Oleh: Deny Rochman
Musim mudik
telat tiba. Mendekati waktu lebaran, khususnya Idul Fitri, masyarakat Islam
Indonesia, baik yang berpuasa maupun tidak ramai-ramai bermudik bersama di
kampung halamanya masing-masing. Tradisi ini dianggap penting untuk menjalin
silaturahim dengan orangtua sanak saudara yang jarang berjumpa. Mereka yang sengaja
tidak bisa mudik dinilai tidak elok sehingga merasa bersalah.
Istilah
mudik memang dari bahasa Jawa, mulih dilik atau pulang sebentar. Untuk
melakukan mudik lebaran, tentu harus ada hal yang perlu dipersiapkan. Selain kendaraan
dan tubuh yang sehat, punya keluangan waktu tetapi yang utama punya kesiapan
dana. Dana ini untuk keperluan selama perjalanan, beli kebutuhan saat lebaran,
hingga berbagi kepada keluarga sanak dan family lainnya. Pokoknya habis-habisan
deeh…
Tradisi mudik
tahunan yang hanya terjadi di Indonesia, perlahan memberi makna lebih, melebihi
makna ibadah puasa dan hakekat perayaan Idul Fitri. Puasa yang dijalani dari
hari ke hari hanya menantian menunggu datangnya lebaran. Ironisnya tidak
sedikit dari umat Islam yang puasanya tidak sungguh-sungguh bahkan tidak
berpuasa sekalipun, giliran datangnya waktu lebaran mereka sangat sibuk. Lebih sibuk
dari mereka yang puasanya khusyu’.
Dipenghujung
bulan Ramadhan, hampir sebagian besar umat kehabisan energi untuk beribadah. Lihat
saja, ibu ibu semakin sulit mencari menu makanan, mereka mulai malas berbelanja
ke pasar. Karena semua menu sudah dicoba dan dinikmati selama berminggu minggu.
Jumlah shaf sholat berjamaah, baik sholat wajib maupun sholat taraweh terus
berkurang. Bangun dini hari untuk sahur pun semakin malas dilakukan.
Namun pada
bagian lain, energy kita masih semangat mempersiapkan beragam kebutuhan lebaran.
Masjid, tadarus, dzikir sementara off dulu, kegiatannya dialihkan di mall mall
dan pusat perbelanjaan lainnya. Sampai semangatnya berburu kebutuhan lebaran,
sering kali dilihat banyak dari pengunjung memilih membatalkan puasa. Makan minum
di sekitar lokasi perdagangan. Astagfirullah….
MUDIK HAKIKI
Hakekat
mudik adalah pulang ke kampung halaman setelah merantau, setelah bermain dan
bekerja. Komarudin Hidayat, Cendikiawan Muslim yang juga Rektor UIN Jakarta mengatakan,
bagi seorang muslim sejati mudik memiliki filosofi yang sama dengan kematian. Kematian
merupakan fenomena mudik dari hidup di dunia menuju kehidupan yang kekal di
akherat nanti. Apa yang manusia jalani di dunia pada hakekatnya hanya bermain
dan bersenda gurau.
Allah Swt
berfirman :
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main.
Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka
mengetahui”. (QS Al Ankabut 64).
Makna serupa tertuang dalam QS Al Mukmin 39 bahwa
sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah
kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal. Rosulullah
Muhammad Saw menegaskan dalam hadistnya:
“Aku sama sekali (tidak memiliki keakraban) dengan
dunia, perumpamaanku dengan dunia adalah bagaikan seseorang yang ada di dalam
perjalanan, dia beristirahat di bawah sebuah pohon rindang, lalu dia pergi dan
meninggalkannya.” Riwayat lainnya : “Jadilah engkau di dunia ini seperti orang
asing atau seorang pengembara.” [HR. Al-Bukhari]
Kematian merupakan
sebuah keniscayaan bagi siapa saja mereka yang bernyawa. Karena setiap jiwa
akan merasakan mati (QS Ali Imran 185). Kepastian ini seyogyanya tidak boleh
menjadi tabu untuk dibicarakan orang banyak orang. Justeru jika kita sering
ingat mati, maka gerak langkah, pikiran dan sikap kita terus dikendalikan dan
dikontrol dalam menjalani kehidupan di dunia agar jauh dari kemaksiatan dan
dosa.
“Jika saat ini,
misalnya datang malaikat menghampiri kita. Terus malaikat itu kasih bocoran,
dan bilang kalau bapak ibu besok akan meninggal dunia. Lalu apa yang kita
lakukan? Pasti kita tidak bisa tidur sesak dan makan enak. Waktu-waktu kita akan
dihabiskan untuk ibadah dan beramal sholeh lainnya,” tutur Deny Rochman
memberikan perumpamaan saat mengisi materi kuliah shubuh di Masjid Al Makmur
Pronggol Kota Cirebon, Senin (4/7) pagi.
