Oleh :
Deny Rochman, S.Sos.,M.Pd.I
Siapa yang
akan melindungi hak-hak guru? Pertanyaan ini semakin sering mencuat ke
permukaan, menyusul kian banyaknya kasus-kasus yang mendera guru, baik guru
sebagai pribadi maupun guru secara profesi. Jawaban pun perlu segera dicari dan
disimpulkan jika nasib dan citra guru tidak memburuk dan kehilangan
kharismatiknya sebagai seorang pendidik.
Seabreg peraturan
guru sudah dibuat oleh pemerintah, termasuk hak-haknya yang harus dipenuhi dan
dilindungi. Kabar teranyar, Presiden Joko Widodo pun akan mengeluarkan Peraturan
Presiden (Perpres) terkait tindak kekerasan di lingkungan sekolah. Namun
dipastikan aturan tinggal aturan jika tanpa ada komitmen untuk melaksanakannya.
Suasana kebatinan
guru tersebut sudah mulai terasa sejak era keterbukaan dan kebebasan
berlangsung pada tahun 1998. Sejak itu semua orang merasa paling benar,
sedangkan orang lain salah. Orang banyak menuntut hak tetapi mengabaikan
kewajiban menghormati hak orang lain. Sejak itu ancaman dan kekerasan sudah
menjadi bagian dari dunia pendidikan negeri ini.
Bukan hanya
guru versus siswa dan orangtuanya. Sebagai sub sistem guru kerap menjadi pihak
yang paling merasakan dampak negative kebijakan pendidikan. Apakah kebijakan
dalam lingkup sekolah dibawah kendali kepala sekolah, dibawah kuasa kepala
Dinas Pendidikan dan kepala daerah, maupun dalam cakupan nasional. LSM dan
wartawan berandal tidak lagi bersahabat menjadi mitra guru dalam mencerdarkan
anak bangsa.
Pada posisi
yang sulit guru seolah tak berdaya menghadapi sistem yang membelenggu mereka. Seakan
takdir menjadi jeritan hati yang harus diterima dengan nasib yang dijalaninya. Menyatakan
sikap terhadap kedzoliman dianggap sebuah pembangkangan yang penuh resiko. Apalagi
harus berpolitik organisasi suatu kegiatan yang akan membuat dirinya dicap
bukan guru professional karena sering meninggalkan siswa dididiknya.
PERJUANGAN KEPENTINGAN
Masih banyak
guru masa kini namun mimpi masa lalu.
Mereka belum bangun tersadar bahwa negeri ini sedang gandrung hidup di era demokrasi baru, demokrasi yang kebablasan. Sebuah masa dimana satu kelompok dengan kelompok lainnya saling bahu membahu, saling bersaing dan berlomba bahkan saling sikut menyikut demi memperjuankan kepentingannya. Mereka yang berhasil memperjuangkan kepentingannya maka kelangsungan hidupnya tetap aman sentosa.
Mereka belum bangun tersadar bahwa negeri ini sedang gandrung hidup di era demokrasi baru, demokrasi yang kebablasan. Sebuah masa dimana satu kelompok dengan kelompok lainnya saling bahu membahu, saling bersaing dan berlomba bahkan saling sikut menyikut demi memperjuankan kepentingannya. Mereka yang berhasil memperjuangkan kepentingannya maka kelangsungan hidupnya tetap aman sentosa.
Lalu siapa
yang memperjuangkan kepentingan guru? Selama ini guru terlanjur berfikir
positif dengan mereka yang mengaku akan memperjuangkan hak-hak guru. Guru merasa
percaya kepada mereka yang katanya akan memperhatikan kesejahteraan guru. Sekalipun
itu benar namun nyatanya hati guru tetap was-was dan dag dig dug dengan segala
kebijakan yang makin hari makin tidak menentu, dengan segala aturan, mekanisme
dan birokrasi yang terus berubah.
