Oleh :
Deny Rochman
Masyarakat Indonesia kini semakin akrab dengan pemberitaan kegaduhan. Terlepas apakah itu berita faktual ataukah berita bohong. Tetapi hidup bersih tanpa berita hoax sesuatu yang mustahil di era keterbukaan saat ini. Setiap orang memiliki kebebasan dari menerima memberi informasi dan komunikasi. Apalagi usia berita hoax setua usia peradaban manusia. Sekarang terpenting bagaimana kita bisa hidup berdamai dengan pemberitaan hoax. Bisa belajar menjadi cerdas melalui pemberitaan hoax. Berita hoax bisa menjadi “racun” yang merusak sistem kehidupan.
Istilah hoax menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu berita bohong. Dalam Oxford English Dictionary, kata hoax didefinisikan sebagai malicious deception atau kebohongan yang dibuat dengan tujuan jahat. Kendati dalam realitas sosial istilah hoax beberapa orang memahaminya adalah informasi atau berita yang tidak disukai. Pemahaman hoax terakhir ini bisa bergeser kepada tendensi personal atau kelompok terhadap ujaran kebencian, suka atau tidak kepada pihak lain.
Berita hoax menjadi trending topic, buah bibir di semua kalangan, dari kalangan pejabat, konglomerat, ningrat hingga orang melarat. Berita palsu menjadi sumber perhatian khalayak. Ada yang penasaran, heran, tidak percaya tetapi beberapa pihak merasa gerah dengan menyebarnya berita yang dianggap bohong tersebut. Yang menakutkan, gara-gara berita hoax sejumlah pihak harus berurusan dengan pihak Kepolisian. Tidak saja pihak yang membuat, mereka yang ikut membantu menyebarkan (share) juga terjerat pasal pidana. Bisa diganjar 6 tahun kurungan atau denda Rp 1 miliar. Ngeri !
Segmentasi sosial yang sangat rentan terhadap efek negatif pemberitaan hoax adalah usia remaja. Anak usia sekolah ini, khususnya yang duduk di bangku pendidikan dasar dan menengah akan sangat mudah tersulut emosi dan pikirannya oleh pemberitaan yang berkembang. Secara psikologis, fase perkembangan remaja, emosi dan pola pikirnya masih labil. Lebih-lebih, pemberitaan negatif lebih cepat beredar luar daripada berita positif.
Kasus belum lama ini seorang pelajar SMK di Medan akhirnya harus digelandang ke kantor polisi. Remaja berinisial MFB dilaporkan diduga telah melakukan ujaran kebencian terhadap Presiden Jokowi dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian melalui media sosial facebook. Pelajar SMK ini diamankan di kediamannya di Kota Medan pada 18 Agustus 2017. Kasus pelajar Medan adalah satu dari banyak kasus ujaran kebencian yang melibatkan remaja.
Sikap pelajar ini menjadi satu dari banyak remaja korban pemberitaan hoax. Terbukti kasus-kasus sejenis sering berulang terjadi. Bahkan keluarga Presiden Jokowi beberapa kali pernah menjadi korban, baik menimpa presiden, ibu negara atau puteranya. Penyerangan kepada pejabat negara merupakan ekses negatif berita hoax yang diorganisir pada masa dan setelah pemilu presiden 2014 lalu.
BAHAYA HOAX
Hoax itu bisa menimbulkan fitnah. Fitnah itu lebih kejam daripada membunuh. Artinya efek negatif berita hoax yang bedampak pada ujar kebencian akan sangat berbahaya jika dibiarkan tak terkendali. Tidak saja mengkhawatirkan bagi person to person, keluarga atau sekolah, tetapi sudah menjadi ancaman masa depan bangsa Indonesia. Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan menyampaikan kegalauannya melihat dinamika pemberitaan hoax dan ujaran kebencian, khususnya di media sosial.
Keprihatinan presiden sangat dimaklumi, karena berharap pada tahun 2045 bangsa Indonesia bisa menikmati bonus demografif. Anak usia sekolah saat ini akan berlipat menambah jumlah penduduk usia produktif pada tahun Indonesia emas tersebut. Dengan catatan, karakter yang berkembang pada anak usia sekolah sekarang adalah karakter positif. Sebaliknya jika karakter negatif yang berkembang, tentu bencana yang akan di panen bangsa inimencapai generasi emas pada tahun 2045 nanti.
Seorang psikolog asal Cortland University Amerika Thomas Lickona mengingatkan pentingnya peran anak muda bagi sebuah bangsa. Bahkan menurutnya perilaku buruk anak muda memberikan ancaman terhadap kebangkrutan sebuah bangsa. Kita pun masih ingat pendapatnya Dorothy Law Nolte. Satu diantaranya menegaskan, jika anak dibesarkan dengan permusuhan/kekerasan, dia akan belajar membenci.
