Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dinilai gagal dalam membangun peradaban manusia yang lebih baik lagi. Kegagalan itu terletak pada lemahnya visi iptek yang dibangun dalam merumuskan dasar-dasar nilai, misi dan tujuan yang hendak dicapai.
“Indikator kegagalan terlihat dari semakin meningkatnya depresi, kegelisahan di masyarakat. Meningkatnya jumlah penderita sakit jiwa dan pelaku bunuh diri di kalangan kaum terdidik,” tutur Cecep Sumarna, mengutip laporan WHO tahun 1997 dalam ceramah ilmiahnya sebagai profesor guru besar STAIN Cirebon, Kamis (2/4).
Profesor Cecep membuktikan kasus-kasus lain dalam realitas sosial. Menurutnya, banyaknya psikolog, ekonom, arsitektur, ahli hukum dan lainnya justeru bukan menambah manfaat yang banyak bagi kehidupan umat manusia.
“Banyaknya psikolog, secara ilmiah seharusnya mampu mengurangi jumlah penyakit jiwa, tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Begitu juga banyaknya ekonom malah mempertebal jurang perbedaan antara kelompok kaya dan miskin. Banyak ahli hukum, justeru banyak pelanggaran,” tuturnya di depan undangan yang sebagian adalah wisudawan/wati STAIN Cirebon.
Suami Lelin Farlina Dewi ini menjelaskan, problem masyarakat modern tersebut akibat pengembangan iptek yang kering dari nilai-nilai agama. Meminjam istilah Fritjof Capra, Cecep menambahkan, akibat perkembangan iptek seperti itu menjadikan peradaban modern berada dalam krisis yang besar . Karena peradaban modern kehilangan sumber pengetahuan intuitif yakni agama.
“Saya melihat ilmu pengetahuan kehilangan sebagian sumber asasinya berakibat hilangnya sebagian fitrah manusia. Ilmu pengetahuan yang dilahirkan hanya memperkuat dimensi fisik, tidak ada pertaliannya dengan dimensi metafisik,” ungkap bapak tiga anak ini dalam naskah ceramah ilmiahnya berjudul Transformasi Iluminasi dalam Konstruksi Ilmu setebal 43 halaman itu.
Cecep mengutip pendapatnya ilmuwan muslim Ali Syariati bahwa hilangnya sumber pengetahuan intuitif membuat sifat manusia berubah. Manusia ibarat mesin karena kehilangan hati nurani. Padahal hati adalah sumber keberanian dan semangat, integritas dan komitmen.
“Dalam banyak kasus, antara ilmu manusia dan kekuasaan Tuhan seolah bertanding untuk saling mengalahkan. Padahal ilmu harusnya mendorong manusia untuk mendekati Tuhan. Artinya perkembangan ilmu pengetahuan semestinya tidak bebas pertaliannya dengan dimensi Tuhan, metafisik dan immateril,” tulis putera dari pasangan H. Muslih Suryana (alm) dan Fajriyan. (*)
“Indikator kegagalan terlihat dari semakin meningkatnya depresi, kegelisahan di masyarakat. Meningkatnya jumlah penderita sakit jiwa dan pelaku bunuh diri di kalangan kaum terdidik,” tutur Cecep Sumarna, mengutip laporan WHO tahun 1997 dalam ceramah ilmiahnya sebagai profesor guru besar STAIN Cirebon, Kamis (2/4).
Profesor Cecep membuktikan kasus-kasus lain dalam realitas sosial. Menurutnya, banyaknya psikolog, ekonom, arsitektur, ahli hukum dan lainnya justeru bukan menambah manfaat yang banyak bagi kehidupan umat manusia.
“Banyaknya psikolog, secara ilmiah seharusnya mampu mengurangi jumlah penyakit jiwa, tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Begitu juga banyaknya ekonom malah mempertebal jurang perbedaan antara kelompok kaya dan miskin. Banyak ahli hukum, justeru banyak pelanggaran,” tuturnya di depan undangan yang sebagian adalah wisudawan/wati STAIN Cirebon.
Suami Lelin Farlina Dewi ini menjelaskan, problem masyarakat modern tersebut akibat pengembangan iptek yang kering dari nilai-nilai agama. Meminjam istilah Fritjof Capra, Cecep menambahkan, akibat perkembangan iptek seperti itu menjadikan peradaban modern berada dalam krisis yang besar . Karena peradaban modern kehilangan sumber pengetahuan intuitif yakni agama.
“Saya melihat ilmu pengetahuan kehilangan sebagian sumber asasinya berakibat hilangnya sebagian fitrah manusia. Ilmu pengetahuan yang dilahirkan hanya memperkuat dimensi fisik, tidak ada pertaliannya dengan dimensi metafisik,” ungkap bapak tiga anak ini dalam naskah ceramah ilmiahnya berjudul Transformasi Iluminasi dalam Konstruksi Ilmu setebal 43 halaman itu.
Cecep mengutip pendapatnya ilmuwan muslim Ali Syariati bahwa hilangnya sumber pengetahuan intuitif membuat sifat manusia berubah. Manusia ibarat mesin karena kehilangan hati nurani. Padahal hati adalah sumber keberanian dan semangat, integritas dan komitmen.
“Dalam banyak kasus, antara ilmu manusia dan kekuasaan Tuhan seolah bertanding untuk saling mengalahkan. Padahal ilmu harusnya mendorong manusia untuk mendekati Tuhan. Artinya perkembangan ilmu pengetahuan semestinya tidak bebas pertaliannya dengan dimensi Tuhan, metafisik dan immateril,” tulis putera dari pasangan H. Muslih Suryana (alm) dan Fajriyan. (*)