Era demokrasi
adalah era perjuangan kepentingan kelompok-kelompok. Mereka yang tidak
merapatkan barisan dalam satu kelompok boleh jadi akan mudah tersingkir atau
bahkan tergilas dan tertindas. Maka hidup berorganisasi bagi guru di era
demokrasi sekarang adalah sebuah keniscayaan, apapun posisi kita dalam
organisasi tersebut tidaklah penting. Jangan sampai yang terjadi, kejahatan
yang terorganisir akan mudah mengalahkan kebenaran yang tidak berjamaah.
Jangan dikira
kesejahteraan guru saat ini dinikmati tanpa perjuangan dan pengorbanan. Tanpa “kekuatan
politik” guru di parlemen mustahil guru sekarang bisa lebih sejahtera dari era jaman
Oemar Bakri. Ujian Nasional yang nyaris dihentikan karena gugatan hukum warga,
namun berkat lobi politik hajat nasional tahunan itu pun tetap berjalan hingga
kini.
ORGANISASI GURU
Sejak era
reformasi banyak lahir organisasi-organisasi guru. Baik berbasis profesi, berbasis
kampus, maupun berbasis mata pelajaran. Dulu hanya ada PGRI, kini sudah lahir
IGI dan sejenisnya. Guru-guru mata pelajaran pun merapatkan barisan, tidak hanya
puas mengelompokkan diri dalam forum MGMP atau KKG lingkung daerah tetapi sudah
membuat asosiasi, ikatan dan forum.
Organisasi guru
tidak semata dipahami sebagai media dan wadah pengembangan sisi keilmuan. Tetapi
dalam upaya peningkatan profesionalisme guru, baik keilmuan dan kesejahteraan, diperlukan
perjuangan kepentingan secara terorganisir. Tentu saja perjuangan demi
kemaslahatan dan kemajuan dunia pendidikan yang dinikmati banyak orang, bukan
hanya segelintir orang. Nah upaya itu sedang dilakukan berproses oleh
rekan-rekan guru IPS, Ilmu Pengetahuan Sosial.
Organisasi guru
seperti Forum Guru IPS seluruh Indonesia (Fogipsi) bisa disebut media
pembelajaran bagi mereka. Belajar tentang realitas ilmu sosial sebagai sumber
berharga bagi anak didiknya di sekolah. Bukankah ada ungkapan yang menyebutkan,
seorang pendidik jangan pernah berhenti belajar. Melalui organisasi tersebut
guru IPS akan berkembang sebagai pendidik yang berkarakter dan realistis dalam
memberikan bekal keilmuannya kepada siswa.
Kita sudah cukup banyak
belajar sejarah para tokoh nasional pada masa perjuangan kemerdekaan. Mereka para
pendidik harus turun gunung untuk ikut menata dan memperbaiki sistem, “berjihad”
melawan penyimpangan untuk kembali ke jalan yang lurus. Sekalipun harus
mengangkat senjata, mengorbankan tenaga, pikiran, tenaga bahkan harta dan
nyawa.
Sebagai guru
yang memiliki interdispliner ilmu sosial, ada banyak pekerjaan rumah yang harus
menjadi agenda perjuangannya. Perjuangan memberikan solusi terhadap fenomena
dan masalah sosial, seperti masalah profesionalisme guru, kemiskinan,
kesenjangan, kenakalan, kriminalitas, korupsi, pemberdayaan ekonomi, kerusakan
alam dan sebagainya. Kontribusi ide, gagasan, program dan tindakan tidak bisa
terurai dan tersalurkan manakala guru hanya berdiam diri di dalam kelas:
mengajar dan pulang.
Bersyukur
kepengurusan FOGIPSI wilayah Jawa Barat sudah terbentuk pada Sabtu 14 Mei 2016
di Bandung. Guru-guru IPS Jawa Barat bersama FOGIPSI wilayah lainnya akan
menjadi kekuatan baru dalam dunia pendidikan di Indonesia. Kekuatan yang akan
mengembalikan martabat dan kesejahteraan guru serta memajukan pendidikan dan
peningkatan kualitas moral intelektual guru. Jika bukan kita, siapa lagi. Jika
tidak sekarang kapan lagi. (*)
*) Penulis
adalah anggota Fogipsi Jawa Barat.
Guru IPS SMP
Negeri 4 Kota Cirebon.