Tentu semua warga Indonesia tidak menghendaki generasi masa depan bangsa ini adalah generasi pembenci. Generasi yang tidak memajukan bangsanya malah meruntuhkannya. Mengubur negara Indonesia. Maka sejak dini, menyelamatkan anak muda saat ini dari racun berita fitnah dan ujaran kebencian demi menyelamatkan masa depan bangsa. Disinilah perlunya ada upaya menangkal racun berita hoax bagi peserta didik.
BUDAYA LITERASI
Ancaman bahaya racun berita bohong membuat Pemerintahan Jokowi harus pasang kuda-kuda. Segala kebijakan diorbitkan, mulai penguatan perangkat dan instrument hukum hingga penertiban lalu lintas informasi media sosial. Media sosial sering di sorot sebagai biangkerok membuat kegaduhan sistem. Kebablasan akses informasi dan komunikasi membuat posisi negara melemah.
Instrumen hukum yang dipersiapkan, diantaranya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Pihak Kepolisian melalui Surat Edaran Kaporli Nomor SE/06/X/2015 tentang Ujaran Kebencian (Hate Speech) berupa tindak pidana yang di atur dalam KUHP dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP antara lain: penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi menghasut dan menyebarkan berita bohong. Baik dalam orasi kampanye, spanduk atau banner, media sosial, demonstrasi, ceramah keagamaan, media masa cetak atau elektronik dan pamflet.
Dalam waktu bersamaan pemerintah getol ngopeni sektor pendidikan. Untuk mendukung kebijakan revolusi mental, pemerintah membuat program Gerakan Literasi Sekolah (GLS) dan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Pembiasaan membaca buku non pelajaran diharapkan akan merangsang tumbuhnya karakter positif pada diri anak. Maka buku bacaan diwajibkan buku yang mampu membangkitkan jiwa bukan sebaliknya.
Sayangnya keseriusan program pemerintahan itu di tingkat implementasi di daerah-daerah masih belum merata. Bersyukur untuk sekolah-sekolah di Jawa Barat telah berjalan gerakan literasi melalui program West Java Leaders Reading Challenge (WJLRC). Dalam gerakan literasi di Jawa Barat, siswa membaca minimal 24 buku dalam 10 bulan. Buku bacaan non pelajaran tersebut di reviu (resensi), dipresentasikan, didiskusikan lalu hasilnya dikirim ke Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat melalui website. Melalui dukungan penuh dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat sudah ribuan sekolah terlibat aktif kegiatan tersebut. Terakhir pada 1-2 Nopember 2017 baru selesai menggelar perhelatan akbar Jambore Literasi di Sumedang.
Pentingnya budaya literasi remaja dalam menangkal racun berita hoax diakui oleh sejumlah pihak. Menurut Head of Social Media Management Center Alois Wisnuhardana, banyak remaja Indonesia yang malas membaca sehingga mereka mudah percaya pada berita hoax. Setiap informasi yang masuk, apalagi yang sensasional, akan langsung disebarkan. Karena anak muda memang cenderung emosional.
Rendahnya minat baca membuat remaja tak memiliki saring (filter) sebelum mensharing (menyebar) informasi. Padahal jumlah situs internet yang diduga abal-abal sangat banyak. Berdasarkan data Kementrian Komunikasi dan Informasi RI, di akhir tahun 2016 ada 800 ribu situs yang terindikasi menyebarkan hoaks dan ujaran kebencian. Hoaks banyak disebar terutama melalui media sosial. Salah satunya yang berhasil diciduk adalah kelompok Saracen.
Irfan Amalee, penulis buku dan pendiri Peace Generation Indonesia memiliki penilaian yang sama. Menurutnya banyak kasus konflik dan kekerasan berawal dari kabar yang tidak jelas. Ini dampak dari budaya literasi masyarakat yang belum baik. Peristiwa berdarah tragedi Ambon menjadi contoh dalam kasus berita hoax. Pertikaian pribadi dua pemuda berujung konflik SARA
Keberadaan media sosial sebagai alat propaganda kabar palsu dinilai sangat efektif. Pasalnya, sesuai hasil survei We Are Social pada tahun 2017 disebutkan pengguna media sosial berusia 13 sampai 17 tahun sebanyak 18 persen adalah usia pelajar. Media sosial yang paling banyak digunakan adalah facebook dan twitter.