Untuk itu, dalam
sisa waktu yang ada marilah kita tingkatkan terus kualitas ibadah kita. Sering
mengucapkan istigfar setiap saat dan setiap waktu. Tetap melanjutkan sholat
berjamaah di masjid, biasa membaca al Quran dan tetap berpuasa usai kepergian
Ramadhan. Kita tidak boleh lelah dan putus asa mencari bekal untuk mudik di
kampung akherat nanti. Kampung halaman terakhir sebagai tempat tinggal kekal. Tentu
semua sepakat, ingin tinggal di surganya Allah Swt.
Terakhir,
marilah kita tundukan kepala sejenak lalu beristigfar memohon ampunan kepada
Allah Swt.
Alhamdulillahi
rabbil 'alamiin.
Hamdan Yuwaafi
Ni'aamahu Wayukaafii maziidahu.
Yaa rabbanaa
lakalhamdu kamaa yan baghii lijalaali wajhika wa'aZhiimi sulthanika.
Allahumma
shalli 'alaa sayyidina muhammadin wa 'alaa aali sayyidinaa muhammad.
Duhai
Ramadhan,
Hari hari bersamamu kini tinggal
menghitung jam per menit dan per detik.
Matahari terakhir hari ini dan
esok menandakan pergi-nya Engkau Ramadhan.
Meninggalkan sejuta kenangan dan sekaligus
penyesalan.
Aku menyesal karena sedikit
sekali lembaran Qur’an yang terbaca. Hamba lebih sibuk membaca yang lain,
menonton televisi bahkan sibuk ngerumpi.
Aku menyesal karena malam malam
bersamamu aku isi dengan kesia-siaan. Hamba lebih asyik menikmati tidur hingga
waktu sahur tiba.
Aku menyesal karena siang hari
bersamamu aku isi dengan urusan dunia
Aku menyesal karena sedikit
sekali amal dan ibadah yang bisa kutorekan
Ya Allah, Yang Maha Mengetahui
yang ghaib dan yang nyata.
Ya Rabb Pencipta langit dan bumi,
Rabb segala sesuatu dan yang merajainya. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang
berhak disembah kecuali Engkau.
Aku berlindung kepada-Mu dari
kejahatan diriku, kejahatan setan dan bala tentaranya, atau aku melakukan
kejahatan terhadap diriku atau yang aku tujukan kepada seorang muslim lain.
Aku akan rindu kehadiran-Mu
Ramadhan, jika Suatu waktu aku bertemu lagi, aku harap aku dalam keadaan yang
lebih baik, lebih bertaqwa kepada Allah Azza Wa Jalla.
Ya Allah! Janganlah Engkau jadikan puasa ini sebagai
puasa yang terakhir dalam hidupku. Seandainya Engkau menetapkan sebaliknya,
maka jadikanlah puasaku ini sebagai puasa yang dirahmati, bukan puasa yang
sia-sia. Ampuni dosa2 hamba wahai Yang Paling Pengasih
dari semua yang mengasihi. Terimalah
puasa hamba dengan sebaik-baik penerimaan, perkenan, kemaafan, kemurahan,
pengampunan dan keredhaan-Mu.
Yaa
Jabbar, Yaa Samii
Hambsa sadar sebaik baiknya
manusia adalah manusia yang selalu ingat mati dan paling mempersiapkan diri
untuk mati dan selalu berfikir hari ini adalah hari yang terakhir.
Hamba tak kuat Ya Allah
membayangkan hari hari di padang mahsyar. Saat Engkau memberikan buku amal ku,
saat Engkau memberikan buku maksiatku.
Sungguh aku tak kuat membayangkan
masa itu.
Sungguh aku tak bisa membayangkan
betapa hina nya diri ini.
Sungguh aku tak terbayang
bagaimana aku bisa membaca daftar dosa yang kuperbuat di Dunia.
Padahal Engkau Yaa Rahman, telah
menurunkan Insan Terbaik-Mu untuk mengajarkanku, Engkau Yaa Rahiim telah
memberikan Qur’an sebagai pedoman, tapi aku Yaa Allah, hanya hamba mu yang
lalai, hanya hamba lemah yang mengharap Surga-Mu.
Ya Allah berikan kesempatan untuk
memberikan yang terbaik dalam hidup ini berguna bagi dunia dan bermanfaat bagi
akhirat
Aku ingin menyambut malaikat
maut-Mu dengan amalan yang utama
Berikan aku kekuatan untuk
mengarungi sisa umur ini
Berikan aku keikhlasan dan
kesempatan untuk mempersembahkan yang terbaik dan
Izinkan aku berjumpa dihadapamu
Yaa Allah kelak di Jannah-Mu.
Terimalah amal ibadah puasa hamba.
Ibadah tadarus hamba, sholat berjamaah dan teraweh hamba, amalan zakat, infak
dan shodaqoh hamba. Masuklah hamba ke dalam surge arroyan. Surganya orang-orang
yang berpuasa.
Taqabbalallahu minna waminkum, wakullu ‘aamin wa antum bikhairin.
Semoga Allah SWT menerima semua
amal ibadah kita di bulan Ramadhan ini dengan kebaikan…Aamiin …!
*) Disampaikan dalam Ceramah
Kuliah Shubu di Masjid Al Makmur Pronggol Kota Cirebon pada hari Senin 4 Juli
2016.