendekatan ini, murid diajari secara sistematis untuk mengkaji isu-isu yang berkaitan dengan kesetaraan dan keadilan sosial. Pendidikan ini tidak hanya mengklarifikasi nilai, tetapi juga mengkaji alternatif dan konsekuensi dari pandangan tertentu yang dianut murid. Pendidikan yang berpusat pada isu terkait erat dengan pendidikan moral.

Sebuah studi komprehensif terhadap lebih dari 5000 anak grade lima dan 4000 anak grade sepuluh mengungkapkan bahwa proyek kurikulum multi etnis yang difokuskan pada isu etnis, kelompok kerja campuran, serta guru dan staf sekolah pendukung, telah membantu memperbaiki hubungan antar-etnis di kalangan murid (Forehand, Ragosta dan Rock, 1976).
Untuk memahami perspektif yang berbeda, murid harus dibiasakan untuk mempelajari orang dari sisi yang berbeda. Murid yang belajar berfikir kritis tentang relasi antar-etnis kemungkinan akan berkurang prasangkanya dan tidak lagi menstereotipkan orang lain.
Intelegensi emosional bermanfaat bagi hubungan antar-etnis. Orang yang memiliki kecerdasan ini berarti mempunyai kesadaran diri tentang emosi, mengelola emosi dan menangani hubungan.

  1. MENGURANGI BIAS
Louis Derman-Sparks dan Anti Bias Curriculum Task Force (1989) menciptkan sejumlah alat untuk membantu anak mengurangi, mengelola atau bahkan mengeleminasi bias. Pendukungnya berpendapat bawah kendati perbedaan itu baik, namun diskriminasi bukan sesuatu yang baik. Beberapa strategi antibias untuk guru adalah :
  1. Ciptakan lingkungan kelas anti bias dengan memasang gambar anak-anak dari berbagai latarbelakang etnis dan kultural.
  2. Piliha materi drama, seni dan aktivitas kelas yang memperkaya pemahaman etnis dan kultural.
  3. Gunakan boneka pesona untuk anak kecil. Enam belas boneka mewakilik latarbelakang yang berbeda.
  4. Lakukan dialog guru dan orangtua tentang masing-masing pandangan.
  5. Bantu murid menolak stereotip dan diskriminasi.

  1. MENINGKATKAN TOLERANSI
Teaching tolerance project menyediakan sumber daya dan materi kepada sekolah untuk meningkatkan pemahaman antarkultur dan hubungan antara anak kulit putih dan kulit berwarna (Heller dan Hawkins, 1994). Psikiater dari Yale, James Comer (1988; Comer, dkk., 1996) percaya bahwa tim komunitas merupakan cara terbaik untuk mendidik anak. Ada tiga aspek penting dari Comer Project yaitu : (1) pemerintah dan tim manajemen yang mengembangkan rencana sekolah yang komprehensif, penilaian strategis dan program pengembangan staf; (2) tim pendukung sekolah dan kesehatan mental; dan (3) program orang tua (Goldberg, 1997).
Program Comer menekankan pendekatan no-fault (yakni fokus pada pemecahan masalah, bukan saling menyalahkan), tidak ada keputusan kecuali konsensus. Comer percaya bahwa seluruh komunitas sekolah harus kooperatif bukan bersikap saling bermusuhan. Program ini belakangan dijalankan di lebih 6000 sekolah di 82 distrik di 26 negara bagian.

Salah satu sekolah pertama yang mengimplementasikan program Comer adalah SD Martin Luhter King, Jr du New Haven, Connecticut.  Pada awalnya program ini diterapkan nilai para siswa tertinggal dalam beberapa mata pelajaran seperti bahasa dan matematika. Namun setelah sepuluh tahun, nilai mereka mulai sama dengan nilai standar nasional dan setelah lima belas tahun nilainya di atas standar. Meskipun tidak ada perubahan sosioekonomi warga yang dihuni Afrika-Amerika dan miskin ini, tingkat bolos sekolah menurun dratis, problem perilaku berkurang banyak, partisipasi orangtua meningkat dan tidak ada lagi staf yang tidak betah.

  1. PROBLEM MULTIKULTURAL
Beberapa pendidik menentang penekanan pada pemberian informasi tentang kelompok etnis yang berbeda melalui kurikulum sekolah. Mereka juga menenatang pendidikan etnosentris yang menekankan pada kelompok minoritas non-Kulit Putih. Dalam salah satu proposal, Arthur Schlesinger (1991) mengatakan, semua murid seharusnya diajari seperangkat nilai inti, yang menurutnya berasal dari tradisi Anglo-Protestan Kulit Putih. Nilai-nilai inti mencakup saling menghargai hak individu dan toleransi pada perbedaan. Nilai tersebut juga terdapat di semua agama dan etnis. E.D Hirsch (1987), menekankan agar semua murid diajarkan inti pengetahuan kultural agar mereka melek budaya.

