Oleh:
Deny Rochman
Mungkinkah pendidikan tanpa kurikulum ? Kurikulum sejatinya sebagai guide dalam melaksanakan proses pembelajaran di lembaga pendidikan. Sebagai pedoman dalam mencapai tujuan pendidikan. Faktanya, kurikulum formal tak melulu menjadi faktor penentu perubahan pendidikan pada para siswanya. Termasuk menentukan nasib anak didik pasca lulus. Terkesan ada distorsi pelaksanaan kurikulum dalam tataran teknis. Maka, wajar saja jika ada pertanyaan nakal: mungkinkah pendidikan tanpa kurikulum?
Istilah kurikulum berasal dari bahasa Latin “curir” yang berarti palri dan “curere” yang berarti tempat berpacu. Sehingga kurikulum dapat diartikan sebagai trek atau lajur yang harus diikuti seseorang untuk mencapai tujuannya.
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 butir 19 dijelaskan, kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Tujuan pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Intisari tujuan pendidikan nasional ini kemudian lahir profil Pelajar Pancasila.
MERUBAH MINDSET
Pada hakekatnya keberhasilan sebuah pendidikan terletak pada perubahan pola pikir (mindset) dan mental seseorang. Jika kesuksesan sekolah hanya diukur dari tingkat pendidikan, dari nilai atau selembar ijazah. Jika tingkat pendidikan berbanding lurus dengan status ekonomi (pekerjaan, jabatan dan harta) seseorang, maka akan banyak sekolah-sekolah atau kampus dianggap gagal memainkan peran dan fungsinya.
Berapa banyak orang bekerja di negeri ini yang tak sesuai kompetensinya, tak linier dengan basic pendidikannya. Tak sedikit orang sukses bukan berpendidikan tinggi. Bahkan putus sekolah atau malah tidak mengeyam bangku sekolah. Mereka masa sekolah atau kuliah dianggap nakal, bodoh, malas. Namun masa bekerja atau malah masa tuanya hidup dalam kebahagiaan materi.
Kisah hidup Somad dan Komara menarik disimak. Dua pekerja wiraswasta ini mampu eksis menghidupi diri dan keluarganya masing-masing dengan layak. Somad pekerja servis elektronik freelance putus sekolah kelas tiga SD swasta di Kota Cirebon karena alasan ekonomi. Komara, pedagang martabak yang sempat menjadi gelandangan selepas lulus STM swasta di Kab. Cirebon kini berkembang menjadi juragan. Masa sekolah Komara sempat tersandung kasus hukum karena terlibat tawuran pelajar.
Keduanya pernah sekolah. Pernah merasakan kurikulum pendidikan formal yang terstruktur dan terukur. Namun mindset dan mentalnya justeru mengalami titik balik kehidupannya dibentuk oleh kerasnya kehidupan. Beruntung keduanya mampu melawati ujian hidup. Entah berapa anak manusia diluar sana yang nasibnya kurang seberuntung Somad dan Komara. Terhempas dari kebahagiaan karena tak mampu melawan badai kehidupan.
Seperti pengalaman Rudi (bukan nama sebenarnya), seorang siswa di Kota Cirebon. Selepas lulus di SMP negeri favorit, ia melanjutkan ke SMA negeri favorit di kota yang sama. Namun kedua orang tuanya yang bekerja di perbankan bonafid terpaksa memindahkan Rudi ke pondok pesantren. Alasannya selama SMA kegiatannya sering main dan bergadang bahkan ke diskotik. Tiap hari sudah bawa mobil pribadi. Tak betah di pondok, Rudi pindah ke SMA swasta di kota sama. Terakhir ia mencoba daftar kejar paket C. Dan kasus Rudi bak fenomena gunung es.
Lalu dimanakah fungsi kurikulum? Jika anak-anak bangsa sekolah formal namun pola pikir dan mental mereka dibentuk oleh alam, oleh kerasnya kehidupan?
Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Muhammad Nur Rizal, Ph.D mengatakan, selain perubahan kurikulum, hal terpenting yang mampu mengubah pendidikan Indonesia sesungguhnya adalah pola pikir pelaku pendidikan dalam melihat esensi pendidikan. Bagaimana para pemangku kepentingan pendidikan perlu menghadirkan ekosistem yang membuat siswa mampu mengembangkan diri secara optimal.
Dalam webinar bertajuk: "Ngkaji Pendidikan: Haruskah dengan Kurikulum untuk Mengubah Pendidikan Kita?" pada 22 Februari 2022, Doktor jebolan Monash University Australia ini berharap, kehadiran Kurikulum Merdeka mampu diimplementasikan di seluruh sekolah dengan corak yang berbeda. Mengingat sekolah-sekolah di Indonesia memiliki kualitas guru yang beragam, ketimpangan infrastruktur pendidikan yang tinggi, serta kesiapan dinas pendidikan daerah yang tidak sama.
Terkait keberhasilan implementasi kurikulum, Mendikbudristek Nadiem Makarim menegaskan, kunci keberhasilan sebuah perubahan kurikulum adalah jika kepala sekolah dan guru-gurunya memilih untuk melakukan perubahan tersebut. Pihaknya yakin, tidak ada transformasi proses pembelajaran kalau kepala sekolah dan guru-gurunya merasa terpaksa.
PRINSIP DASAR
Rizal menambahkan, kurikulum yang berhasil melakukan transformasi pendidikan harus memenuhi prinsip dasar (first principle thinking). Prinsip dasar pendidikan itu tidak mengabaikan tiga kodrat manusia yang dimiliki anak. Pertama, rasa ingin tahu yang tinggi. Kedua, manusia selalu ingin berimajinas (berhayal). Ketiga, memberikan kesempatan kepada anak dalam mengembangkan potensinya secara adil. Jika kodrat ini sudah terinternalisasi dalam setiap guru, maka apapun kurikulumnya, model sekolahnya, kebijakan pendidikannya maka tujuan pembelajaran akan tercapai.
Menurut dosen UGM ini, anak bisa menemukan versi terbaiknya jika anak itu bisa menemukan pengalaman belajar yang menyenangkan dan bermakna bagi dirinya. Bukan bermakna bagi gurunya atau kurikulumnya. Ketika anak memiliki makna dalam belajar, maka anak akan termotivasi dalam belajar dan akan kasmaran belajar. Artinya, apapun kurikulumnya tidak masalah karena itu hanyalah kerangka dasar. Asal memperhatikan tiga kodrat anak termasuk dunia anak yang menyenangkan (well being school).
Perubahan paradigma "sekolah sebagai taman siswa" tampaknya akan menjadi spirit lahirnya Kurikulum Merdeka. Mendikbudristek menyatakan bahwa Kurikulum Merdeka memiliki tiga keunggulan. Tiga keunggulan itu: (1) sederhana dan mendalam, yaitu fokus pada materi yang esensial dan pengembangan kompetesi peserta didik pada fasenya. Belajar menjadi lebih mendalam, bermakna, tidak terburu-buru, dan menyenangkan; (2) lebih merdeka. Tidak ada program peminatan. Peserta didik memilih mata pelajaran sesuai dengan minat, bakat, dan aspirasinya.
Proses pendidikan idealnya tetap memerlukan sebuah kurikulum sebagai guide mencapai tujuan yang lebih mudah, terarah dan tercapai. Namun kurikulum harus punya "nyawa" agar bisa bekerja sesuai fungsi dan perencanaannya. Guru dibawah dukungan kepala sekolah menjadi kata kunci dalam memainkan peran sebagai pendidik dan pengajar yang memperhatikan prinsip dasar pendidikan. (*)
*) Penulis adalah pegiat literasi. Analis Kurikulum dan Pembelajaran pada Dinas Pendidikan Kota Cirebon.
**) Tulisan pernah dimuat di koran Radar Cirebon, Rabu 2 Maret 2022.