Februari 27, 2016

SEKOLAH KORBAN BUDAYA KEKERASAN

Oleh :
Deny Rochman, S.Sos., M.Pd.I

Kekerasan di dunia pendidikan kembali menjadi perhatian publik di wilayah Cirebon. Media massa lokal rame-rame memberitakan seorang guru di Kota Cirebon dilaporkan oleh siswanya ke pihak Kepolisian. Diduga guru itu telah melakukan penganiyaan terhadap siswa tersebut hingga mengakibatkan luka berdarah dibagian telinga siswa. Di banyak tempat, di bulan tahun berbeda kekerasan di lingkungan sekolah terus berlangsung, malah ada yang sampai meninggal dunia.

Pemberitaan kekerasan di dunia pendidikan di negeri ini memang bukan barang baru. Ada yang berpendapat, fenomena kekerasan di sekolah bagaikan fenomena gunung es. Kasus yang terungkap ke permukaan itu hanya beberapa dari sekian banyak kasus yang dikategorikan kekerasan. Jika itu benar, sungguh ironis jika lembaga mulia seperti sekolah sangat rentan dengan budaya kekerasan, lebih-lebih yang menjadi korban adalah siswa.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat dalam situs resminya (kpai.go.id) dari 2011 sampai 2014, terjadi peningkatan yang signifikan. Dalam banyak kasus, anak bisa menjadi korban ataupun pelaku kekerasan terjadi di lingkungan keluarga (91%), di lingkungan sekolah (87,6%) dan di lingkungan masyarakat (17,9%).

Data serupa disampaikan LSM Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW) yang dirilis awal Maret 2015 ini. Terdapat 84% anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Angka tersebut lebih tinggi dari tren di lima negara Asia yakni 70%, yaitu negara Vietnam, Kamboja, Nepal dan Pakistan.

Data di atas menunjukkan seakan orangtua tidak ada harapan baik untuk masa depan anak. Sekolah yang diharapkan sebagai benteng pertahanan anak dari gempuran berbagai budaya dan perilaku merusak bagi anak toh akhirnya juga tidak mampu bertahan. Benarkah sekolah menjadi lembaga pendidikan yang mencemaskan bagi anak-anak dididiknya?

KORBAN KEKERASAN
Secara normatif tidak ada sekolah yang buruk, yang mengajarkan atau membiarkan anak didiknya dalam lingkungan kekerasan. Entah kepala sekolah, guru, tata usaha maupun siswanya. Jika realitanya di sekolah berkembang budaya kekerasan, baik verbal maupun non verbal lebih kepada kegagalan stakeholder lembaga pendidikan tersebut dalam menjalankan misi pendidikan bagi anak didiknya.

Dengan kata lain, terjadinya kasus kekerasan atau lebih ekstrem lagi lahirnya budaya kekerasan di lingkungan sekolah merupakan efek dari lingkungan sosial di luar sekolah. Apakah itu lingkungan keluarga, seperti data survai di atas atau lingkungan masyarakat, termasuk pengaruh teman sebaya. Didukung lagi gencarnya media massa khususnya tayangan hiburan televisi, film, internet dan lainnya yang menyuguhkan kehidupan beroma kekerasan. Disinilah sekolah sebagai miniatur potret masyarakat. Kondisi sosial yang terjadi di masyarakat, akan berdampak kepada kehidupan sosial di sekolah.

Begitu banyak survai dan hasil penelitian yang menyebutkan dampak tayangan televisi dan atau media massa terhadap perilaku agresif dan kekerasan terhadap anak. Celakanya, televisi, internet dan gadget kini menjadi teman setia anak-anak di kala orangtua mereka sibuk dengan dunianya. Hasil penelitian di Jakarta misalnya, pada tahun 2002 anak dalam seminggu menghabiskan 30-35 jam menonton TV. Pada tahun 2006 kebiasan itu terus meningkat 35-40 jam dalam seminggu.

