SELAMAT DATANG DI WEBLOG DENY ROCHMAN. MARI KITA BANGUN PERADABAN INI DENGAN CINTA DAMAI UNTUK MASA DEPAN LEBIH BAIK

Mei 30, 2017

GURU KORBAN REFORMASI KEBABLASAN

Jarum jam belum menunjukkan 8.30. Cuaca di stasiun Kejaksan Cirebon masih redup. Namun sebanyak 102 guru se-Indonesia sudah bersiap mengikuti Bimbingan Teknis Profesi Guru di Hotel The Mirah Bogor Jawa Barat, 31 Mei-2 Juni 2017. Satu diantara peserta itu adalah saya, Deny Rochman. Saya satu-satunya guru yang harus mengikuti Bintek itu dari Kota Cirebon. Hingga detik ini saya masih tercatat sebagai guru IPS SMP Negeri 4 Kota Cirebon. Sebuah sekolah yang selama ini dikenal sekolah favorit berstandar nasional berbudaya lingkungan berbasis agama.


Kegiatan bimtek ini sama mekanismenya seperti kegiatan Seminar Nasional yang diadakan Subdit Kesharlindung Dikdas dibawah Dijen GTK Kemdikbud belum lama ini. Alhamdulillah saya juga berksempatan mengikuti Seminar Nasional guru profesional 9-12 Mei 2017. Acara luar biasa itu bertempat di Swiss-belhotel Jakarta Pusat. Dua kegiatan itu hampir sama dalam menjaring peserta. Setiap guru harus mengirimkan karya ilmiahnya untuk diseleksi. Yang lolos berangkat, yang tidak terus mencoba dan berdoa.

Kesamaan lainnya dalam tema yang diangkat, masih seputar kesharlindung---Kesejahteraan, Penghargaan dan Perlindungan Guru. Tema yang lagi trending topic di jagat pendidikan. Nah Bintek kali ini adalah tahap kedua dengan sub tema Perlindungan Profesi Guru. Ada apa dengan guru hingga profesinya perlu dilindungi? Pemerintah pun sampai menerbitkan kebijakaan hukum tentang perlindungan pendidik dan tenaga pendidikan.

Sejak reformasi lahir, kendati prematur, pada tahun 1998 masyarakat Indonesia mengalami kejingrakan politik. Setiap orang, khususnya rakyat kasta biasa merasa bebas dalam berbicara, bertindak dan bersikap. Tak peduli apakah menabrak aturan atau tidak. Menyinggung dengan pihak lain atau tidak. Bagi sebagian masyarakat yang penting hasrat  mereka tersalurkan. Mereka sudah tak percaya dengan segala kebijakan pemerintah. Pokoke bebas, bebaa, bebaaaaasss...

Suasana euforia sosial tersebut berdampak pada pola kehidupan di sekolah-sekolah. Tindakan guru yang dinilai keras kepada siswa banyak diprotes oleh keluarga bisa. Protes mulai cara halus hingga dengan kekerasan. Padahal sebelum reformasi dengan cara pendidikan yang hampir sama tak menimbulkan gejolak.

Fakta membuktikan kekerasan terhadap guru biasa dipicu karena kekerasan kepada anak. Beberapa kasus memang ada juga kekerasan itu datang dari anak kepada gurunya. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat dalam situs resminya (kpai.go.id) dari 2011 sampai 2014, terjadi peningkatan yang signifikan. Dalam banyak kasus, anak bisa menjadi korban ataupun pelaku kekerasan terjadi di lingkungan keluarga (91%), di lingkungan sekolah (87,6%) dan di lingkungan masyarakat (17,9%).

Data serupa disampaikan LSM Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW) yang dirilis awal Maret 2015 ini. Terdapat 84% anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Angka tersebut lebih tinggi dari tren di lima negara Asia yakni 70%, yaitu negara Vietnam, 
Kamboja, Nepal dan Pakistan.

Maraknya kekerasan dalam dunia pendidikan sungguh sangat memprihatinkan. Lembaga yang dianggap sebagai miniatur masyarakat harus terkoyak dari imbas reformasi kebablasan. Jika hari  ini pendidikan kita akrab dengan kekerasan, bagaimana potret Indonesia di masa depan. Harus diakui "kekerasan" mendidik berlebih yang dilakukan guru memang tidak dibenarkan.  Tetapi menghakimi kekerasan guru dengan kekerasan susulan merupakan tindakan premanisme. Apalagi biasanya kekerasan guru ditempuh karena pelanggaran siswa yang melebihi batas toleransi sebagai siswa.

Problem inilah yang sering melilit sistem pendidikan di lapangan. Guru pada satu sisi dituding sebagai pelaku tindak kekerasan. Pada waktu yang sama guru pun jadi korban kekerasan. Bahkan tanpa sadar guru, siswa dan orangtua juga merupakan korban kekerasan. Kekerasan oleh sistem yang mandul dalam menjalankan tugas, fungsi dan perannya sehingga berdampak pada rapuhnya ketahanan pendidikan, baik pendidikan di sekolah maupun di rumah. Inilah lingkaran syetan yang harus diurai dalam Bintek Perlindungan Profesi Guru di Bogor. Bogor, I am comiiiing.... (*)
KA-Cireks, 31.05.2017