Rabu awal Desember tahun ini akan menjadi catatan penting dalam sejarah kehidupan saya. Pada 2 Desember ini rentetan peristiwa terjadi. Hari-hariku diselimuti kisah warna warni. Ada putih, biru, pink bahkan merah dan hitam.
****
Pagi tiba rutinitas kembali saya jalani. Setelah dua hari sebelumnya menjalani jadwal WFH (work from home). Entahlah ini sudah jadwal perpanjangan WFH yang ke berapa. Sejak pandemi juga melanda Kota Cirebon. Jadwal WFH kali ini relatif lebih panjang daripada sebelumnya hanya 14 hari. Periode sekarang hingga 23 hari, tanggal 1 - 23 Desember. Boleh jadi ini karena sejumlah petinggi dalam sepekan ini terpapar covid-19.
Sesuai schedule, pagi pukul 09.00 ada rapat terbatas korwil lima kecamatan bersama kasubag program dan keuangan Dinas Pendidikan. Saat jam istirahat tengah hari, saya janjian kondangan tetangga yang nikahan. Pada waktu bersamaan juga ada undangan nikah pendekar Tapak Suci Empi di Kuningan. Pukul 14.00 mendadak ada agenda tambahan rapat tim PJJ di kantor PGRI.
Sayangnya agenda kegiatan hari itu hanya terlaksana dua: rapat korwil dan kondangan ke Kuningan. Duanya terhalang oleh peristiwa duka. Saat kondangan, mendadak ada kabar dari rumah jika kondisi kesehatan ibu saya menurun. "Mimi menggigil. Badane panas. Susah makan. Malah muntah dua kali. Sekarang tak sadarkan diri. Nafasnya ngorok," tulisan pesan WA pukul 12.30 kala saya menikmati hidangan hajatan.
Perasaan ini mendadak berubah. Bad mood. Selang tak lama, ada kabar duka melalui pesan WA. "Innalillahi wainnailahi rojiuun. Pak, Abah Saleh meninggal." Saya makin terkejut. Padahal pagi di kantor sempat ngobrol bahwa Abah Saleh dirawat di rumah sakit saat shubuh. Unfaal karena diabet. Padahal agak siang, ibu saya akhirnya dibawa ke rumah sakit yang sama, dengan penyakit yang sama. Abah Saleh dimakamkan, ibu saya ke rumah sakit.
Selama perjalanan kondangan saya terus pantau perkembangan ibu melalui WA. Sejumlah upaya disarankan kepada orang rumah agar bisa teratasi. Sesampai di rumah, kondisi ibu masih belum sadarkan diri. Saya berusaha untuk tidak panik. Pasalnya ini bukan kali pertama unfaal. Bolak balik ke RS ibu dievakuasi selalu dalam tak sadarkan diri.
Pukul 16.00 ibu diputuskan untuk dibawa ke rumah sakit. Namun baru pukul 17.00 baru berhasil keluar rumah. Karena dalam waktu bersamaan jenazah Abah Saleh disholatkan dan dimakamkan sore itu juga. Disholatkan di masjid Al Makmur, persis di depan rumah saya. Sebelum ke RS, saya menyempatkan untuk menyolatkan Abah Saleh. Melepas untuk terakhir kalinya pengurus RT masa kepemimpinan saya sebagai ketua RW 01.
Dengan Abah Saleh sudah seperti abah sendiri. Jika ada kesempatan suka sharing banyak hal. Mulai dari ngobrol santai tentang keluarga, jamaah masjid, keRTan hingga tentang kesehatan diri dan isterinya. Beberapa kali ngobrol soal rencana pemberangkatan ibadah haji yang tertunda karena covid-19. Namun dalam satu kesempatan, ia mengaku sudah siap jika suatu saat umurnya pendek. "Kang penting wis niat ya pak," selorohnya tanpa beban.
Dibantu Iwan, driver becak ini ibu dievakuasi ke RS Pelabuhan. Pelayanan petugas cukup baik. Tak seperti dua kali dirawat sebelumnya pada Juli lalu. Begitu ketat dan penuh curiga. Kendati demikian, ibu harus tertahan cukup lama di UGD. Menurut petugas, ada sejumlah pemeriksaan yang harus dilewati pasien, apalagi dalam kondisi tak sadarkan diri. Cek khusus ini bagian dari screening dan protokol masa pandemi.
Sampel darah pun diambil saat termasuk untuk keperluan rapidtest. Alhamdulillah dinyatakan non reaktif dari covid-19. Namun tim medis masih terus melakukan pendalaman gejala ibu. Diketahui, tensi darahnya tinggi. Termasuk gula darahnya di atas 300.
Ibu baru masuk ke kamar perawatan pukul 00.00. Sebelumnya tim medis mengarahkan ke ruang ICU. Karena alasan pasien tak sadarkan diri. Entah apa yang membuat kebijakan berubah sehingga sementara harus bermalam di kamar VIP. Hingga pagi pukul 06.00 ibu saya masih tak sadarkan diri. Kali ini tampaknya tertidur, karena mulai ada respon saat ditanya. (*)