Judul Buku : Mereka Besar Karena Membaca
Penulis ; Suherman, M.Si
Penerbit : Literate Publishing Bandung
Halaman : xii + 278
Harga : Rp. 50.000,-
Buku ini buku hebat. Hebat judulnya yakni “Mereka Besar karena Membaca”. Hebat topiknya karena mengingat masyarakat akan pentingnya membaca. Hebat penulisnya karena Suherman adalah manusia pilihan Jawa Barat yang melejit terpilih sebagai pustakawan terbaik se- Asia Tenggara. Hebat isinya karena mengulas tokoh-tokoh besar yang menggucang dunia dengan leadershipnya.
Tidak hanya tokoh dalam negeri yang diulas dalam buku
Literate Publishing Bandung ini. Tetapi tokoh-tokoh dunia dalam latar belakang
politik yang berbeda di kupas habis. Nama-nama tokoh dalam negeri misalnya
Soekarno, Bung Hatta, Tan Malaka, Gus Dur dan Ajip Rosidi. Sementara tokoh
dunia yang besar karena gila membaca antara lain Karl Marx, Stalin, Mao,
Hitler, Gandhi, Hasan Al Bana, Malcolm X, Khomeini. Ada juga Che dan Fidel,
Jobs dan Barack Obama, Presiden Amerika.
Buku ini saya peroleh langsung dari sang penulis saat
penutupan Workshop guru penggerak literasi se-Jawa Barat yang diadakan oleh
Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat di Lembang Bandung, 1-3 Juni 2016. Kendati
buku terbitan tahun 2012 namun spirit pembangun jiwanya masih terus relevan,
sejalan masih lesunya semangat budaya literasi negeri ini.
Suherman, sang penulis buku menilai, para tokoh nasional dan
dunia itu mereka dibesarkan berkat hobi membacanya. Dengan membaca, Karl Marx
menjadi tokoh komunis mendunia dengan bukunya berjudul “Das Kapital”.
Kecintaannya terhadap ilmu tidak membuat dirinya kecil hati hidup dalam
kemiskinan. Namun keterbatasan ekonomi keluarganya tidak menyurutkan Marx untuk
terus belajar, belajar dan belajar hingga dikenal sebagai ilmuwan ilmu sosial.
Begitu juga dengan Stalin, Mao dan Hitler, dibalik sikap
otoriter dan tiran selama menjadi pemimpin negaranya, mereka tumbuh menjadi
manusia yang kuat, visioner dan idealis dalam perspektifnya berkat tradisi kuat
membaca. Bahkan politisi Amerika Serikat Malcolm X, dari seorang anak miskin,
berandal dan criminal ia berubah menjadi manusia yang cerdas dan terkenal sejak
sering membaca. Hobi baca warga keturunan negro ini mulai meningkat saat berada
di penjara. Kenakalan masa remajanya membuat Malcolm harus berurusan dengan
hukum.
Tidak hanya Malcolm X yang merasakan nikmatnya membaca di
penjara, sebelum hidupnya harus terhenti oleh timah panas lawan politiknya saat
berpidato. Beberapa tokoh lainnya, seperti Hasan Al Bana, Soekarno, Tan Malaka,
dan tokoh lainnya saat di sel malah cukup banyak waktu untuk mencerdaskan diri
dengan membaca dan menulis. Melalui penjara, ada orang yang menemukan jati
dirinya. Ada juga semakin meningkatkan kemampuan intelektualnya sampai
kematiannya pun, seperti dialami Mao.
Mao, pemimpin China
yang meregang nyawanya sambil membaca. Bahkan Tan Malaka pernah menulis: “Penjara,
pengasingan, pembuangan, dan penyakit akut tak pernah akan mampu membuat aku
berhenti menulis. Hanya kematian yang bisa menghentikan aku menulis.”
Buku setebal 390 halaman tersebut menegaskan kepada kita
semua : (1) Dengan membaca, akan merubah pola pikir, kepribadian dan sikap
seseorang sehingga menjadi orang yang berfikir besar dan luas; (2) Budaya
literasi, menulis dan membaca tumbuh dan berkembang dari kebiasaan keluarga
yang diwariskan kepada anak-anaknya; (3) Kemampuan akal dalam belajar, harus
diimbangi dengan ketrampilan spiritualnya. Banyak tokoh komunis, sosialis yang
cerdas namun berwatak tirani, otoriter dalam kepemimpinannya.Berbalik dengan
tokoh yang berbasis keagamaan yang kuat ia tumbuh menjadi pemimpin yang
humanis.
(4) Penderitaan yang dialami seseorang bukan menjadi alasan
untuk tidak bisa pintar, bahkan harusnya menjadi motivasi untuk belajar dan
berkembang. Jangan menyalahkan takdir kita dilahirkan miskin, tetapi sesali
mengapa kita hidup tidak bisa lepas dari kemiskinan. Justeru kegilaan membaca
membuat banyak tokoh dunia yang lahir dalam kemiskinan namun bisa menjadi orang
besar.
“Buku putih” Suherman ini sangat layak untuk dibaca oleh
masyarakat Indonesia yang semakin malas mengenal buku. Padahal banyak negara
maju berangkat dari budaya literasi yang baik, dimana budaya membaca
masyarakatnya sangat bagus. Sebagai contoh negara Jepang, China, India atau
peradaban Yunani, Mesir dan sebagainya. Berbeda dengan negara kita budaya
literasi dilemahkan dengan budaya lisan dan nonton. Ataukah ini yang disindir
oleh Ajip Rosidi, jika pemerintah tak menganggap penting masyarakat gemar
membaca dan membiarkannya bodoh.
Koreksi buku ini terletak pada ketikan yang dijumpai salah di
banyak halaman. Judul bukunya hanya membidik kemampuan membaca, padahal para
tokoh menjadi besar tidak melulu semuanya berkat membaca tetapi juga disertai
menulis. Karena penulis yang baik biasanya karena memiliki kebiasaan membaca
yang baik. (denyrochman)