Oleh : Deny Rochman, S.Sos
Mau kemana Pendidikan Trapsila? Pertanyaan demi
pertanyaan muncul dalam berbagai pertemuan Trapsila, baik dengan kepala
sekolah, guru atau lainnya. Ada
pertanyaan yang bernada penasaran tetapi tidak sedikit yang menyimpan keraguan
terhadap pelaksanaan kurikulum hasil kerjasama Dinas Pendidikan Kota Cirebon
dengan UNICEF (United Nations International Children’s Emergency Fund) tersebut.
Walikota Cirebon Subardi ikut mewanti-wanti sejak
dini perihal pelaksanaan kurikulum Trapsila di kotanya. Pasalnya dengan di-launching-nya Trapsila oleh Walikota
pada 24 Maret 2008 lalu maka pelajaran ini akan diterapkan di seluruh sekolah
SMP/MTs se- Kota Cirebon. Walikota mengingatkan agar pelaksanaan Trapsila agar
didukung guru pengajar yang mumpuni, baik penguasaan materi lebih-lebih
perilakunya harus menjadi sosok yang diteladani.
Penasaran dan keraguan muncul dalam konteks ilmiah
dinilai sah-sah saja. Sepanjang
sikap kritis tersebut tidak melahirkan apriori permanen sehingga selalu menolak
hal-hal baru. Sikap skeptis tersebut karena paradigma yang diusung dalam
Pendidikan Trapsila sedikit unik daripada pembelajaran umumnya. Sosialisasi,
internalisasi dan aktuliasasi nilai-nilai positif dibangun melalui pendekatan
permainan (games), aktif, kreatif dan
menyenangkan.
Mereka yang penasaran dengan
Trapsila karena pendekatan games, baik di indoor
maupun outdoor, hal yang baru dalam
kegiatan mengajar siswa. Dengan metode itu kelompok ini yakin pembelajaran
siswa akan lebih fresh dan menyenangkan. Bagi kelompok yang meragukan, kendati
mereka setuju bahwa permainan akan melepaskan kejenuhan siswa dalam belajar,
namun mampukah Trapsila menjadikan anak didik berbudi pekerti yang baik hanya
dengan permainan.
BUDI PEKERTI PLUS
Sebenarnya, Pendidikan
Trapsila sebagai pendidikan nilai atau pendidikan karakter bukan barang baru.
Sebelumnya kita mengenal Pendidikan Budi Pekerti pada era rezim Orde Baru.
Entah mengapa kurikulum ini akhirnya ditarik dari peredaran dunia pendidikan
nasional. Ada anggapan karena Budi
Pekerti gagal mengemban tugas dalam memperbaiki perilaku anak didik, malah hanya
menambah beban belajar siswa.
Meningkatnya masalah siswa di
keluarga dan masyarakat belakangan ini membuat pendidikan nilai kembali dilirik.
Apalagi berbagai temuan penelitian psikologi bahwa kesuksesan seseorang tidak
melulu ditentukan oleh kecerdasan intelektual (kegnitif). Daniel Goleman misalnya
menemukan dalam penelitiannya, keberhasilan seseorang terletak kepada
kecerdasan emosional. Temuan itu kemudian berkembang ragam kecerdasan seperti
kecerdasan spiritual, kecerdasan majemuk, keseimbangan kecerdasan dan
sebagainya.
Nah, Pendidikan Trapsila
mencoba menyempurnakan kecerdasan siswa, baik dari sisi kognitif (intelektual),
afektif-psikomotor (emosional) dan spiritual melalui games, pembelajaran aktif,
kreatif dan menyenangkan. Mengapa harus dengan games? Permainan merupakan dunia
anak-anak. Dalam perspektif marketing jika produk kita bisa dinikmati, harus
sesuai selera pemakainya. Jadi games hanya
sekadar metode/pendekatan belajar bagi siswa, sama dengan metode lainnya
seperti ceramah, diskusi, simulasi dan lainnya.
Berbeda dengan budi pekerti
produk sebelumnya, Trapsila memiliki kekhasan dengan aroma budi pekerti plus. Nilai
yang diajarkan tidak hanya pada pendidikan budi pekerti seperti sopan santun,
tetapi juga pendidikan politik diantaranya bagaimana bernegosiasi, kerjasama,
mengatasi konflik, toleransi dan sebagainya. Plus lain dari Pendidikan Trapsila
adalah pendekatan pembelajaran yang lebih banyak menggunakan permainan, yang
lazim sering digunakan dalam kegiatan Outbond.
Nilai-nilai positif itu dibangun
melalui games education. Boyett dan
Boyett (dalam Djamaludin Ancok, 2002) menjelaskan
tahap-tahap pembelajaran nilai yang efektif meliputi (1) Pembentukan pengalaman
(experience); (2) Perenungan pengalaman (reflect); (3) Pembentukan konsep (form concept); (4) Pengujian konsep (test concept). Permainan gobak sodor (galaxi), misalnya, untuk mempraktekan
kompetensi Ketahanan Sekolah. Setelah permainan itu siswa diajak menjelaskan
nilai (reflect).