Jika dikalkulasikan dalam pertahun, anak hidup bersama TV selama 1.600 jam dibandingkan berada di lingkungan sekolah hanya 800 jam. Kebiasaan itu diperburuk lagi karena saat menonton televisi anak lebih memilih sendiri daripada didampingi oleh orangtuanya. Jumlah media hiburan pun semakin bertambah dan beragam. Realitas ini menggambarkan bahwa persoalan budaya kekerasan akan menjadi ancaman serius di masa mendatang bagi keluarga dan sekolah, seiring makin beragam dan majunya perkembangan teknologi komunikasi dan informasi.

Korban efek negative media kekerasan itu begitu massif. Tidak saja anak-anak tetapi juga orang dewasa, termasuk guru di dalamnya. Alhasil dalam lingkungan sekolah, aktor kekerasan kerap silih berganti. Pada satu waktu aktornya guru terhadap siswa, lain waktu siswa dengan siswa, pernah waktu lain siswa terhadap guru. Jika kondisi ini dibiarkan maka akan tercipta masyarakat yang anarkhis. Sungguh menakutkan!

PROTEKSI ANAK
Masa depan bangsa terletak pada pola pendidikan anak. Pendidikan anak sejatinya tanggung jawab utama orangtua yang diberikan amanat oleh Tuhan. Namun Pemerintah memiliki kepentingan terhadap kualitas masa depan anak-anak. Maka, melalui sekolah menjadi tumpuan bagi masyarakat dalam memproteksi anak dari bahaya budaya yang merusak masa depan mereka. Pada akhirnya semua pihak ikut bertanggug jawab terhadap keselamatan anak.

Tinggal sekarang, bagaimana orangtua, sekolah dan pemerintah saling menguatkan kerjasama dalam mendidik anak-anak tunas bangsa dengan cara dan metodenya masing-masing. Jika ada persoalan yang menimpa anak di sekolah, tidak kemudian seenaknya orangtua menghakimi guru tanpa ada tahapan solusi dalam menyelesaikan masalah. Apalagi langsung dibawa ke ranah hukum pidana karena dianggap tindakan guru kategori kriminal.

Orangtua harus mulai memperketat pola pengawasan terhadap pergaulan anaknya. Diluar sana begitu banyak “orangtua” tandingan yang ikut mengasuh, mendidik, mempengaruhi anak sesuai selera mereka dengan mengabaikan norma positif yang berlaku. Orangtua tandingan itu bisa berupa teknologi, teman, media massa atau bentuk lainnya yang akan diikuti oleh anak-anak. Orangtua mulai mengenali lebih dekat dunia anaknya, termasuk siapa kawan-kawan di sekitarnya. Tidak saja sesama anaknya yang berteman, para orangtua pun harus melakukan pertemanan sesama mereka. Jika orangtua sentimen kepada guru, lalu mau kemana lagi anaknya di sekolahkan?

Peran sekolah harus merevitalisasi diri sebagai agen pendidikan sekunder. Ciptakan aturan-aturan normatif tertulis yang bisa membentengi anak didiknya dari pengaruh budaya jahat. Aturan tertulis tersebut harus jelas, tegas dan terukur kemudian disosialisasikan kepada pihak orangtua siswa. Jika kemudian hari anak didiknya terjadi permasalahan maka tidak ada lagi yang main hakim sendiri karena standarisasi hukumannya sudah diketahui bersama. Sekolah harus responsive dan persuasive menghadapi kebebasan masyarakat era reformasi ini.

Pemerintah memilik tanggung jawab besar dalam melindungi rakyatnya dari kehancuran moral spiritual. Melalui kebijakannya Pemerintah bisa menyaring atau bahkan membatasi berbagai budaya tidak sesuai dengan norma yang masuk ke Indonesia dalam beragam bentuk dan media. Apalagi di era globalisasi dan keterbukaan peran Negara harus diperkuat jika rakyatnya tidak ingin kehilangan identitas diri sebagai bangsa timur, beragama dan beradab. (*)

*) Penulis adalah Magister Psikologi Pendidikan Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon