Oleh : Deny Rochman
A. PENDAHULUAN
KEKERASAN dalam pendidikan sudah menjadi sorotan masyarakat sejak lama. Berbagai bentuk kekerasan, mulai dari kekerasan verbal seperti membentak siswa sampai dengan kekerasan fisik yakni menampar sampai memukul menjadi fenomena di dunia pendidikan negeri ini. Kondisi tersebut sudah berlangsung lama, bahkan frekuensinya meningkat seiring meningkatkan agresifitas siswa didik di lingkungan sekolah.
Sering kita baca, melihat dan mendengar di berbagai media massa baik cetak maupun elektronik berbagai kekerasan dalam proses belajar mengajar. Di Kediri Jawa Tengah, ayah seorang siswa menghajar seorang guru SD di depan kelas. Di Pati, seorang guru SD menghukum muridnya dengan lari keliling lapangan dalam kondisi telanjang bulat. Dan masih banyak lagi kasus-kasus kekerasan bermunculan, seperti kasus tawuran antar-sekolah di Kota Cirebon ini.
Kekerasan serupa terulang terjadi di berbagai daerah dan sekolah dengan ragam tingkatannya. Bahkan sekelas mahasiswa, manusia intelektual sekalipun, kini aksi kekerasan sering diperagakan.
Seorang guru SMK Teknologi (dulu STM) di wilayah Cirebon pernah bercerita, tindakan kekerasan seperti membentak, menjewer, menampar sampai memukul siswa sudah menjadi tradisi di kalangan pendidik di sekolahnya. Pihak sekolah, guru dan siswa memaklumi jika para siswa bersalah mereka harus siap menerima hukuman dalam bentuk kekerasan fisik. Terkesan, tanpa kekerasan mendidik siswa tidak akan berhasil.
Padahal kekerasan dalam belajar tidak disukai oleh para siswa karena akan mengganggu proses transformasi ilmu. Penulis pernah melakukan survai sederhana kepada sejumlah siswa SMP di Kota Cirebon tentang guru yang tidak disukai dalam cara mengajar. Menurut mereka, guru-guru tersebut adalah yang mengajar dengan cara kekerasan. Jika siswa rebut, guru langsung membentak, menggebrak meja. Ketika siswa tidak bisa menjawab pertanyaan, guru menjewer, mencubit sampai memukul siswa.
Tindakan guru tersebut merupakan sudah menjadi gaya pengajaran di banyak sekolah. Para pendidik masih berfikir paradigma lama, bahwa keberhasilan proses belajar mengajar di kelas manakala para siswa bisa mengikutinya dengan tertib, tidak ribut. Sebaliknya dianggap suatu kegagalan mengajar, jika dalam proses belajar siswa ribut terus, apalagi sampai keluar kelas bergerombol.
B. PENYEBAB KEKERASAN
Kekerasan dalam pendidikan tidak semata hanya dilakukan oleh guru kepada siswanya. Tetapi ada juga dari siswa atau orang tua kepada gurunya, masyarakat kepada sekolah, kepala sekolah kepada guru dan antara siswa sendiri. Istilah kekerasan (violence) digunakan untuk menggambarkan perilaku yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain, baik secara terbuka (overt) maupun tertutup (covert) atau bersifat menyerang (offensive) maupun bertahan (defensive).
Kekerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan bukan variabel berdiri sendiri. Tetapi dilatarbelakangi oleh faktor-faktor lainnya, baik internal maupun eksternal. Tindakan kekerasan terangkai dalam hubungan spiral mulai dari kondisi, faktor dan pemicu. Faktor itu dapat muncul sewaktu-waktu, oleh siapa saja yang terlibat dalam dunia pendidikan, sepanjang dijumpai pemicu kejadian (Assegaf, 2004:37).
Ditinjau dari tingkatannya, Abdul Rahman Assegaf (2004) menjelaskan perilaku kekerasan dibedakan menjadi tiga kelompok. Pertama, kekerasan tingkat ringan, yakni berupa potensi kekerasan. Pada tingkat ini kekerasan masih bersifat tertutup, defensive. Kedua, kekerasan tingkat sedang, berupa perilaku kekerasan dalam pendidikan seperti pelanggaran peraturan sekolah. Ketiga, kekerasan tingkat berat yakni tindakan criminal.
Merujuk dari uraian di atas maka kekerasan dalam pendidikan masuk dalam kategori kekerasan tingkat sedang, karena pelaku hanya melakukan pelanggaran peraturan sekolah. Namun kekerasan tingkat sedang itu bisa berubah menjadi kriminalitas manakala pelanggaran atau sanksi itu berlebihan. Misalnya, membawa senjata tajam atau obat-obatan terlarang. Atau guru menghukum siswa sampai menyisakan luka berat.
Kekerasan yang melekat dalam dunia pendidikan memang melalui fase yang panjang, mulai dari kondisi, faktor dan pemicu. Siswa bertindak agresif dipengaruhi oleh berbagai penyebab, seperti keluarga, masyarakat dan media massa. Keluarga yang terbiasa mendidik anak secara otoriter dan kotor dalam bahasa kerap membawa anak terbiasa dengan kekerasan.
Begitu juga dengan sikap masyarakat, yang menuntut keinginannnya disertai kekerasan menjadi pelajaran buruk bagi anak. Seperti unjuk rasa para buruh pabrik, mahasiswa atau massa pilkada yang melakukan pengrusakan. Anak akan menyimpulkan bahwa dengan kekerasan keinginan mereka terhadap sesuatu akan terpenuhi.
Peran media massa dalam mendidik kekerasan tidak sedikit. Banyak gambar dan tayangan, baik berita terlebih hiburan menyuguhkan adegan kekerasan, baik kekerasan fisik maupun kekerasan verbal (bahasa) seperti kata-kata kotor tidak terpuji. Celakanya, berbagai media kekerasan itu mempengaruhi keluarga dan sekolah akibatnya kekerasan semakin meningkat, karena kekerasan selalu diatasi dengan kekerasan. Seperti murid nakal diatasi dengan menampar atau memukulnya.
Di sekolah guru lebih terbuka melakukan kekerasan terhadap siswa. Kenapa harus guru? Pertama, guru merupakan orang yang banyak berhadapan dengan siswa daripada kepala sekolah. Atas dasar peraturan sekolah, guru bisa melakukan kekerasan psikis berupa ancaman, atau kekerasan fisik yakni membentak, mencubit, menjewer sampai menampar dan menjotos jika siswa sulit diatur.
Kedua, guru adalah manusia yang tertekan. Tertekan dari masalah ekonomi, anak dan keluarga di rumah, sampai posisinya yang terlemahkan dalam sistem di sekolah. Mengurus dan mendidik anak sendiri saja susah, apalagi mengurus ratusan anak orang di sekolah. Maka tidak jarang terjadi, sibuk ngurusi anak didik agar pintar sekolahnya, justeru anak sendiri di rumah malah prestasi belajarnya kurang baik.
Tekanan psikis lainnya bagi guru adalah kesejahteraan mereka untuk hidup layak belum memadai. Gaji yang ada belum memberikan kemakmuran bagi keluarganya. Maka tidak heran banyak guru yang memiliki usaha sampingan demi pemenuhan kebutuhan keluarganya. Namun hal itu menuai protes baik oleh internal sekolah dan pemerintah maupun masyarakat karena mengabaikan profesionalismenya sebagai tenaga pendidik dan pengajar.
Hal lain, pemberian nilai guru kepada siswa tidak lagi independent tetapi sudah mendapat intervensi. Guru diupayakan memberikan nilai raport yang bisa meluluskan siswa naik ke peringkat kelas berikutnya. Akibatnya, guru tidak memiliki daya tawar kepada orangtua siswa untuk memperbaiki mutu belajar anaknya. Termasuk guru tidak memiliki akses untuk mengetahui manajemen keuangan sekolah secara transparan.
Ketiga, guru kurang peka dengan perubahan paradigma baru dalam pendidikan bangsa ini. Ditengah kurikulum pendidikan sekarang menuntut adanya kebebasan belajar anak dalam merekonstruksi pengetahuan dalam pengalaman belajarnya, guru tetap memposisikan diri sebagai pengajar (teacher) yang otoriter, feodal, sebagai manusia super, serba tahu segalanya.
