Oleh :
Deny Rochman, S.Sos., M.Pd.I
Kekerasan
di dunia pendidikan kembali menjadi perhatian publik di wilayah Cirebon. Media massa
lokal rame-rame memberitakan seorang guru di Kota Cirebon dilaporkan oleh
siswanya ke pihak Kepolisian. Diduga guru itu telah melakukan penganiyaan
terhadap siswa tersebut hingga mengakibatkan luka berdarah dibagian telinga
siswa. Di banyak tempat, di bulan tahun berbeda kekerasan di lingkungan sekolah
terus berlangsung, malah ada yang sampai meninggal dunia.
Pemberitaan
kekerasan di dunia pendidikan di negeri ini memang bukan barang baru. Ada yang
berpendapat, fenomena kekerasan di sekolah bagaikan fenomena gunung es. Kasus yang
terungkap ke permukaan itu hanya beberapa dari sekian banyak kasus yang
dikategorikan kekerasan. Jika itu benar, sungguh ironis jika lembaga mulia
seperti sekolah sangat rentan dengan budaya kekerasan, lebih-lebih yang menjadi
korban adalah siswa.
Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat dalam situs resminya (kpai.go.id) dari
2011 sampai 2014, terjadi peningkatan yang signifikan. Dalam banyak kasus, anak
bisa menjadi korban ataupun pelaku kekerasan terjadi di lingkungan
keluarga (91%), di lingkungan sekolah (87,6%) dan di lingkungan masyarakat
(17,9%).
Data serupa
disampaikan LSM Plan International dan International Center for Research on
Women (ICRW) yang dirilis awal Maret 2015 ini. Terdapat 84% anak di Indonesia
mengalami kekerasan di sekolah. Angka tersebut lebih tinggi dari tren di lima
negara Asia yakni 70%, yaitu negara Vietnam, Kamboja, Nepal dan Pakistan.
Data di
atas menunjukkan seakan orangtua tidak ada harapan baik untuk masa depan anak. Sekolah
yang diharapkan sebagai benteng pertahanan anak dari gempuran berbagai budaya
dan perilaku merusak bagi anak toh akhirnya juga tidak mampu bertahan. Benarkah
sekolah menjadi lembaga pendidikan yang mencemaskan bagi anak-anak dididiknya?
KORBAN KEKERASAN
Secara normatif
tidak ada sekolah yang buruk, yang mengajarkan atau membiarkan anak didiknya
dalam lingkungan kekerasan. Entah kepala sekolah, guru, tata usaha maupun
siswanya. Jika realitanya di sekolah berkembang budaya kekerasan, baik verbal maupun
non verbal lebih kepada kegagalan stakeholder lembaga pendidikan tersebut dalam
menjalankan misi pendidikan bagi anak didiknya.
Dengan kata
lain, terjadinya kasus kekerasan atau lebih ekstrem lagi lahirnya budaya
kekerasan di lingkungan sekolah merupakan efek dari lingkungan sosial di luar
sekolah. Apakah itu lingkungan keluarga, seperti data survai di atas atau lingkungan
masyarakat, termasuk pengaruh teman sebaya. Didukung lagi gencarnya media massa
khususnya tayangan hiburan televisi, film, internet dan lainnya yang
menyuguhkan kehidupan beroma kekerasan. Disinilah sekolah sebagai miniatur potret
masyarakat. Kondisi sosial yang terjadi di masyarakat, akan berdampak kepada
kehidupan sosial di sekolah.
Begitu banyak
survai dan hasil penelitian yang menyebutkan dampak tayangan televisi dan atau
media massa terhadap perilaku agresif dan kekerasan terhadap anak. Celakanya, televisi,
internet dan gadget kini menjadi teman setia anak-anak di kala orangtua mereka
sibuk dengan dunianya. Hasil penelitian di Jakarta misalnya, pada tahun 2002 anak
dalam seminggu menghabiskan 30-35 jam menonton TV. Pada tahun 2006 kebiasan itu
terus meningkat 35-40 jam dalam seminggu.
