Tanpa disadari, posisi pubdekdok menjadi jabatan abadi bagi saya. Setiap kali ada event, sering kali diserahin urusan publikasi, dekorasi dan dokumentasi. Termasuk 14 tahun menjadi guru, urusan yang ditangani tak jauh-jauh dari bidang ini. Sejak awal hingga pensiun menjadi Wakasek Humas.
Apakah karena latar belakang pernah menjadi jurnalis, atau karena alasan lain. Atau sebaliknya, karena dianggap punya minat pubdekdok, akhirnya jadi jurnalis, akhirnya diamanahi jadi wakasek Humas. Tugas di tempat lain pun dipercayai urusan ini. Entahlah....
Kedekatan saya dengan dunia pubdekdok punya sejarah panjang. Paling tidak ketertarikan dunia pencitraan ini mulai terasa pada masa kuliah S1 Sosiologi. Kuliah di kampus orange, Fisip Unsoed Purwokerto. Sebelumnya pada masa SMA, saya lebih dikenal seorang pesilat. Yah, pesilat Tapak Suci, yang membawa saya kuliah melalui jalur prestasi.
Pada semester 1, sudah mulai aktif kegiatan kampus. Di UKM kerohanian Islam (UKI) ini, banyak terlibat kegiatan organisasi. Pada event pertama, ditunjuk sebagai seksi pubdekdok. Rasanya asing pertama mendengar istilah itu. Perlahan mulai bertanya-tanya job description pubdekdok kepada mahasiswa senior. Belum banyak gambaran detail tentang ilmu publikasi.
Event Bazar Buku kampus menjadi tantangan sendiri dalam membuat materi publikasi. Ada rasa minder dengan kemampuan sendiri. Selain belum paham konsep dunia promosi, juga tak didukung penguasaan teknologi desain grafis kala itu. Maklumlah, pada tahun 1990-an awal, teknologi desain grafis tak sehebat dan semudah sekarang.
Bisa mendesain publikasi dengan MS Word jadul sudah dibilang bagus. Dengan fitur masih terbatas, dengan speed mesin PC yang lambat, kadang heng. Kualitas cetak printer yang kurang prima. Softwere Coreldraw memang sudah lahir. Namun lagi-lagi keterbatasan skill mahasiswa kampung seperti saya tak bisa mendesain publikasi secara apik. Akhirnya terbitlah selebaran poster Bazar Buku di ketik dengan aplikasi WordStar. Sangat-sangat sederhana.
Kesederhanaan itu tak hanya dari sisi desain grafis. Dari sisi pemilihan diksi kata dan bahasa pun kurang nancap dihati. Mas Anang Fahmi, adalah mahasiswa senior paket banget orang pertama mengkiritik selebaran publikasi itu. Selebaran yang tertempel di pintu Warteg denpan Kampus Fisip. Beruntung ia tak tahu kalau publikasi itu juniornya yang lagi asyik makan di meja berbeda. Cuma nguping.
Kritik itu menjadi spirit saya untuk belajar, kendati harus menahan malu. Belajar tentang banyak hal. Tentang bagaimana memilih diksi bahasa iklan. Tentang ilmu desain grafis. Harus belajar program aplikasi komputer, minimal MS Word. Sampai perlahan mulai belajar strategi promosi efektif dan efesien melalui famplet dan poster. Kala itu publikasi hanya di tempel di papan pengumuman tiap fakultas, masjid, di jalanan hingga di toko dan warung-warung. Belum ada media secanggih dan sebanyak sekarang.
Belajar mengenal dan menggunakan kamera profesional pun di kampus. Itu pun pinjam punya rekan kampus, Mas Nanang, karena di rumahnya memiliki studio foto. Kamera dengan klise negatif film seringnya menggunakan kamera saku. Simpel dan murah. Sejak itu deretan karya foto-foto mulai berserakan. Mulailah belajar sudut gambar yang baik seperti apa. Kemampuan ini kemudian diperdalam saat saya menjadi jurnalis di koran Radar Cirebon (Group Jawa Pos).
Masa awal menjadi wakasek Humas, saya mulai mengenal dunia videografi. Skill basic yang pernah dikenal saat masih menjadi jurnalis. Sempat meminjam handycame kawan layout Mas Ivan Rosadi di satu acara jalan santai. Di sekolah, mulai menggunakan handycame yang gak pernah dipake karena belum ada yang bisa. Dari sinilah mulai belajar video editing tanpa sengaja.
Pada era kepala sekolah Pak Abdul Haris saya diminta membuat video profil pendidikan trapsila (budi pekerti) sekolah. Video ini rencana ditayangkan pada sebuah acara di hotel, disaksikan Pak Walikota Subardi saat itu. Bahan materi video yang sudah saya shoot lalu dikebut untuk diedit di PGC. Karena di target, finishingnya sampai malam lewat pusat bisnis itu tutup. Selama mendampingi jasa editing, saya diam-diam belajar cara mengedit video. Programnya pinnacle hingga akhirnya bisa sendirinya karena banyak project sekolah yang dikerjakan.
Selepas meninggalkan dunia sekolah, saya tetap terus meningkatkan kompetensinya. Selain masih menulis di blog dan facebook, perlahan mulai mengenal dunia youtube. Alhasil, skill dasar desain grafis, fotografi, videografi dan jurnalis menjadi simponi karya youtube. Kini, sudah tiga tahun terakhir karya-karya digital itu sering dikerjakan melalui sentuhan tangan smartphone. Lebih mudah dan cepat. Sesuai selera dan jaman digital. (*)