Padahal menurut Dirjen Pendidikan Menengah Depdiknas Indra Jati Sidi (2003:39), fungsi guru masa depan sudah beralih sebagai pelatih (coach), pembimbing (counselor) dan manajer belajar (learning manager). Paul Suparno, mengatakan dtengah tugas guru yang berat di era reformasi ini guru harus mengembangkan sikap cinta kepada siswa, menghargai nilai kemanusiaan, sikap membebaskan bukan membelenggu siswa.
C. PERLUKAH KEKERASAN ?
Kekerasan dalam pendidikan memang tidak mutlak dihapuskan. Ini bukan karena alasan ketidakberdayaan guru dalam menghadapi agresifitas anak didik. Tetapi kekerasan itu masih diperlukan dalam mendidik anak untuk menjadi manusia yang cerdas dan berbudi luhur. Sepanjang implementasi sanksi tersebut masih dalam koridor dan prosedur pendidikan, tidak berlebihan dan manusiawi.
Misalnya sanksi pukulan, menurut Abdul Lathif Al Ajlan dalam bukunya Rambu-rambu Pemukulan dalam Pendidikan Anak (2006) masih diperlukan. Asalnya sanksi itu merupakan upaya terakhir, setelah guru memberikan nasehat, ancaman dan boikot terhadap siswa bersangkutan. Hukuman pukulan diberikan dengan catatan, tidak mengenai wajah dan kemaluan serta tidak membekas pada tubuh anak.
Lathif mengatakan, sanksi pukulan memiliki sejumlah dampak positif bagi individu maupun masyarakat. Dampak tersebut seperti akan membentuk anak menaruh rasa hormat terhadap peraturan, keputusan, perintah dan larangan. Sanksi juga agar anak tidak ceroboh dalam mengerjakan sesuatu. Memanamkan kebiasaan yang baik, bersikap sabar dan hati-hati.
Apa jadinya jika kekerasan itu sama sekali ditiadakan, kewibawaan sekolah sebagai lembaga pendidikan akan menurun dimata anak didik. Siswa seenaknya berulah tanpa takut harus dihukum oleh guru atau kepala sekolah. Namun bukan berarti kekerasan yang dilegalkan memberikan pemahaman bahwa kekerasan adalah penyelesaian yang terbaik. Ini akan merusak citra sekolah seperti penjara (Lembaga Pemasyarakatan) bagi siswa didik. Kekerasan diatasi dengan kekerasan justeru akan melahirkan kekerasan baru.
Dalam mengatasi kekerasan dalam dunia pendidikan, yang lebih penting lagi adalah penegakan supremasi hukum peraturan sekolah. Peraturan sekolah dibuat jangan hanya untuk siswa, sementara bagi guru, karyawan dan kepala sekolah tidak diatur. Alasan sekolah aturan kepegawaian sudah ditetapkan oleh hukum nasional. Padahal hukum nasional tidak mengatur secara rinci kehidupan di setiap sekolah yang memiliki karakteristik tersendiri.
Sudah saatnya pihak sekolah menyusun sebuah peraturan sekolah yang mengatur hak dan kewajiban tidak saja untuk siswa, tetapi juga bagi guru, tenaga pendidikan dan kepala sekolah. Sebagai sebuah aturan, tentu saja lengkap memuat reward dan punishment bagi semua pihak dan berbagai tata aturan di sekolah yang bersangkutan seperti mekanisme pemilihan jabatan wakil kepala sekolah berikut para pembantunya, kebijakan tentang biaya perjalanan dinas guru ke luar kota dan banyak lagi.
Terakhir yang harus dipahami bahwa kekerasan tidak hanya milik dunia pendidikan. Lembaga pendidikan hanya bagian mata rantai dari lingkaran spiral kekerasan dalam masyarakat. Artinya, kekerasan pendidikan bukan variabel independent. Untuk menyelematkan tunas bangsa maka diperlukan penanganan komprehensif dari semua sector, mulai politic will pemerintah, para penegak hukum, tokoh agama, termasuk pembenahan kurikulum dan perbaikan kesejahteraan guru.