Jika dikalkulasikan
dalam pertahun, anak hidup bersama TV selama 1.600 jam dibandingkan berada di
lingkungan sekolah hanya 800 jam. Kebiasaan itu diperburuk lagi karena saat
menonton televisi anak lebih memilih sendiri daripada didampingi oleh
orangtuanya. Jumlah media hiburan pun semakin bertambah dan beragam. Realitas ini menggambarkan bahwa persoalan budaya kekerasan akan
menjadi ancaman serius di masa mendatang bagi keluarga dan sekolah, seiring
makin beragam dan majunya perkembangan teknologi komunikasi dan informasi.
Korban efek
negative media kekerasan itu begitu massif. Tidak saja anak-anak tetapi juga
orang dewasa, termasuk guru di dalamnya. Alhasil dalam lingkungan sekolah, aktor
kekerasan kerap silih berganti. Pada satu waktu aktornya guru terhadap siswa, lain
waktu siswa dengan siswa, pernah waktu lain siswa terhadap guru. Jika kondisi
ini dibiarkan maka akan tercipta masyarakat yang anarkhis. Sungguh menakutkan!
PROTEKSI ANAK
Masa depan
bangsa terletak pada pola pendidikan anak. Pendidikan anak sejatinya tanggung
jawab utama orangtua yang diberikan amanat oleh Tuhan. Namun Pemerintah memiliki
kepentingan terhadap kualitas masa depan anak-anak. Maka, melalui sekolah
menjadi tumpuan bagi masyarakat dalam memproteksi anak dari bahaya budaya yang
merusak masa depan mereka. Pada akhirnya semua pihak ikut bertanggug jawab
terhadap keselamatan anak.
Tinggal sekarang,
bagaimana orangtua, sekolah dan pemerintah saling menguatkan kerjasama dalam
mendidik anak-anak tunas bangsa dengan cara dan metodenya masing-masing. Jika ada
persoalan yang menimpa anak di sekolah, tidak kemudian seenaknya orangtua
menghakimi guru tanpa ada tahapan solusi dalam menyelesaikan masalah. Apalagi langsung
dibawa ke ranah hukum pidana karena dianggap tindakan guru kategori kriminal.
Orangtua harus
mulai memperketat pola pengawasan terhadap pergaulan anaknya. Diluar sana
begitu banyak “orangtua” tandingan yang ikut mengasuh, mendidik, mempengaruhi
anak sesuai selera mereka dengan mengabaikan norma positif yang berlaku. Orangtua
tandingan itu bisa berupa teknologi, teman, media massa atau bentuk lainnya
yang akan diikuti oleh anak-anak. Orangtua mulai mengenali lebih dekat dunia
anaknya, termasuk siapa kawan-kawan di sekitarnya. Tidak saja sesama anaknya
yang berteman, para orangtua pun harus melakukan pertemanan sesama mereka. Jika
orangtua sentimen kepada guru, lalu mau kemana lagi anaknya di sekolahkan?
Peran sekolah
harus merevitalisasi diri sebagai agen pendidikan sekunder. Ciptakan aturan-aturan
normatif tertulis yang bisa membentengi anak didiknya dari pengaruh budaya
jahat. Aturan tertulis tersebut harus jelas, tegas dan terukur kemudian
disosialisasikan kepada pihak orangtua siswa. Jika kemudian hari anak didiknya
terjadi permasalahan maka tidak ada lagi yang main hakim sendiri karena
standarisasi hukumannya sudah diketahui bersama. Sekolah harus responsive dan persuasive
menghadapi kebebasan masyarakat era reformasi ini.
Pemerintah memilik
tanggung jawab besar dalam melindungi rakyatnya dari kehancuran moral
spiritual. Melalui kebijakannya Pemerintah bisa menyaring atau bahkan membatasi
berbagai budaya tidak sesuai dengan norma yang masuk ke Indonesia dalam beragam
bentuk dan media. Apalagi di era globalisasi dan keterbukaan peran Negara harus
diperkuat jika rakyatnya tidak ingin kehilangan identitas diri sebagai bangsa
timur, beragama dan beradab. (*)
*) Penulis adalah Magister Psikologi Pendidikan Islam
IAIN Syekh Nurjati Cirebon