Gerakan literasi harus digalakan dan dibudayakan sehingga menjadi habit. Tidak saja literasi dalam lingkup sekolah tetapi juga di tingkat keluarga dan masyarakat. Kebiasaan membaca, menulis, diskusi, konfirmasi, klarifikasi (tabayun) harus tumbuh dan berkembang di semua lini masyarakat. Dengan pembiasaan ini maka jiwa literasi itu akan menjadi habit. Kita tak mungkin terperdaya dengan informasi hoax.
Dua kasus menarik terjadi pada dua remaja puteri di sekolah SMP berbeda kota. Keduanya memiliki kasus yang sama. Di dalam gawai mereka dijumpai konten video porno. Guru yang menerima laporan itu langsung menggiring keduanya di kantor guru. Beberapa guru sempat menghakimi secara verbal anak tersebut. Penulis yang hadir di dua tempat dan waktu berbeda mencoba mengkaji persoalan siswi tersebut.
Setelah menelusuri sumber video porno tersebut teenyata muaranya dari group whatsapp dan line yang mereka ikuti. Group tersebut adalah group umum dalam komunitas hobi yang sama. Tanpa tahu kontennya karena postingan semula blur keduanya mengklik video tersebut. Keluguan dua puteri itu mereka luput tidak menghapus video itu dalam folder androidnya. Inilah awal dari siswi tersebut berurusan dengan pihak BK (Bimbingan Konseling).
SOLUSI STRATEGIS
Melihat bahaya berita hoax terhadap pendidikan masyarakat maka perlu langkah-langkah strategis. Pertama, pendidikan karakter harus terus dikuatkan ke semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Semua pihak harus mau mendukung gerakan massif tersebut. Kedua, dinas terkait dan sekolah perlu menerbitkan media pemberitaan positif, baik secata online maupun offline. Media ini menjadi penyeimbang di tengah arus media umum yang kian tak mendidik.
Ketiga, pihak sekolah menegakkan tata tertib siswa dan warga sekolah. Penggunaan smartphone jika pun tidak dilarang tetapi dibatasi agar siswa tak seenaknya mengakses. Apabila dijumpai konten pornografi sebaiknya pihak sekolah menelusuri lebih dulu sumber informasinya. Batasi dan awasi akses anak didik dalam mengikuti group-group di media sosial. Arahkan guru-guru dalam pembelajaran berbasis internet agar anak diarahkan. Berikan pengawasan dan pengarahan secara berkesinambungan. Melakukan kerjasama dengan pihak terkait dalam melawan efek berita hoax.
Keempat, orangtua bekerjasama dengan sekolah dalam melakukan pengawasan kepada anak. Jauhkan ponsel dari anak jika waktu malam tiba. Ceklah isi ponsel tersebut kala anak tidur. Mencoba untuk berteman dengan anak di media sosial. Jika orangtua tidak paham internet dan gadget maka bisa minta tolong kepada rekan, saudara, kerabat atau tetangga. Mendampingi anak dalam menyaksikan dan atau membaca berita dari media. Meluangkan waktu diskusi di sela-sela kumpul bersama setiap hari.
Kelima, pemerintah melakukan pemblokiran situs-situs atau aplikasi yang berpotensi menyebarkan berita hoax. Konten yang memicu kebencian dan konflik, serta pornografi. Jika memungkinkan dibentuk satgas anti hoax sehingga penyebaran berita bohong bisa diminimalisir. Melakukan kampanye dalam berbagai bentuk kegiatan untuk melawan hoax, seperti yang dilakukan pengurus PGRI Jawa Tengah yang bekerjasama dengan Marimas.
Keenam, telesuri sumber berita hoax tersebut. Jika berita offline maka bisa konfirmasi kepada pihak terkait bisa bertemu, via surat atau telpon dan pesan singkat. Apabila sumbernya dari berita online, maka bisa dijelajahi lewat google dan sejenisnya. Pastikan sumber berita bukan berbasis website atau blog gratisan. Jika ditemui dalam google itu beritanya kontroversi maka diduga itu berita hoax.
Berita hoax harus menjadi musuh bersama. pemerintah, sekolah, komite dan Dewan Pendidikan, PGRI, keluarga, masyarakat dan pihak swasta lainnya bisa berlolaborasi melawan berita hoax. Jika semua stakeholder mampu bekerjasama maka dipastikan tidak ada celah bagi penyebar berita hoax untuk memprovokasi dan menyebar fitnah di tengah masyarakat yang mengancam gaduhnya sistem sosial negeri ini. Semoga. (*)
*) Penulis adalah guru SMP Negeri 4 Kota Cirebon
Sumber:http://denyrochman.gurusiana.id/article/menangkal-racun-berita-hoax-bagi-peserta-didik-4521783