Pengalaman penulis, siswa
memahami nilai permainan itu seperti perlunya kerjasama, kosentrasi, kecepatan,
kecerdikan dan sebagainya. Pemahaman anak tersebut guru membentuk dalam pemahaman
konsep (form concept) dikaitkan
dengan ketahanan sekolah. Sebagai institusi yang memiliki wilayah, sekolah
harus dijaga dari ancaman dari luar. Seperti gobak sodor, setiap siswa harus
menjaga wilayahnya jangan dimasukin lawannya. Terakhir adalah tes konsep yang
sudah dipahami siswa tersebut.
PENILAIAN HOLISTIK
Target keberhasilan
Pendidikan Trapsila jangka panjang adalah adanya perubahan sikap, sifat dan
perilaku siswa yang lebih positif. Dalam jangka pendek, seluruh siswa bisa
mentaati ketentuan yang berlaku dalam lingkup sekolah. Namun untuk target
pertama membutuhkan proses yang lama. Apalagi perilaku siswa dipengaruhi oleh
banyak faktor, seperti keluarga, teman dan lingkungan masyarakatnya. Sementara
siswa berada di sekolah waktunya sangat terbatas sekitar 6 jam. Disinilah perlu
ada kerjasama antara sekolah dan keluarga.
Pada prinsipnya Pendidikan
Trapsila mengembangkan tiga kecerdasan sekaligus, yaitu ranah kognitif, afektif
dan psikomotor. Nilai ranah kognitif dan afektif dari tes konsep yang dikembangkan
dari bahan ajar. Sementara nilai psikomotor diambil dari pembiasaan (pergaulan)
siswa di sekolah dan permainan dalam KBM. Artinya pengajaran Trapsila harus
melibatkan banyak pihak sehingga penilaian terhadap anak mendekati obyektif.
Jika digambarkan seperti dibawah ini :
Pemahaman nilai siswa
dibentuk melalui kegiatan belajar mengajar Trapsila, baik dalam bentuk
permainan ataupun penugasan. Pada waktu bersamaan praktek nilai-nilai itu bisa
diihat dari pergaulan siswa sehari-hari di sekolah. Apakah anak itu rajin,
disiplin, jujur, bisa bekerja sama, punya toleransi, motivasi dan sebagainya.
Aspek ini membutuhkan kerjasama antara guru Trapsila dengan guru-guru lainnya
(tim) seperti PKn, Bahasa Indonesia, agama, BP/BK, wali kelas.
Jadi, keberhasilan Pendidikan
Trapsila bagi siswa tidak karena kehebatan guru pengajarnya. Keberhasilan itu,
khususnya dalam jangka pendek, harus didukung oleh sistem yang berjalan di
sekolah. Ada kerjasama antar-warga sekolah, kebijakan kepala sekolah dan
peraturan lainnya. Dengan kata lain, keteladanan bukan hak paten guru Trapsila
tetapi merupakan label yang harus diusung oleh semua guru bahkan semua orang
yang menjadi figur publik, dimana pun mereka berada.
Akhir kata, lahirnya Pendidikan
Trapsila harus disambut dengan baik dalam mengembangkan kecerdasan siswa dalam
sisi sosial, emosional dan spiritual. Sebagai pelajaran yang baru, Trapsila
jangan dianggap tumpang tindih apalagi
berbenturan dengan pendidikan nilai yang sudah ada. Sebaliknya justeru untuk
melengkapi yang sudah ada, agar pembinaan karakter siswa semakin baik.
Pendekatan games pada
Trapsila hanya sebagai metode penyampaian kepada siswa. Artinya, guru Trapsila
dalam mengajar waktunya jangan terkuras untuk permainan sehingga nilai-nilai
dalam permainan itu malah terlupakan. Yang pasti, penilaian Trapsila
membutuhkan proses dengan melibatkan tim guru lain. Ini untuk menutup bolong
subyektifitas penilaian terhadap keberhasilan Pendidikan Trapsila.
Mau kemana Trapsila, mari kita
kawal bersama-sama setelah Walikota Cirebon sudah meresmikannya. Dengan
demikian, Trapsila bukan hanya milik Dinas Pendidikan, tim penyusun atau guru
Trapsila semata, tetapi milik warga Kota Cirebon yang bercita-cita menjadikan
hidup ini lebih baik lagi. Trapsila diharapkan bisa menjadi obat penawar dalam
membangun karakter (character building)
siswa. Semoga! (*)
Penulis adalah tim penyusun
Trapsila
dan Guru SMP Negeri 4 Kota Cirebon