Juni 11, 2016

TERBELENGGU NILAI UJIAN NASIONAL

Oleh :
Deny Rochman, S.Sos., M.Pd.I


Semua siswa pasti lulus sekolah, karena Ujian Nasional (UN) tidak lagi menjadi syarat utama kelulusan berapa pun nilai yang diperoleh. Namun meraih nilai tinggi Ujian Nasional (UN) masih menjadi obsesi besar para siswa, khususnya siswa sekolah menengah pertama (SMP). Mimpi serupa terbenam dalam benak orangtua mereka, bahkan guru dan kepala sekolah. Mereka semua berlomba-lomba bagaimana melakukan upaya agar dapat meraih nilai besar UN.

Sekalipun dijamin kelulusan sekolah, namun toh tetap saja tidak sedikit siswa berurai air mata setelah menerima pengumuman hasil UN. Menangis karena terharu mendapatkan nilai sesuai target, tetapi ada juga yang sedih dan kecewa karena nilainya tidak sesuai harapan. Mereka yang kecewa berat adalah siswa pintar namun hasil akhir nilainya minim.

Sementara ada siswa yang tetap tenang karena bagi mereka lulus sekolah saja sudah cukup, tidak ingin berlama-lama bernostalgia di SMP. Dibalik itu ditemui juga beberapa siswa yang riang tersenyum dalam kegembiraan karena meraih nilai besar, kendati dalam proses belajar tiga tahun di sekolah kategori anak yang biasa-biasa saja. Siswa yang kecewa kebahagiaan temannya tersebut dianggap kecerdasan semu.

Pemandangan itu masih dijumpai dalam potret UN tahun 2016 ini, walaupun UN tidak sesakral dua tahun sebelumnya.  Secara resmi, Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Dinas Pendidikan di setiap daerah mengumumkan hasil UN SMP pada Sabtu 11 Juni 2016. Pengumuman tersebut di setiap sekolah berbeda, ada yang melalui orang tua tetapi ada juga langsung oleh siswa.

MEMBELENGGU
Pelaksanaan UN memang tidak sesakral tahun-tahun sebelumnya. Namun hasil nilai UN tinggi masih menjadi harapan besar bagi siswa dan orangtua. Bagaimana nasib mata pelajaran lain? Minggir dulu. Sekolah-sekolah negeri lanjutan masih menetapkan nilai UN sebagai syarat bagi siswa SMP melanjutkan ke sekolah SMA/SMK atau sederajat. Syarat ini menjadi pemicu andrenalin siswa dan orangtua dalam menarget nilai besar.

Pemerintah tampaknya masih setia dengan pola lama sistem evaluasi pendidikan nasional kendati semakin semu polanya. Di satu pihak nilai UN tidak menjadi syarat mutlak kelulusan siswa. Kelulusan siswa ditentukan oleh pihak sekolah, dengan empat variable penentu seperti siswa telah mengikuti kegiatan belajar selama tiga tahun. Kedua, mendapatkan minimal baik dalam mata pelajaran sikap dan perilaku. Ketiga dan keempat lulus ujian sekolah dan ujian nasional.

Ketentuan itu tertuang dalam Permendikbud Nomor 57 Tahun 2015 tentang Penilaian Hasil Belajar Ujian Nasional dan Ujian Sekolah. Dalam Prosedur Operasional Standar Penyelenggaraan Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2015/2016 hanya menyebutkan kriteria pencapaian kompetensi lulusan siswa berdasarkan UN. POS yang dilegalkan dalam Peraturan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Nomor 0034/P/BSNP/XII/2015 mengkelompokkan nilai UN berdasarkan skala.

Skala dengan rentang raihan nilai UN 85-100 kategorinya sangat baik (A). Kategori baik (B) jika siswa memperoleh nilai 70-85, kategori cukup (C) jika siswa memperoleh nilai 55-70, dan kategori kurang jika nilai kurang dari 55 (D). Bagaimana apakah siswa tetap lulus kategori kurang (D) ? Sesuai ketentuan yang ada siswa tersebut tetap boleh melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Kekurangan nilai yang ada atau jika ingin memperbaikai nilai yang ada, siswa bersangkutan boleh mengikuti UN perbaikan nilai yang sudah ditetapkan pemerintah.  

