Oleh :
Deny Rochman, S.Sos., M.Pd.I
Semua siswa pasti lulus sekolah, karena Ujian Nasional (UN) tidak
lagi menjadi syarat utama kelulusan berapa pun nilai yang diperoleh. Namun meraih
nilai tinggi Ujian Nasional (UN) masih menjadi obsesi besar para siswa,
khususnya siswa sekolah menengah pertama (SMP). Mimpi serupa terbenam dalam
benak orangtua mereka, bahkan guru dan kepala sekolah. Mereka semua berlomba-lomba
bagaimana melakukan upaya agar dapat meraih nilai besar UN.
Sekalipun dijamin kelulusan sekolah, namun toh tetap saja tidak
sedikit siswa berurai air mata setelah menerima pengumuman hasil UN. Menangis
karena terharu mendapatkan nilai sesuai target, tetapi ada juga yang sedih dan
kecewa karena nilainya tidak sesuai harapan. Mereka yang kecewa berat adalah
siswa pintar namun hasil akhir nilainya minim.
Sementara ada siswa yang tetap tenang karena bagi mereka lulus
sekolah saja sudah cukup, tidak ingin berlama-lama bernostalgia di SMP. Dibalik
itu ditemui juga beberapa siswa yang riang tersenyum dalam kegembiraan karena
meraih nilai besar, kendati dalam proses belajar tiga tahun di sekolah kategori
anak yang biasa-biasa saja. Siswa yang kecewa kebahagiaan temannya tersebut
dianggap kecerdasan semu.
Pemandangan itu masih dijumpai dalam potret UN tahun 2016 ini, walaupun
UN tidak sesakral dua tahun sebelumnya. Secara
resmi, Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Dinas
Pendidikan di setiap daerah mengumumkan hasil UN SMP pada Sabtu 11 Juni 2016. Pengumuman
tersebut di setiap sekolah berbeda, ada yang melalui orang tua tetapi ada juga
langsung oleh siswa.
MEMBELENGGU
Pelaksanaan UN memang tidak sesakral tahun-tahun sebelumnya. Namun
hasil nilai UN tinggi masih menjadi harapan besar bagi siswa dan orangtua. Bagaimana
nasib mata pelajaran lain? Minggir dulu. Sekolah-sekolah negeri lanjutan masih
menetapkan nilai UN sebagai syarat bagi siswa SMP melanjutkan ke sekolah
SMA/SMK atau sederajat. Syarat ini menjadi pemicu andrenalin siswa dan orangtua
dalam menarget nilai besar.
Pemerintah tampaknya masih setia dengan pola lama sistem evaluasi
pendidikan nasional kendati semakin semu polanya. Di satu pihak nilai UN tidak
menjadi syarat mutlak kelulusan siswa. Kelulusan siswa ditentukan oleh pihak
sekolah, dengan empat variable penentu seperti siswa telah mengikuti kegiatan
belajar selama tiga tahun. Kedua, mendapatkan minimal baik dalam mata pelajaran
sikap dan perilaku. Ketiga dan keempat lulus ujian sekolah dan ujian nasional.
Ketentuan itu tertuang dalam Permendikbud Nomor 57 Tahun 2015 tentang Penilaian Hasil Belajar
Ujian Nasional dan Ujian Sekolah. Dalam Prosedur Operasional Standar
Penyelenggaraan Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2015/2016 hanya menyebutkan kriteria
pencapaian kompetensi lulusan siswa berdasarkan UN. POS yang dilegalkan dalam Peraturan
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Nomor 0034/P/BSNP/XII/2015 mengkelompokkan
nilai UN berdasarkan skala.
Skala dengan rentang raihan nilai UN 85-100 kategorinya sangat
baik (A). Kategori baik (B) jika siswa memperoleh nilai 70-85, kategori cukup
(C) jika siswa memperoleh nilai 55-70, dan kategori kurang jika nilai kurang
dari 55 (D). Bagaimana apakah siswa tetap lulus kategori kurang (D) ? Sesuai
ketentuan yang ada siswa tersebut tetap boleh melanjutkan pendidikan ke jenjang
berikutnya. Kekurangan nilai yang ada atau jika ingin memperbaikai nilai yang
ada, siswa bersangkutan boleh mengikuti UN perbaikan nilai yang sudah
ditetapkan pemerintah.
