Oleh:
Deny Rochman
Kamis, 22 Juni 2023 kepengurusan RW 05 Gambirlaya Utara resmi dilantik. Dilantik oleh Walikota Cirebon melalui Camat Lemahwungkuk Adam Walesa. Saya hadir ikut menyambut sebagai Lurah Kesepuhan. Kali ini, pelantikan khusus pengurus RW. Sementara pengurus RT sepekan kemudian.
Ini adalah pelantikan RW untuk ketiga kalinya di tahun 2023. Sebelumnya pelantikan RW 02 Mandalangan. Disusul RW 06 Gambirlaya Selatan, kemudian RW 05 Gambirlaya Utara. Pada akhir Juni pelantikan RW 03 Banjarmelati.
Sementara RW 04 Siti Mulia baru pemilihan calon ketua RW pada 25 Juni ini. Pemilihan calon ketua RW terakhir adalah RW 01 Kasepuhan.
Untuk pemilihan RW 07 Kesunean Utara, RW 08 Kesunean Tengah dan RW 09 Kesunean Selatan sudah dilakukan lebih awal pada 2022. Pemilihan babak baru untuk jabatan RW lima tahun ke depan. Atau maksimal dipilih dua kali periode. Sebelumnya, jabatan RW hanya tiga tahun dan bisa dipilih kembali.
Melihat, mendengar, dan merasakan pemilihan calon ketua RW di lingkup Kelurahan Kesepuhan selalu menarik perhatian. Walau sama-sama pemilihan RW, namun dinamikanya berbeda-beda. Ada yang ngeri-ngeri sedap. Ada yang wajar-wajar saja. Tetapi ada juga yang menggelikan. Semua ada cerita dibalik berita. Cerita yang menggambarkan barometer demokrasi di akar rumput (grass root).
Delapan RW yang sudah dan akan melakukan pemilihan sebagian besar memilih pemungutan suara (voting). Sebuah cara terakhir yang diamanatkan oleh Peraturan Walikota. Dalam Perwal Nomor 49 Tahun 2020 tentang Lembaga Kemasyarakatan Kelurahan Kota Cirebon disebutkan, pemilihan LKK termasuk calon ketua RW dilakukan secara musyawarah mufakat.
Cara voting boleh dilakukan manakala upaya musyawarah sudah dilakukan. Jika hasil musyawarah buntu atau warga sepakat dilakukan voting. Cara voting sebenarnya bisa digelar secara sederhana. Cukup digelar dengan potongan kertas dan warga menulis nama yang diusulkan. Tapi faktanya voting harus diselesaikan melalui pemungutan suara di bilik suara, layaknya pemilu caleg, kepala daerah dan presiden.
Voting bergaya pemilu tampaknya sudah menjadi budaya politik warga, khususnya di tanah Jawa. Pemilihan kepala desa (kuwu) dari tahun ke tahun membentuk persepsi warga. Persepsi jika pemilihan calon pemimpin dianggap absah manakala dilakukan melalui pemungutan suara. Suara terbanyak sebagai pemenang.
Fakta sosial membuktikan, dalam satu waktu kelurahan mensosialisasikan Perwal LKK bahwa pemilihan calon ketua RW melalui musyawarah. Penjelasan perwal itu langsung diinterupsi oleh salah satu tokoh masyarakat. Mereka mempertegas, bahwa warga sudah terbiasa dengan pencoblosan di TPS.
Tak hanya pil RW dengan cara voting. Proses pemilihan ketua panitia pil RW pun diarahkan untuk voting. Padahal sejak awal calonnya hanya satu. Karena mindsetnya voting akhirnya dimunculkan calon ketua tandingan. Untuk melembagakan metode voting.
Amanat Perwal pil RW melalui musyawarah bukan tanpa alasan. Pemerintah sangat sadar, bahwa warga sudah terdidik voting dari pil kuwu ke pil kuwu, dari pemilu ke pemilu. Namun tradisi voting memiliki resiko konflik bagi masyarakat. Ada polarisasi politik yang mengkristal di tengah masyarakat. Realitasnya masih banyak ditemukan pemilihan voting berekses pada pelayanan, pemberdayaan, dan pembangunan kampung.
Sikap demokrasi untuk saling menghargai perbedaan, dan bekerja sama dalam kebinnekaan masih jauh panggang dari api. Tradisi rembug, musyawarah mufakat, gotong royong, warisan budaya leluhur tampaknya mulai terkikis.
Demokrasi hanya dipahami harus berbeda dengan yang lain. Jika berfikir sama, dianggap tidak demokrat. Demokrasi itu voting, karena suara rakyat adalah suara Tuhan. Tidak bisa diwakilkan.
Jika voting menjadi instrumen lebih baik, namun pahamilah itu hanya metode dari banyak cara untuk memilih. Dalam kasus pemilihan RW di Kelurahan Kesepuhan, misalnya, ada dua RW yang akhirnya dipilih secara aklamasi. Seperti RW 09 Kesunean Selatan dan RW 06 Gambirlaya Utara. Walau sama-sama dengan cara aklamasi, namun kedua RW itu memiliki dinamika berbeda.
Pasca voting, bisa menjadi barometer sikap demokrasi seorang ketua RW terpilih. Begitu juga calon ketua RW yang kalah. Apakah sikap dan perilakunya akan egaliter, tidak diskriminatif kepada warga yang kontra. Mau menerima perbedaan, bisa guyub kembali, bersama membangun kampung. Setelah dan sesudah pemilihan tetap tak ada masalah.
Seyogianya pil RW dipahami sebagai pesta demokrasi rakyat. Layaknya pesat harus disambut dengan suka cita. Siapa pun yang terpilih pada dasarnya adalah kemenangan warga. Karena semua calon ketua adalah putera puteri terbaik kampung setempat. Nawaitunya mulia, ingin membangun kampung lebih baik lagi. Bayangkan jika kampung tak ada pengurusnya?
Ketua terpilih harus mampu menjadi nahkoda. Nahkoda yang mampu mengajak kerja sama, bersinergi dengan anak buah kapal dan penumpangnya. Agar bisa membawa kapalnya stabil, lancar hingga selamat hingga tujuan. Jika ada penumpang yang berbeda, sepanjang tak membahayakan perjalanan kapal dibiarkan.
Begitu juga kondisi kampung di tahun politik ini. Dipastikan, setiap RW RT warganya terlihat warna warni. Dengan 18 parpol peserta pemilu, dengan sistem proporsional terbuka, dipastikan ratusan caleg akan bersaing. Bersaing menarik perhatian warga. Tak hanya caleg beda partai, di dalam satu partai, kompetisi itu akan terjadi. Boleh jadi di tahun politik ini akan tercipta kampung warna warni. Berbeda partai.
Pengurus RW yang bisa menghargai pilihan politik warganya merupakan sikap sejati seorang demokrat. Sepanjang pilihan politik itu rasional. Saling menguntungkan untuk pembangunan kampung. Akan lebih indah, jika pilihan politik itu bisa mengkrucut pada beberapa caleg.
Caleg yang akan diusung jadi, sehingga memudahkan dalam menyerap program pembangunan melalui anggota Dewan yang pernah diusungnya. (*)
*) Lurah Kesepuhan Kota Cirebon