D. PENDIDIKAN BUDI PEKERTI
Semakin maraknya aks ikekerasan dalam dunia pendidikan sangat mengkhawatirkan banyak pihak. Belum lagi tren menyimpangan sosial yang melibatkan para pelajar menambah sisi suram masa depan bangsa ini. Fenomena sosial ini telah mengundang keprihatinan berbagai pihak dan menyuarakan pentingnya peningkatan Pendidikan Budi Pekerti di sekolah.
Namun sebagian pihak tampak pesimis pemberlakuan Pendidikan Budi Pekerti tidak bisa berbuat banyak mengatasi masalah sosial di atas. Sejarah pendidikan nasional telah membuktikan kegagalan pendidikan ini di sekolah-sekolah. Sekalipun diajarkan toh kekerasan dan kenalakan remaja sering terjadi.
Pihak lain tetap bersikukuh pentingnya pengajaran nilai-nilai mulia diajarkan di sekolah-sekolah. Secara teknis pendidikan nilai itu menggunakan pendekatan terintegrasi dalam sistem sekolah. Artinya kontrol kendali perilaku anak tidak melulu tugas guru Budi Pekerti, namun semua pihak (stakeholder) yang ada di sekolah. Mulai dari pesuruh, tata usaha, guru sampai kepala sekolah bahkan hingga orangtua sekalipun. Adanya tata tertib sekolah berikut reward dan punishment-nya akan membantu pendidikan nilai anak.
Ketika anak melakukan pelanggaran, misalnya, membuang sampah sembarangan, seorang pesuruhpun bisa menegur langsung anak yang bersangkutan. Sama halnya ketika guru sains menemukan anak melakukan kesalahan bisa langsung memberikan nasehat. Jika sulit diarahkan guru bersangkutan bisa menuliskan jenis pelanggaran tersebut di dalam buku tata tertib sekolah. Jenis pelanggaran ini dalam satu tahun diakumulasikan nilainya dan masuk dalam nilai Pendidikan Budi Pekerti atau sejenisnya.
Dengan kata lain pengajaran Budi Pekerti dilakukan melalui pendekatan konsep di kelas, pembiasaan sehari-hari pergaulan di sekolah dan sistem yang terintegrasi dalam aturan dan kepedulian warga sekolah. Sehingga untuk mengukur keberhasiln pendidikan nilai ini harus melibatkan banyak pihak, tidak hanya diukur dari evaluasi kegiatan belajar dalam bentuk ulangan (tes).
Melembagakan Pendidikan Budi Pekerti secara intergral tersebut untuk mempertegas bahwa Misi pendidikan sekolah bukan hanya mentrasfer ilmu pengetahuan kepada anak didiknya, dari tidak tahu menjadi tahu (kognitif). Lebih dari itu harus ada perubahan sikap dan perilaku pada anak didik, dari kurang baik menjadi baik (psikomotor dan afektif). Dengan kata lain, paradigma pendidikan Indonesia terkini dikembangkan ke arah keseimbangan kecerdasan, antara intelektual, emosional dan spiritual.
Keseimbangan kecerdasan anak tersebut sejalan dengan tujuan pendidikan nasional bangsa Indonesia. Dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 disebutkan bahwa pendidikan nasional bertujuan berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab. (*)
*) penulis adalah guru
SMP Negeri 4 Kota Cirebon.
email : den_cigaok@yahoo.com
Hp. 08122064604
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Lathif al-Ajlan, Rambu-rambu Pemukulan dalam Pendidikan Anak, Jakarta : Pustaka Ulil Albab, 2006.
Abd. Rahman Assegaf, Pendidikan Tanpa Kekerasan: Tipologi Kondisi, Kasus dan Konsep, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004
Idra Djati Sidi, Menuju Masyarakat Belajar : Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, Jakarta: Paramadina, 2003.
Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter : Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa, Jakarta : BM Migas-Star Energi, 2004.
Zubaedi, Pendidikan Berbasis Masyarakat: Upaya Menawarkan Solusi terhadap Berbagai Problem Sosial, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005.