Pola ujian seperti itu menunjukan kecerdasan siswa seakan
terbelenggu dengan nilai UN yang hanya mengujikan empat mata pelajaran yaitu Bahasa
Indonesia, Bahasa Inggris, IPA dan Matematika. Pemerintah masih mengabaikan
kecerdasan majemuk yang dimiliki masing-masing siswa yang berbeda. Padahal kesuksesan
masa depan siswa ditentukan oleh banyak factor kecerdasan.
Sistem dan mekanisme UN tersebut terasa masih memposisikan UN sebagai
kunci kesuksesan studi siswa ke jenjang berikutnya. Kebijakan tersebut seolah
mencederai mata pelajaran yang lain dalam posisi kurang penting. Perdebatan klise
dan klasik adalah kecerdasan siswa diukur dalam empat pelajaran yang di-UN-kan.
Isu besar yang mendorong pemerintah agar menghentikan atau meniadakan UN pada
tahun-tahun sebelumnya.
MERUSAK SISTEM
Perlunya nilai besar UN agar siswa bisa punya pilihan melanjutkan
sekolah yang dituju. Pada bagian lain, dengan nilai besar orangtua diharapkan tidak
terperangkap pusaran mafia pendidikan penerimaan peserta didik baru yang sudah
menjadi rahasia publik. Paling tidak dana yang harus dikeluarkan untuk biaya
sekolah anaknya tidak sebesar jika anaknya memiliki nilai yang kecil.
Banyak upaya untuk meraih nilai besar. Mulai cara sehat hingga
niat tidak baik. Mereka yang mau berporses positif lebih mengandalkan mengikuti
program pengayaan UN di sekolah, mendaftar di lembaga bimbingan belajar, menambah
waktu les dengan guru yang diujikan nasional.
Tetapi ada juga sejak awal sudah berniat tidak baik memuluskan
jalan puteranya dengan segala pendekatan dan modus agar anaknya bisa lulus
dengan nilai sangat baik. Orangtua yang lincah ini tahu di dalam dunia
pendidikan kita masih ada oknum yang bisa mereka mainkan. Herannya masih ada
juga pihak sekolah yang masih bermain dipusaran ini demi reputasi akademik sekolahnya.
Tak cukup nilai tinggi UN, tak punya banyak uang, tak memiliki
prestasi lain, namun masih ada jalan tikus lain untuk menggoalkan anaknya masuk
sekolah negeri pilihan. Jalur keluarga miskin sering dimanfaatkan para
penumpang liar agar mulus dari penjaringan siswa baru. Sementara mereka siswa
miskin akses begitu mudah tersisih. Bersekolah di negeri menjadi pilihan banyak
orangtua sekalipun harus memaksakan kehendak melalui tangan-tangan oknum.
Membengkaknya (overload)
jumlah siswa di sekolah-sekolah negeri menjadi bencana bagi sekolah-sekolah
swasta. Bahkan trennya, persaingan PPDB juga terjadi antar sekolah negeri favorit
dan tidak, daerah pusat kota dan pinggiran. Persaingan sesama sekolah swasta
jauh lebih ketat dan cenderung tidak sehat. Bajak membajak siswa. Iming-iming
fee, hadiah atau bonus lainnya sering dijanjikan kepada mereka yang bisa
mendaftarkan siswa barunya ke sekolahnya.
Potret buram pendidikan ini hampir menyebar terjadi di sejumlah
daerah di Indonesia. Di daerah Yogyakarta sebagai kota pelajar, misalnya, dikabarkan
marak orangtua yang nitip anaknya melalui kartu keluarga untuk keperluan PPDB. Beberapa
daerah, termasuk di Kota Cirebon, memang memiliki persyaratan lampiran kartu
keluarga. Tujuan pemda untuk memprioritaskan warganya menikmati fasilitas
pendidikan kotanya.
Wajah pendidikan nasional bangsa kita masih penuh komedo dan
jerawat. Tampaknya perlu ada upaya radikal, sudah tidak perlu cara reformasi
biasa, dalam membenahi sistem pendidikan nasional. Masalah UN adalah satu dari
banyak masalah pendidikan negeri ini. Yang sangat terasa, sistem pendidikan
banyak dipengaruhi oleh sistem politik yang berkembang di Indonesia, sehingga
pelaksanaan UN terasa membelenggu siswa. (*)
*) Penulis adalah Pengurus Forum Guru
IPS Seluruh Indonesia (FOGIPSI)