Pola ujian seperti itu menunjukan kecerdasan siswa seakan terbelenggu dengan nilai UN yang hanya mengujikan empat mata pelajaran yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, IPA dan Matematika. Pemerintah masih mengabaikan kecerdasan majemuk yang dimiliki masing-masing siswa yang berbeda. Padahal kesuksesan masa depan siswa ditentukan oleh banyak factor kecerdasan.

Sistem dan mekanisme UN tersebut terasa masih memposisikan UN sebagai kunci kesuksesan studi siswa ke jenjang berikutnya. Kebijakan tersebut seolah mencederai mata pelajaran yang lain dalam posisi kurang penting. Perdebatan klise dan klasik adalah kecerdasan siswa diukur dalam empat pelajaran yang di-UN-kan. Isu besar yang mendorong pemerintah agar menghentikan atau meniadakan UN pada tahun-tahun sebelumnya.

MERUSAK SISTEM
Perlunya nilai besar UN agar siswa bisa punya pilihan melanjutkan sekolah yang dituju. Pada bagian lain, dengan nilai besar orangtua diharapkan tidak terperangkap pusaran mafia pendidikan penerimaan peserta didik baru yang sudah menjadi rahasia publik. Paling tidak dana yang harus dikeluarkan untuk biaya sekolah anaknya tidak sebesar jika anaknya memiliki nilai yang kecil.  

Banyak upaya untuk meraih nilai besar. Mulai cara sehat hingga niat tidak baik. Mereka yang mau berporses positif lebih mengandalkan mengikuti program pengayaan UN di sekolah, mendaftar di lembaga bimbingan belajar, menambah waktu les dengan guru yang diujikan nasional.

Tetapi ada juga sejak awal sudah berniat tidak baik memuluskan jalan puteranya dengan segala pendekatan dan modus agar anaknya bisa lulus dengan nilai sangat baik. Orangtua yang lincah ini tahu di dalam dunia pendidikan kita masih ada oknum yang bisa mereka mainkan. Herannya masih ada juga pihak sekolah yang masih bermain dipusaran ini demi reputasi akademik sekolahnya.

Tak cukup nilai tinggi UN, tak punya banyak uang, tak memiliki prestasi lain, namun masih ada jalan tikus lain untuk menggoalkan anaknya masuk sekolah negeri pilihan. Jalur keluarga miskin sering dimanfaatkan para penumpang liar agar mulus dari penjaringan siswa baru. Sementara mereka siswa miskin akses begitu mudah tersisih. Bersekolah di negeri menjadi pilihan banyak orangtua sekalipun harus memaksakan kehendak melalui tangan-tangan oknum.

Membengkaknya (overload) jumlah siswa di sekolah-sekolah negeri menjadi bencana bagi sekolah-sekolah swasta. Bahkan trennya, persaingan PPDB juga terjadi antar sekolah negeri favorit dan tidak, daerah pusat kota dan pinggiran. Persaingan sesama sekolah swasta jauh lebih ketat dan cenderung tidak sehat. Bajak membajak siswa. Iming-iming fee, hadiah atau bonus lainnya sering dijanjikan kepada mereka yang bisa mendaftarkan siswa barunya ke sekolahnya.

Potret buram pendidikan ini hampir menyebar terjadi di sejumlah daerah di Indonesia. Di daerah Yogyakarta sebagai kota pelajar, misalnya, dikabarkan marak orangtua yang nitip anaknya melalui kartu keluarga untuk keperluan PPDB. Beberapa daerah, termasuk di Kota Cirebon, memang memiliki persyaratan lampiran kartu keluarga. Tujuan pemda untuk memprioritaskan warganya menikmati fasilitas pendidikan kotanya.    

Wajah pendidikan nasional bangsa kita masih penuh komedo dan jerawat. Tampaknya perlu ada upaya radikal, sudah tidak perlu cara reformasi biasa, dalam membenahi sistem pendidikan nasional. Masalah UN adalah satu dari banyak masalah pendidikan negeri ini. Yang sangat terasa, sistem pendidikan banyak dipengaruhi oleh sistem politik yang berkembang di Indonesia, sehingga pelaksanaan UN terasa membelenggu siswa. (*)

*) Penulis adalah Pengurus Forum Guru IPS Seluruh Indonesia (FOGIPSI)