Pakar pendidikan multikultural James Branks (2001) memberikan strategi dalam pengajaran multikultural :
  1. Waspadalah terhadap isi rasis dalam materi pelajaran dan interaksi di kelas.
  2. Pelajari lebih banyak tentang kelompok etnis yang berbeda-beda.
  3. Peka terhadap sikap etnis murid dan jangan menerima keyakinan bahwa anak tidak melihat perbedaan warna kulit.
  4. Gunakan buku, film, video dan rekaman untuk menggambarkan perspektif etnis.
  5. Bersikaplah peka terhadap perkembangan kebutuhan murid Anda ketika memilih materi kultural.

  1. PERSAMAAN GENDER

Sajak J.O Halliwell abad ke-19 :
Dari apakah anak laki-laki diciptakan?
Kodok dan siput serta seekor anjing kecil
Dari apakah gadis kecil diciptakan?
Gula dan rempah serta semua hal yang manis-manis.
Gender adalah dimensi sosiokultural dan psikologis dari pria dan wanita. Istilah gender dibedakan dari istilah jenis kelamin (seks), karena hal itu berhubungan dengan dimensi biologis. Peran gender (gender role) adalah ekspektasi sosial yang merumuskan bagaimana pria dan wanita seharusnya berfikir, merasa dan berbuat.
Ada beragam pendapat tentang perkembangan gender. Yakni padangan biologis, sosialisasi dan pandangan kognitif. Pandangan biologis berpendapat, memperlakukan pria dan wanita karena jenis kelamin yang berbeda. Pada diri laku-laki ada hormon seks androgen yang mempengaruhi pada fungsi otak dan perilaku yang agresif hingga kepada perubahan fisik pria seperti punya otot yang kuat. Disisi lain, otak wanita (corpus collosum-serat masif yang menghubungkan dua belah otak),  lebih besar daripada pria sehingga lebih menyadari emosi dirinya dan orang lain daripada pria.
Sedangkan pandangan sosialisai terdapat dua teori di dalamnya yakni teori psikoanalitik gender dan teori kognitif sosial gender. Teori pertama dari pandangan Sigmund Frued bahwa anak-anak pra sekolah mengembangkan ketertarikan seksual kepada orangtuanya yang berjenis kelamin berbeda dengan dirinya. Sekitar umur lima hingga enam tahun , anak mengurangi ketertarikan ini karena perasaan gelisah. Anak kemudian mengidentifikasi dirinya dengan orangtua yang sesuai jenis kelaminnya. Kendati teori ini dibantah karena anak sadar gender ketika sudah berusia lima tahun.
Sementara teori kognitif sosial gender menekankan bahwa perkembangan gender anak terjadi melalui pengamatan dan peniruan perilaku gender serta melalui penguatan dan hukuman terhadap perilaku gender. Banyak orangtua mendorong anak gadis dan lelakinya untuk melakukan jenis permainan dan aktivitas yang berbeda (Lott dan Maluso, 2001).
Pandangan kognitif terhadap gender ada dua pendapat yaitu teori perkembangan kognitif dan teori skema gender. Teori perkembangan kognitif menyatakan bahwa anak mengadopsi suatu gender setelah mereka mengembangkan konsep gender, setelah sadar bahwa dirinya laki-laki dan perempuan. Teori ini dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg. 
Teori skema gender berpendapat bahwa perhatian dan perilaku individu dituntun oleh motivasi internal untuk menyesuaikan diri dengan standar sosiokultural berbasis gender dan stereotip gender. Anak siap memahami dan menata informasi berdasarkan apa yang dianggap tepat bagi pria dan wanita dalam suatu masyarakat (Rodgers, 2000).
Perbedaan gender tersebut sering menimbulkan negatif prasangka dan diskriminasi. Sexisme (sexism)  adalah prasangka dan diskriminasi terhadap individu karena jenis kelamin seseorang. Misalnya seorang wanita tidak bisa menjadi insiyur. (*)


  1. PENUTUP
Keragaman sosial dalam masyarakat secara langsung akan berdampak pada masalah pendidikan kepada anak. Warga Amerika yang memiliki heterogenitas sosial yang kompleks pada awal perkembangan pendidikan cukup berat menghadapi problem diskiriminasi sosial dalam mendidik anak. Namun kendala itu bisa diatasi melalui pendekatan sosia, psikologis dan politik, antara anak dan guru, sekolah dan orang tua, negara dan sekolah melalui diskusi, penelitian, program dan kebijakan.
Strategi dan program untuk sekolah tetap memperhatikan karakteristik warga sekolah, termasuk psikologis anak. Kurikulum yang dirancang juga harus memperhatikan multikultural anak didik, baik secara etnis, ras maupun gender. Sehingga proses pendidikan bisa berjalan dengan baik, nyaman dan terarah bagi semua pihak.

****Makalah disampaikan dalam mata kuliah Psikologi Pendidikan, : Prof. DR. Hj. Mintarsih, M.Pd dalam program Pascasarjana Kosentrasi Psikologi Pendidikan Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon tahun 2009.