(Sebuah Upaya Melegitimasi Budaya dan Apresiasi Membaca)
Oleh: DEWI PUJIATI, S.Pd
Pengalaman adalah guru terbaik bagi seseorang. Sering kita mendengar ungkapan seperti itu. Dan saya menyetujuinya seribu persen. Salah satu pengalaman yang sangat membekas bagi saya adalah mendapat short course ke Kota Adelaide,South Australia pada tahun 2013. Bukan untuk pamer pernah ke Luar Negeri, namun pengalaman berharga yang terekam oleh mata hati saya jauh lebih utama. Pengalaman yang begitu membekas dari banyaknya pengalaman lain perjalanan tersebut adalah, menyaksikan prosesi penyerahan medali seorang kepala sekolah kepada para siswa yang berhasil membaca banyak buku. Usut punya usut, kegiatan tersebut adalah Premier’s Reading Challenge (PRC). Yakni sebuah penghargaan membaca kepada para siswa dari seorang pemimpin. Program tahunan pemerintah South Australia sudah menjadi tradisi selama puluhan tahun.
Dari hasil bertanya, membaca dan pengamatan langsung pada perjalanan tersebut, mengendap menjadi pemahaman dalam diri, bahwa masyarakat yang literat adalah salah satu faktor utama majunya negara tersebut. Karena masyarakat literat berbanding lurus dengan kemajuan suatu bangsa.
Indonesia secara ekonomis diperkirakan akan merugi sekitar 10,7 milyar dolar atau lebih kurang 144 triliun rupiah karena masih tingginya tingkat iliterasi di Indonesia. “Potensi kerugian atau ongkos triliunan rupiah ini seharusnya menjadi catatan penting pemerintah untuk menjadikan literasi sebagai program prioritas dan tidak hanya sebagai bagian Permendikud tentang budi pekerti” (Jurnalpost.com)
Kajian tentang pentingnya literasi sebagai referensi, banyak kita dapatkan dari berbagai sumber. Pemahaman tentang kerugian sebagai dampak iliterasi pun banyak diulas oleh banyak pihak. Karena literasi bukan hanya tentang kemampuan membaca dan menulis, namun kemampuan baca tulis atau literasi dasar, sehingga seseorang mampu mentransfernya menjadi sebuah keterampilan hidup yang berimbas kepada produktif dan positif sebuah pribadi. Dari hasil membaca dan pengamatan, seruan dan banyak program terobosan disusun untuk meminimalisir iliterasi di atas oleh berbagai pihak terkait. Namun lagi-lagi semua tidak lantas semudah seperti membalikkan tangan. Saat ini, menjadikan membaca menjadi budaya laksana api jauh dari panggang. Masih seumur jagungnya program Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang digulirkan pemerintah bisa menjadi barometernya.
Fakta tentang masih tingginya iliterasi tentunya menjadi pekerjaan rumah yang harus segera masif dilakukan semua pihak.. Sampai akhirnya sejak tahun 2014, saya pun menggagas sebuah adaptasi kegiatan apresiasi membaca di tempat saya mengabdi sebagai pendidik yakni SDN Kalijaga Permai. Tantangan membaca berasal dari pemimpin sekolah yaitu kepala sekolah. Oleh sebab itu kegiatan pun saya beri nama Principal Reading Challenge (PRC), yaitu tantangan membaca dari kepala sekolah. Kegiatan tersebut adalah bagian dari penerjemahan saya terhadap “budaya dibangun oleh sebuah apresiasi budaya”. Sehingga mengapresiasi kemampuan literasi dasar pada anak-anak saya anggap penting sebagai dasar pembentukan budaya yang berlaku pada diri mereka sebagai pribadi maupun kelompok kelak.
Dua tahun lebih saya mencoba menjalankan kegiatan apresiasi kebiasaan membaca yang saya yakini memberikan efek besar kepada peningkatan kemampuan metakognitif siswa. Tidak bisa dilihat secara cepat hasilnya. Dari testimoni dan beberapa analisa, program kegiatan apresiasi keberhasilan tantangan membaca berdampak sangat kuat kepada pembentukan generasi unggul. Generasi unggul adalah syarat dasar untuk kemajuan bangsa. Seperti kisah heroik pemuda pemudi Indonesia pada masa kebangkitan yang melahirkan sumpah pemuda, delapan puluh Sembilan tahun yang lalu. Dan seperti kita ketahui mereka adalah tokoh-tokoh terpelajar yang begitu dekat dan pastinya terinspirasi dari buku.
Berdasar kesadaran dan upaya pembuktian di atas, tidak berlebihan pabila saya mengajak semua pihak terkait, utamanya lembaga pendidikan untuk menjadikan apresiasi kepada keberhasilan tantangan membaca menjadi program utama, bersama dan terstruktur.Mendapat keberpihakkan nyata dari lembaga terkait, khususnya dinas pendidikan adalah tujuan besar tulisan saya. Bukan hanya sekedar mengikuti arus kebiijakan dari atas seperti tertuang dalam Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Namun lebih kepada upaya sadar bersama membentuk budaya yang begitu menjadi syarat utama bagi kebangkitan bangsa.
(penulis adalah Pengajar di SDN Kalijaga Permai)